14. Burung Kecil Yang Ternoda

1546 Words
Liam merebahkan tubuh Nadine di atas ranjang, bayangannya menutupinya seperti awan gelap. Bibir mereka masih terikat dalam ciuman yang dalam, penuh gairah, namun terasa seperti pertempuran. Awalnya, cengkeraman Nadine pada kemeja Liam masih berusaha menolak, mencoba menemukan pegangan di tengah pusaran yang memaksanya. Namun, perlahan, perlawanannya meleleh. Tangannya yang gemetar berpindah, melingkari leher Liam, bukan dalam pelukan yang tulus, melainkan seperti pelampung di tengah badai emosi yang tidak dipahaminya. Saat pagutan mereka terlepas, napas mereka tersengal-sengal. Liam tidak memberinya waktu untuk berpikir. Ciumannya turun ke leher Nadine, menggigit lembut, meninggalkan tanda yang samar. Bibirnya terus menjelajah, turun ke dadanya yang masih terbungkus gaun tidur sutra. Tanpa kelembutan, tangan besar Liam meremas payudaranya yang kenyal melalui kain tipis. Bukan sebagai sebuah pujian, tapi lebih seperti seorang penakluk yang mengklaim wilayah baru yang telah direbutnya. Sentuhannya kasar dan penuh tuntutan, merasakan setiap lekuk tubuh Nadine seolah sedang memeriksa barang miliknya. Di balik semua itu, wajah Liam tetap dingin. Matanya yang biasanya menyala dalam kemarahan, kini hampa dan fokus, seperti sedang menjalankan sebuah tugas yang harus diselesaikan. Tidak ada cinta, tidak ada kasih sayang, bahkan nafsu yang murni pun tidak terlihat. Yang ada hanyalah kebutuhan untuk menguasai, untuk menundukkan, dan untuk membuktikan bahwa setiap inci dari Nadine adalah miliknya. Nadine memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba melarikan diri ke dalam pikiran sendiri. Tubuhnya mungkin merespons, tapi jiwanya terasa hampa dan terpisah, menyaksikan semuanya terjadi dari kejauhan. Ini bukan tentang cinta atau gairah; ini tentang penaklukan total. Liam menguasai dirinya. Nadine bahkan tidak sadar jika gaun tidurnya telah tersingkap memamerkan lekuk tubuhnya yang sintal. Liam menjamahnya, menciumi bagian-bagian paling vital pada tubuhnya. Membuat napasnya tersengal-sengal merasakan sentuhan liar pria itu. Liam menjauhkan dirinya dan memandangi Nadine yang tampak frustrasi. Jemari tangannya mengusap perut rata Nadine, merasakan kulitnya yang halus. Tatapan mereka saling bertemu, dan Liam bisa melihatnya, sebuah tatapan penuh hasrat di mata gadis itu, yang dibalas dengan senyuman sinisnya. “Kau mau aku menyetubuhimu?” tanya Liam vulgar. Nadine tidak menjawab, tapi ketika merasakan remasan kuat pada payudaranya Nadine kembali mendesah. “Memohonlah,” titahnya. Nadine memilih memalingkan wajahnya ke arah lain. Hingga akhirnya dia merasakan jika Liam menarik segitiganya hingga lolos dari kaki jenjangnya. “Kau selalu menggodaku dengan gaun tidur sialanmu, dan kini kau mendapatkan yang kau mau, little bird.” Nadine masih tidak menjawab, dia tidak mengerti bagaimana mungkin dia menggoda pria itu, padahal hanya gaun itu yang diberikan oleh pelayannya sendiri. Liam melepas kemeja berikut dengan celana kainnya. Kemudian Liam mengangkat satu kaki Nadine dan menciuminya, kulitnya yang halus dan lembut membuatnya candu. Napas Nadine masih terasa berat. Dia merasa sangat malu atas yang terjadi saat ini di mana tubuh polos dan tidak berdayanya berada di bawah kendali Liam. Dia ingin memberontak tapi sesuatu dalam dirinya melarang. Sesuatu yang liar seolah mengatakan untuk tetap bertahan, padahal dia yakin logikanya menolak. Ciuman Liam kian brutal, dimulai dari ujung kakinya hingga ke paha dalamnya, lalu naik perutnya, terakhir ke dadanya. Liam seperti sedang kerasukan, meninggalkan tanda di bagian-bagian paling sensitif tubuhnya. Belum lagi remasan kuat pada dadanya, tak tinggal diam mulutnya pun ikut menghisap dadanya membuat Nadine semakin mengerang antara nikmat dan penghinaan terhadap dirinya. Liam kembali tersenyum miring menatap Nadine yang sudah kepayahan akibat perbuatannya. “Kau pasti tidak sabar untuk sesuatu yang kau mau.” Nadine menggeleng pelan saat dia merasakan jemari tangan Liam yang besar meraba pusat gairahnya. “Tidak? Kau tidak mau?” Nadine menutup mulutnya tatkala satu jari pria itu menembus masuk ke inti tubuhnya. “Ku mohon ....” Suara itu spontan terlontar dari bibir Nadine. “Bagus sekarang kau memohon.” Liam menghentikan kegiatannya dan mengeluarkan jarinya dari inti tubuh Nadine. Tapi kini Liam mulai memposisikan miliknya yang sudah menegang tepat di pusat gairah Nadine yang sudah siap. Saat penyatuan terjadi, sebuah rintihan sakit yang tertahan memecah kesunyian kamar. Tubuh Nadine menegang kaku, jari-jarinya mencengkram sprei dengan kuat, dan air mata mengalir deras di pelipisnya. Liam langsung membeku. Ekspresi dingin dan penuh kendalinya retak seketika, digantikan oleh kejutan yang paling tidak terduga. “Kau—” ucapnya tegang, suaranya serak, terganggu oleh sensasi yang sama sekali tidak dia antisipasi. Selama ini, di matanya, Nadine adalah gadis liar yang—dia pikir— berpengalaman, yang hidupnya dipenuhi pesta dan kemewahan yang hedonis. Citra itu runtuh berantakan dalam satu detik ini. Dia menarik napas dalam, mencoba memahami. Semua prasangkanya, semua kemarahan yang dibangun berdasarkan image ‘gadis bebas’ itu, tiba-tiba goyah. Apakah selama ini dia salah? Nadine kembali memalingkan wajahnya, malu dan kesakitan. “Lepaskan aku,” bisiknya, suara penuh rasa malu dan penghinaan. Tapi Liam tidak melepaskannya. Sebaliknya, cara dia menyentuh Nadine berubah. Gerakannya yang tadinya kasar dan penuh klaim, tiba-tiba menjadi ... lebih lambat. Lebih terukur. Bukan berarti penuh kasih sayang, tapi ada hentian sejenak, sebuah pengakuan diam-diam atas sesuatu yang tidak terduga. Dia menatap Nadine, yang masih menolak menatapnya. Sebuah pertanyaan besar tergantung di antara mereka: Siapa sebenarnya Nadine Alexandra? Apakah semua karakter ‘liar’-nya hanya topeng? Jika iya, lalu apa yang sebenarnya dia lakukan di pesta-pesta itu? Kemarahan Liam tidak serta merta lenyap, tapi kini tercampur dengan kebingungan dan rasa penasaran yang mendalam. Penghukumannya tiba-tiba terasa berbeda, karena mungkin saja—hanya mungkin—targetnya selama ini adalah gambaran yang salah. Nadine meringis merasakan nyeri pada inti tubuhnya dan merasa sangat tidak nyaman karena milik pria itu terbenam di pusat dirinya. Melihat ekspresi Nadine yang kesakitan, Liam sudah kepalang tanggung dan tidak bisa berhenti di tengah jalan. Akhirnya dia kembali melanjutkan permainannya, dia mulai menghujamkan miliknya perlahan yang diiringi dengan suara lenguhan kesakitan Nadine. Liam memegangi pinggul Nadine dan terus bergerak yang semula pelan perlahan semakin cepat. Nadine semakin mengerang, bahkan menjerit kesakitan. Jelas saja, gadis itu masih perawan. Dia pasti kesakitan untuk pertama kalinya. Tangan Nadine kembali mencengkeram seprei. Liam semakin menyiksanya tanpa peduli dengan teriakan kesakitan yang dia rasakan. Perlahan jeritan kesakitan Nadine mereda digantikan oleh suara desahan sialannya. Rasa sakit itu berubah menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa menderanya. Nadine menutup mulutnya, malu, karena dia mendesah keenakan atas perbuatan Liam pada dirinya. “Ah, kau menyukainya, kan?” desis Liam, suaranya bercampur antara ejekan dan kepuasan gelap, sambil memperhatikan setiap reaksi tubuh Nadine yang tak bisa berbohong. Nadine hanya memalingkan wajahnya, menatap kosong ke jendela. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tubuhnya telah menjadi medan yang sepenuhnya dikuasai oleh Liam. Saat Liam menarik tubuhnya untuk berganti posisi, Nadine menurut tanpa protes, tanpa perlawanan. Setiap sentuhan Liam, setiap ciuman, setiap desahan, terasa seperti ukiran yang menggoreskan kekuasaannya pada tubuh dan ingatannya. Ini bukan tentang kenikmatan; ini tentang penandaan dan penghancuran sisa-sisa harga diri yang masih tersisa. Liam menguasai dirinya secara penuh dan mutlak. Tangan besarnya seolah mengklaim seolah-olah itu adalah miliknya. Bibir mereka kembali bertemu, berciuman panas dan membakar. Nadine melingkarkan tangannya pada pundak lebar pria itu, agar dirinya tidak ambruk. Liam menyukai suara desahan Nadine yang berada tepat ditelinganya. Desah kenikmatan. Cara Nadine memeluknya pun kentara sekali gesture tubuhnya yang menikmati permainan mereka. Liam kembali merebahkan tubuh Nadine ke ranjang dan dia mulai menghujamkan miliknya lagi dengan penuh nafsu yang menggila. Hingga akhirnya dia mencapai klimaksnya. Kepalanya terkulai ke belakang bersamaan dengan mulutnya yang menganga mengeluarkan lenguhan kepuasan. Tubuh Nadine bergetar tak terkendali, dilanda oleh sebuah gelombang fisiologis yang tidak diinginkannya sendiri. Itu adalah reaksi tubuh yang di luar kendali akal dan hatinya. Liam menegakkan tubuhnya, matanya memindai setiap detail tubuh Nadine yang lemas dan berkeringat. Nadine memalingkan kepalanya, menolak menatapnya. Bukannya marah, Liam justru tersenyum tipis, sebuah ekspresi kepuasan. Tangannya yang besar mengusap perlahan dari betisnya yang halus hingga ke kaki jenjang Nadine. Lalu, dengan sebuah gerakan yang sangat intim dia menunduk dan mencium telapak kaki Nadine. “Kau sangat luar biasa, Nadine,” bisiknya, suara serak dan penuh dengan makna ganda. Ucapan itu bukan pujian. Itu adalah penegasan kemenangan, bahwa dia berhasil menaklukkan gadis itu. Dengan mencium kakinya, Liam secara simbolis menempatkan dirinya di posisi yang lebih rendah, tetapi justru itu adalah puncak dari dominasinya. Itu artinya, bahkan bagian tubuhnya yang paling ‘rendah’ pun layak dapat penghormatan dari sang penakluk, sekaligus menunjukkan bahwa seluruh tubuh Nadine sekarang adalah miliknya untuk dihormati atau dihinakan sesuai keinginannya. Bagi Nadine, ciuman itu terasa lebih menghina, itu adalah stempel kepemilikan yang paling intim dan paling merendahkan. Liam menarik tubuhnya perlahan, meninggalkan kehangatan dan kekacauan yang baru saja dia ciptakan di atas ranjang. Nadine terbaring lemas, seperti enggan untuk bergerak. Matanya masih terpejam, berusaha mengunci dunia luar dan segala rasa yang menggerogoti dirinya. Liam berdiri di sisi ranjang, merapikan kemejanya dengan gerakan perlahan dan tepat, sekedar mengembalikan penampilan sempurnanya. Gerakannya tenang, sebuah kontras brutal dengan kehancuran yang baru saja ditinggalkannya. Tidak ada kata-kata perpisahan, tidak ada pandangan terakhir. Hanya suara gesper celananya yang berbunyi keras dalam kesunyian kamar, menandai kembalinya sang tuan. Liam berjalan menuju pintu, langkahnya mantap dan tanpa keraguan. Sebelum keluar, jarinya menekan tombol di dinding, mematikan lampu utama dan menyisakan hanya lampu tidur temaram yang menyinari tubuh Nadine yang masih tak bergerak dan tanpa tertutup selimut. Hanya gaun tidur yang terlihat berantakan. Pintu tertutup dan mengunci Nadine sekali lagi dalam dunianya yang baru: sebuah sangkar yang kini terasa lebih hampa, lebih dingin, dan lebih personal daripada sebelumnya. Dari balik pintu, suara kunci yang diputar dua kali bergema, mengingatkannya bahwa bagaimanapun juga, dia masih seorang tahanan. Seperti yang julukan dari Liam, Little bird. Burung kecil dalam sangkar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD