BAB 14

1347 Words
Sebastian menyandarkan tubuhnya pada kursi empuk berlapis kulit, jemarinya santai memainkan cerutu yang masih mengepulkan asap tipis. Senyumnya samar, penuh arti, ketika pandangannya menyapu sekelompok laki-laki yang duduk melingkar di hadapannya. Percakapan mereka barusan masih terasa menggantung di udara, tentang situasi politik yang kian memanas dan peluang yang bisa dimanfaatkan di dalamnya. Di antara mereka ada pejabat dengan jas mahal, politikus berambisi tinggi, hingga pebisnis yang haus akan koneksi. Mereka datang dengan wajah ramah namun sorot mata penuh harap. Semua menginginkan satu hal: pertolongan Sebastian. Dan Sebastian, seperti biasa, menikmati setiap detiknya. Ada kepuasan tersendiri saat melihat orang-orang berpengaruh itu perlahan menanggalkan gengsi, rela merendah demi sebuah dukungan. Sudah bertahun-tahun ia terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Para hartawan, artis, bahkan cendekiawan pun tak jarang turut hadir dalam lingkaran yang sama. Mereka memiliki harta, nama, atau ilmu, tetapi tidak memiliki kunci untuk membuka pintu kekuasaan. Di hadapan Sebastian, semua perbedaan itu memudar. Sebastian tahu betul, siapa pun yang ingin melangkah lebih tinggi dalam hirarki politik akan selalu datang padanya. Dan ia, dengan senyum tenang dan kuasa yang tersembunyi di balik kata-kata, menentukan siapa yang boleh naik, dan siapa yang akan tetap tenggelam. Sebastian mengerti benar, kepala mana yang harus dielus ketika ia dengan sengaja menginjak kaki orang lain. Baginya, dunia ini hanyalah papan catur, dan setiap langkah harus penuh perhitungan. Ia tahu siapa yang perlu didekati, siapa yang bisa diperalat, dan siapa yang harus dikorbankan tanpa ragu. Orang-orang datang dan pergi dalam hidupnya, tidak ada yang betul-betul menetap. Musuh bisa saja menjadi kawan bila ada keuntungan di dalamnya, dan kawan pun bisa dengan mudah berubah menjadi lawan ketika kepentingan bertabrakan. Semua bergantung pada momen, pada kebutuhan, pada permainan kuasa yang terus bergulir. Bagi Sebastian, tidak ada yang benar-benar abadi, selain ambisi yang selalu menuntunnya. “Pak Sebastian, Anda kemarin bertemu Presiden. Bagaimana dengan wacana pembentukan menteri muda?” Salah seorang dari mereka bertanya, orang-orang yang lain mendengarkan dengan antusias. “Tentu saja akan tetap dijalankan. Tahun depan paling cepat.” “Apakah itu berarti kami harus bersaing dengan menantu Pak Sebastian?” “Pak Victor juga mencalonkan diri, dan juga beberapa kandidat.” “Wah-wah, kita minta bantuan pada orang yang salah ini.” Mereka tertawa kering, matanya saling lirik satu sama lain. Tentu saja yang mereka katakan adalah kesungguhan, hanya dibalut tawa untuk menyamarkan kekecewaan. “Sungguh beruntung Pak Victor, punya mertua yang support begitu besar.” “Apalagi kalau nanti ada cucu. Makin hebat mereka.” Pintu menjeblak terbuka, Victor masuk bersama Tom dan Tim. Mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan keramahan pura-pura. “Sepertinya namaku disebut-sebut, ada apakah?” Orang-orang itu mulai menyapanya, Victor melangkah lurus ke arah kursi kosong disamping Sebastian. Mengabaikan sapaan mereka. “Pa, aku pulang.” Sebastian mengangguk. “Bagaimana bulan madumu?” “Luar biasa, tempat yang kami datangi sebuah kawasan pantai yang indah.” Melihat Victor datang, satu per satu orang-orang yang ada di dalam berpamitan keluar, termasuk Tom dan Tim. Mereka meninggalkan Victor berdua dengan Sebastian. Keduanya mengisap cerutu dengan Sebastian berdecak keras. “Kamu lihat? Orang-orang itu tiap hari datang untuk merongrongku.” Victor mengangguk. “Itu karena Papa hebat dan berkuasa. Mereka ingin bantuanmu.” “Memang, terlebih saat mereka tahu aku baru saja bertemu dengan Presiden. Ngomong-ngomong, apa bulan madumu dan Natalia menyenangkan?” “Sangat, Papa. Kami menikmati waktu berdua. Semua terjadi karena bantuan Papa. Kalau seandainya Papa nggak pura-pura sakit, pasti Natalia tidak menyetujui usulanku untuk bulan madu demi punya anak.” Victor menahan senyum licik yang hampir saja pecah di wajahnya. Dalam hatinya, ia merasa puas karena berhasil mengelabui mertuanya. Segala keraguan dan pengawasan ketat yang selama ini menghantuinya kini runtuh, berkat kepiawaiannya merangkai kebohongan. Semua berjalan mulus, terlebih dengan bantuan Sebastian yang menjadi sekutunya dalam permainan ini. Ia berhasil menyusun rencana licin, memaksa Natalia untuk pergi bersama Alejandro, menjauh dari pandangan mata publik maupun keluarganya. Sementara itu, Victor menyiapkan sandiwara yang rapi. Kepada mertuanya, kepada semua orang yang ingin tahu, ia mengatakan bahwa dirinya sedang menikmati bulan madu mesra bersama sang istri. Tidak ada yang mencurigai apa pun, karena kebohongan itu dibalut begitu manis dengan detail yang meyakinkan. Nyatanya, Natalia sedang jauh darinya, berada di sisi Alejandro. Sedangkan Victor sendiri melakukan perjalanan rahasia, menyembunyikan langkah-langkahnya dari sorotan, merancang sesuatu yang lebih besar di balik layar. Apakah tidak ada sedikit pun rasa cemburu menggerogoti dirinya, melihat istrinya begitu dekat dengan lelaki lain? Tidak marahkah ia saat membayangkan Natalia ditiduri oleh Alejandro? Tentu saja ada. Setiap kali bayangan itu melintas, darahnya mendidih, seakan ada bara yang membakar dadanya. Membayangkan bibir Natalia yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini dilumat oleh pria lain, hampir membuatnya kehilangan kendali. Namun Victor bukanlah pria yang mudah dikuasai oleh emosi. Ia mengenal istrinya terlalu baik untuk percaya bahwa Natalia akan melibatkan hatinya dalam hubungan semu itu. Natalia adalah perempuan keras kepala, kaku, dan anggun dengan caranya sendiri. Ia menjalani perannya tanpa pernah menurunkan harga diri. Bagi Victor, inilah kepastian yang membuatnya bisa menahan cemburu. Karena ia tahu, Natalia tidak akan jatuh cinta pada Alejandro. Untuk urusan ini, Victor bisa menjamin sepenuh hati. Pada akhirnya, bagi Victor, cemburu hanyalah emosi sia-sia. Ada hal yang jauh lebih penting: kariernya. Jika Natalia berhasil hamil, jika publik kembali menaruh simpati dan kepercayaan padanya, maka jalannya menuju kursi menteri akan terbuka lebar. Itu adalah tujuan utama, sebuah rencana besar yang tak pantas dikorbankan hanya demi gejolak hati yang remeh. Alejandro memang muda dan tampan, tapi bagi Victor, itu bukan apa-apa. Natalia bukan tipe perempuan yang gampang tergoda pada wajah atau pesona. Ia seperti Sebastian—pragmatis, penuh kalkulasi, selalu menimbang kekayaan dan jabatan di atas segalanya. Dan dengan pemahaman itu, Victor tahu dirinya masih menggenggam kendali. “Semua yang aku lakukan demi anakku, Victor. Kamu pasti tahu itu.” Sebastian bangkit dari kursi, menatap jendela yang terbuka. Terdengar sayup-sayup suara percakapan. Orang-orang tadi belum sepenuhnya pergi. Mereka sedang menunggu Victor keluar, sebelum bicara lagi dengannya. “Tentu saja aku tahu, Papa. Kalau semuanya untuk Natalia.” Sebastian berbalik, menatap Victor tajam. “Aku akan membantumu, dengan segala cara untuk mencapai puncak karirmu. Yang perlu kamu lakukan hanya satu, membahagiakan anakku.” Victor mengernyit. “Kenapa Papa mengulang-ulang perkataan? Bukankah aku sudah menegaskan akan menjaga Natalia. Papa tidak usah kuatir soal itu. Aku orang yang pandai menangani istriku. Yang perlu Papa lakukan hanya memastikan langkah politikku mulus!” Sebastian menepuk pundak Victor dengan kekuatan yang disengaja, telapak tangannya menekan sedikit lebih keras hingga membuat menantunya mengernyit tak nyaman. Dengan gerakan tenang, ia menjentikkan cerutu yang dipegangnya, abu panas berjatuhan tanpa ampun, mengenai punggung tangan Victor. Aroma tembakau terbakar bercampur dengan rasa perih yang menjalar cepat di kulit. Victor menahan diri, tidak berani menarik tangannya atau mengaduh, sementara Sebastian sama sekali tidak menunjukkan simpati. Baginya, luka kecil itu tidak sebanding dengan pengorbanan besar yang telah ia lakukan demi mempertahankan keluarga dan kekuasaan. Dalam diam, Victor memahami pesan itu: rasa sakit hanyalah bagian kecil dari permainan besar Sebastian.Bagian Atas Formulir Bagian Bawah Formulir “Kamu harus tahu,” bisik Sebastian mengancam. “Aku tidak suka diperintah. Kamu baru saja memintaku menolongmu!” Victor menggeleng, mengernyit karena ujung cerutu kini menyentuh punggung tangannya. Cerutunya sendiri terlepas ke atas meja. “Bu—bukan begitu, Pa.” “Kamu tidak berhak memerintahku, Victor. Aku yang akan memutuskan apakah kamu berhak untuk jabatan itu atau tidak. Hanya aku yang bisa menolongmu, termasuk membersihkan dosa-dosa masa lalumu.” Victor menghela napas, berusaha untuk tidak menyentuh kulitnya yang terbakar. Sebastian beranjak pergi dan kembali ke kursinya. Pertemuan antara mertua dan menantu yang seharusnya berjalan hangat, berubah menjadi kaku dan dingin. “Aku membantumu, karena ingin memastikan anakku bahagia. Aku tahu Natalia ingin punya anak, dan kesibukannya membuat keinginannya belum tercapai sampai sekarang. Aku bersandiwara, berpura-pura sakit bukan untuk membantumu, tapi demi anakku. Sama seperti yang aku Iakukan dulu padamu, itu semua demi Natalia.” Sebastian menatap menantunya tajam, memastikan kalau Victor mengerti maksud dari kata-katanya. “Di luar sana, orang-orang berani membayar mahal untuk bantuanku. Bahkan kalau aku minta mereka menjilati telapak kakiku, akan dilakukan dengan senang hati. Tapi, kamu, berani sekali memerintahku. Kamu hanya menantu, Victor. Tidak lebih dari itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD