Seorang gadis berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memindai penampilannya dari ujung kepala hingga kaki. Pagi itu, dia tengah bersiap ke kampus dengan gaya yang sudah dia pikirkan matang-matang.
“Kamu cantik dan sempurna!” pujinya percaya diri. Kemudian dia tersenyum tipis dan sekali lagi memandangi penampilannya yang selalu membuat dirinya bangga.
Dia. Nadine Alexandra. Anak pejabat. Anak dokter. Dan, seorang anak tunggal.
Label-label itu sudah melekat padanya sejak lahir. Tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tau siapa Nadine Alexandra sebenarnya.
Di hadapan masyarakat, keluarganya adalah lambang kesempurnaan. Ayah yang kharismatik dan penuh wibawa, ibu yang elegan dan anggun, dan Nadine sendiri, gadis cantik dengan IPK yang cukup dan gaya hidup yang tampak terkendali.
Padahal, semua itu hanya topeng.
Di balik pintu rumah mewah yang berarsitektur Eropa itu, hanya ada kepura-puraan. Sang ayah yang pandai bersandiwara di depan kamera, dan ibunya yang lebih sering menginap di rumah sakit daripada di kamar tidur mereka.
Dan Nadine?
Dia tumbuh dengan cara yang berbeda. Nadine lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bu Kinar, pengasuhnya yang sudah merawatnya dari bayi, dibandingkan dengan ayah dan ibunya sendiri. Nadine bukanlah anak manja, tapi seorang yang tau caranya membuat orang tunduk.
Usianya dua puluh satu tahun, dan kini dia menjalani semester terakhirnya di universitas yang cukup ternama di ibu kota. Nadine sudah merancang sendiri jalan yang akan dia ambil setelah lulus. Walaupun ayahnya seorang pejabat berpengaruh dengan koneksi kuat, ibunya dokter ternama yang dikenal di kalangan elit, tapi Nadine sama sekali tidak berniat menumpang pada nama besar orang tuanya.
Dia ingin meraih segalanya dengan kemampuannya sendiri. Tanpa bantuan, tanpa belas kasih.
“Sudah ditungguin Arga, lho. Masih saja sibuk dandan.”
Nadine menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Bu Kinar berdiri di sana, memasang ekspresi yang sudah tak asing lagi setiap kali Nadine terlalu lama menghabiskan waktu di depan cermin.
Dia tertawa pelan, menyambar tas ranselnya dari atas ranjang, lalu melangkah mendekat.
“Bukan aku yang telat, Bu. Dia aja yang datangnya kepagian,” ujarnya santai sambil menyelipkan tangan ke lengan Bu Kinar dengan manja.
Bu Kinar mendengus mendengar alasan Nadine.
Keduanya berjalan bersama menuruni anak tangga menuju ruang makan yang terletak berdampingan dengan dapur bersih. Tiba di meja makan, Nadine mendapati Arga, putra pertama Bu Kinar, sudah ada di sana tampak sibuk dengan ponselnya, tenggelam dalam dunia Maya.
Sarapan pagi itu berjalan cepat, sesuai rutinitas mereka yang sudah biasa. Usai makan, Bu Kinar mengantar Nadine dan Arga sampai ke teras.
“Pulang makan siang, kan?” tanya Bu Kinar, suara lembutnya penuh perhatian.
“Enggak, Bu. Paling makan sama teman-teman,” jawab Nadine sambil melangkah ke mobil. “Dah, Ibu,” katanya, memberi salam singkat sebelum duduk di kursi sebelah kemudi.
Arga langsung menyalakan mesin mobil dan membawa kendaraan keluar dari halaman rumah. Di teras, Bu Kinar masih berdiri, memandang mobil yang dikendarai oleh Arga mulai menjauh dari pandangan.
Putranya memang ditugaskan oleh Pak David, ayah Nadine, untuk menjadi supir pribadi sekaligus pengawalnya. Mengingat pergaulan Nadine yang cukup bebas. Namun, Kinar selalu mengingatkan Nadine untuk menjaga dirinya agar tidak terlalu terjerumus meskipun ada Arga yang selalu mengawasinya.
***
Di perjalanan menuju kampus, Nadine tampak sibuk dengan ponselnya membalas pesan di grup pertemanannya. Tiba-tiba saja panggilan video dari salah satu temannya masuk yang membuat Nadine mengangkat panggilan tersebut.
“Mana liat pacar gue, Nad?” pinta suara di seberangnya.
Nadine cekikikan lantas mengarahkan ponselnya ke arah Arga yang tengah menyetir.
“Tuh, lihat!”
“Ya, ampun! Gantengnya aku ....“
Nadine kembali tertawa lepas, di sebelahnya Arga tampak berdecak sebal atas sikap Nadine dan temannya yang selalu saja seperti itu. Menggodanya.
“Sudah puas, kan? Gue tutup nih,” katanya pada sahabatnya.
“Oke-oke. Gue tunggu di kampus. Cepetan datang, jangan berduaan terus sama pacar gue, Nad! Bisa-bisa gue mati cemburu nih!”
“Bawel!” Nadine segera mematikan sambungan teleponnya dengan diiringi tawa kecilnya.
“Kamu tuh, ditaksir sama Gita, lho, Ga. Masa gak mau sih,” katanya pada pria di sebelahnya yang sempat memasang ekspresi tidak suka saat sahabatnya menelepon tadi.
“Peduli amat.” Arga membalas ketus.
Nadine memanyunkan bibirnya menanggapi ucapan Arga.
“Padahal Gita cantik, pintar, anak pengusaha juga. Masa kamu gak suka sih?” Nadine kembali mempromosikan sahabatnya.
“Cantikan juga kamu.”
Nadine lantas tertawa kecil mendapat pujian itu dari Arga. “Iyalah, aku memang cantik dari mana-mana juga. Nadine gitu lho,” katanya jumawa.
Arga diam saja dan kembali fokus pada kemudinya.
Mereka tiba di kampus kurang dari dua puluh menit kemudian. Nadine langsung keluar dari mobil begitu saja tanpa mengatakan apa-apa pada Arga yang terus memandanginya berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Lelaki itu kembali menjalankan mobilnya keluar dari area kampus menuju kantor ayah Nadine.
Di kantin kampus, Nadine sudah bergabung dengan ketiga sahabatnya, Gita, Sara, dan Freya. Mereka duduk di salah satu meja yang sudah menjadi tempat khusus setiap kali ke kantin. Menandakan jika meja itu hanya boleh mereka saja yang duduki.
“Jadi, dia deketin Devan?” tanya Nadine saat diberi tau mengenai seorang gadis yang tampaknya sedang mencari masalah dengannya, karena mencoba mencari perhatian pada pria yang menjadi gebetannya.
“Iya, gue lihat kemarin mereka jalan bareng. Kayaknya juga Devan anter dia pulang, deh.” Freya berkata lagi melengkapi informasinya yang tadi hanya setengah.
Gita dan Sara hanya memperhatikan dua sahabatnya yang terlibat percakapan serius.
“Yang mana sih, orangnya?” Kali ini Sara yang bertanya karena penasaran.
“Namanya Arabella, dia adik tingkat kita. Cantik sih, tapi ya, gitu namanya juga cewek blasteran. Wajar kalau banyak yang suka, termasuk Devan-nya Nadine,” ujar Freya lagi kembali menjelaskan.
Mendengar penjelasan Freya membuat darah Nadine mendidih, ingin sekali dia melabrak gadis bernama Arabella itu. Adik tingkat berambut panjang yang terlalu sering muncul dalam pandangan Nadine akhir-akhir ini. Terlalu lembut. Terlalu polos. Terlalu menarik perhatian pria yang seharusnya memandang Nadine.
“Arabella anak baik, Nad. Dia enggak nyari masalah,” sahut Gita yang bisa melihat ekspresi wajah sahabatnya mulai mengeras menahan marah.
“Justru itu masalahnya.” Nadine tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Dia manis. Lugu. Tipe cewek yang pria-pria sok pelindung itu suka. Tapi sayangnya, dunia ini bukan tempat untuk anak manis.”
Gita tampak terdiam, begitu pun Freya dan Sara yang terlihat saling melirik dengan ekspresi khawatir. Mereka khawatir jika Nadine melakukan sesuatu yang buruk pada gadis itu.
Selesai kelas terakhir, Nadine mengajak Sara yang kebetulan berada di kelas mata kuliah yang sama dengannya.
Hari itu, Nadine menunggu momen yang tepat untuk bisa melancarkan aksinya. Dia hanya ingin memberi sedikit pelajaran pada gadis blasteran itu agar tidak lagi mencari perhatian pada Devan.
“Jangan kasar-kasar, Nad. Ingat sebentar lagi kita mau lulus.” Sara mengingatkan Nadine.
“Enggak, kok, paling cuma—” Kalimat Nadine menggantung tatkala sepasang matanya tertuju pada sosok yang menjadi targetnya.
Arabella, gadis yang dimaksud oleh Freya tadi, tampak sedang berjalan ke arah toilet di lantai dua. Sendirian.
“Ayo, Sar!” Nadine segera berjalan menyusul Arabella yang sudah masuk ke dalam toilet yang siang menjelang sore itu tampak sepi.
Sara mengikuti Nadine yang sudah hampir di toilet. Nadine tampak celingukan seolah memindai ke sekeliling. Aman. Dia langsung masuk ke dalam toilet dan mengetahui jika Arabella ada di bilik paling ujung, karena hanya pintu itu yang tertutup.
“Jagain pintunya, ya, gue mau lihat dia,” katanya pada Sara.
Sara mengangguk kaku. Dalam dirinya sudah ketakutan jika aksi mereka khawatir diketahui oleh salah satu mahasiswa.
Nadine melangkah menuju ke arah bilik yang baru saja terbuka. Gadis di dalamnya terkejut mendapati Nadine sudah ada di depan pintu.
“Kakak mau pakai toiletnya?” tanya Arabella.
“Enggak! Gue mau ada perlu sama Lo!” Nadine segera mendorong tubuh kecil Arabella kembali masuk ke dalam bilik. Mendorongnya hingga punggung belakang membentur pada dinding dengan sangat keras dan membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Apa salah aku, Kak?”
“Berhenti cari perhatian sama Devan. Dia pacar gue, paham?!”
Arabella menggelengkan kepalanya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku sama sekali enggak—” Tiba-tiba saja ponsel Arabella berdering dan Nadine segera mengambil ponsel itu untuk melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Huruf D yang disertai dengan simbol love.
“D?” Nadine tersenyum sinis. Lantas membanting ponsel Arabella ke lantai hingga rusak.
“Dasar jalang!” Dan yang terjadi setelahnya adalah tindakan yang bahkan Nadine sendiri tidak mau dia pikirkan terlalu dalam. Sedikit dorongan, cengkeraman kuat di lengan, dan bisikan ancaman yang membuat Arabella tak mampu melawan dan hanya menangis.
Itu bukan kali pertama Nadine membuat seseorang menangis.
Tapi entah kenapa, kali ini tindakannya terasa salah.
Nadine bahkan tidak akan menyangka jika apa yang telah dilakukannya pada gadis blasteran itu akan membuat dirinya berada dalam bahaya.