Titan menatap layar ponsel miliknya. Berkali-kali ia mengetik sesuatu hendak dikirimnya pada seseorang, namun berulang kali juga ia mengurungkan niatnya. Tidak perlu menyimpan kontak nomor tersebut, karena dua belas angka tersebut sudah dihafalnya diluar kepala.
Hampir sepanjang malam ia memikirkan cara, bagaimana ia bisa bertemu dengan Barry atau lebih tepatnya mengajak mantan kekasihnya itu untuk bertemu tanpa sepengetahuan Moana, istri Barry. Sulit rasanya hanya untuk mengetik sebuah pesan singkat dan mengajak Barry bertemu, meski hanya sebentar.
"Kamu sudah periksa dokumen yang aku maksud kemarin?" Terdengar suara seseorang hingga membuat Titan terkaget.
"Astaga!" Seketika Titan menoleh dan mendapati Bagas tengah berdiri tak jauh dari meja kerjanya.
"Sudah." Titan segera mengambil beberapa tumpukan dokumen dan menyerahkannya pada Bagas.
"Bagaimana jadwal saya hari ini?" Tanya Bagas.
"Ada dua rapat penting yang harus Bapak hadiri. Pukul dua sore dan jam sebelas siang." Jelas Titan.
"Baiklah, nanti kamu ikut bersama saya."
"Baik, Pak."
Bagas segera memasuki ruang kerjanya, setelah memeriksa jadwal kegiatannya dan juga beberapa dokumen dari Titan. Baginya ada sesuatu yang terasa begitu berbeda. Yaitu Bagas tidak lagi melihat sosok wanita yang selama ini selalu berada didekatnya, dan kini justru digantikan oleh orang lain.
Sekilas pun Bagas tidak perlu meragukan kemampuan kinerja Titan, wanita itu terlihat begitu pandai dan sangat cekatan. Meskipun penampilannya sedikit berantakan dan kurang modis bahkan bau harum tubuh Titan lebih mirip parfum bayi, ketimbang bau harum parfum mahal yang sering digunakan Risa dan perempuan lainnya.
Titan tidak menggunakan riasan tebal, namun wajahnya masih terlihat segar dan cantik. Untuk saat ini Bagas hanya mendengarkan ucapan Darman dan memberikan Titan kesempatan untuk bekerja. Meski penampilan Titan jelas-jelas melanggar aturan sebagai seorang sekretaris.
"Tolong buatkan saya kopi." Bagas menghubungi Titan lewat telepon. Seharusnya hal seperti itu tidak perlu dimintanya, karena biasanya Risa selalu menyediakannya sebelum Bagas minta.
Bagas menggelengkan kepalanya, lagi-lagi ia membandingkan Risa dengan perempuan lain.
Tidak butuh waktu lama Titan datang dengan secangkir kopi pesanannya. Begitu cangkir kopi tersebut berpindah ke atas meja kerjanya, Bagas menghela lega karena Titan membuatkannya kopi hitam. Kopi kesukaannya.
Bagas segera menyeruput kopi yang masih terlihat panas,
"Pake gula?" Tanya Bagas, sambil melirik ke arah Titan yang masih berdiri disamping meja kerjanya.
"Iya. Saya tidak tahu kalau Bapak suka kopi pahit, karena Mbak Risa tidak membertahu." Jelas Titan.
"Saya sudah terbiasa minum kopi pahit. Lain kali buatkan saya kopi pahit saja."
"Baik, Pak." Titan segera pamit dan segera meninggalkan ruang kerja Bagas.
"Apa enaknya kopi hitam." Gerutu Titan pelan.
"Pak Bagas sangat menjaga penampilannya, jadi wajar saja dia sangat menghindari gula. Berbeda dengan saya."
"Pak Darman!"
Lelaki paruh baya itu tersenyum menghampiri Titan dengan segelas kopi di tangannya.
"Kamu akan terbiasa dengan semua kebiasaan Bagas secara perlahan. Tidak perlu terburu-buru."
"Baik, Pak."
"Jangan bicara terlalu kaku, kita teman. Jika tidak ada Bagas tentunya." Lelaki bertubuh tambun itu tertawa lepas, membuat Titan menghela lega. Setidaknya ada orang yang bisa dijadikan teman, meski hanya seorang lelaki paruh baya. Namun sorot mata Darman tidak mencerminkan lelaki m***m yang bisa saja menggoda atau melecehkannya. Darman justru kebalikan dari itu semua. Suara dan sikap ramahnya sangat terlihat jelas jika dia orang yang bisa dipercaya, bahasa tubuhnya lebih seperti orang tua bijak.
"Kamu sudah sarapan?" Tanya Darman.
"Sudah. Tadi sarapan bareng Ibu dan adik-adik."
"Kamu bisa sarapan di kantor, kalau kamu mau. Semua bahan makanan disini boleh digunakan." Tunjuk Darman pada rak berisi berbagai bahan makanan instan.
"Benarkah?"
Darman mengangguk membenarkan, "Bagas tidak mau makanan instan. Dia suka makanan sehat."
"Takut gemuk?"
"Dia takut seperti diriku," Darman terkekeh sambil mengelus perut buncitnya.
"Padahal semua makanan itu enak. Tapi bisa-bisanya dia meminum kopi saja tanpa gula."
"Aku juga suka kopi, tapi kopi dengan gula yang banyak. Hidupku sudah terlalu pahit. Akan semakin membuatku menderita jika harus meminum minuman pahit juga." Titan pun mengambil satu sachet kopi instan dan menuangkannya ke dalam gelas.
"Tidak ada hidup yang benar-benar sempurna, begitu juga sebaliknya. Tergantung bagaimana cara pandang kita."
Titan menoleh, memperhatikan ucapan Darman dengan seksama.
"Apa yang terjadi dimasa lalu, tidak akan pernah bisa kamu lupakan begitu saja. Tapi berkat masa lalu, kamu bisa menjadi wanita kuat seperti sekarang." Darman menepuk lembut pundak Titan.
"Bersabarlah,,, karena kebaikan akan datang kepada orang yang mau menunggu. Itu kata putriku, dia tau dari film kartun Rapunzel kesukaannya." Darman segera berlalu setelah ia mengambil beberapa biskuit dari toples.
Sejenak Titan mencerna ucapan Darman, mungkin ada benarnya juga ia harus lebih bersabar. Tapi selama ini ia sudah bersabar, bahkan ia berusaha menahan ego dalam dirinya, hanya untuk menghargai keputusan orang lain tanpa memikirkan bagaimana hancur hatinya.
Sesuai jadwal kegiatan Bagas, Titan mengikuti kemanapun lelaki itu pergi. Mencatat apapun yang menurutnya penting, bahkan ia mulai harus beradaptasi dengan beberapa rekan kerja Bagas. Baik yang berada di kantor yang sama, maupun di luar kantor.
Ternyata kesibukan Bagas bukan hanya isapan jempol semata. Bagas benar-benar sibuk, bahkan mereka berdua belum sempat menikmati jadwal makan siang, sedangkan saat ini waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya mereka pulang.
"Kita makan siang dulu." Ajak Bagas.
"Iya?"
"Kita belum sempat makan siang, jadi anggap saja kita makan siang."
"Bapak mau makan dimana?"
"Di tempat biasa."
Titan mengerutkan keningnya, "Tempat biasa?" Gumamnya pelan, namun masih bisa didengar Bagas.
"Terserah kamu saja. Saya ikut, asalkan tempatnya bersih dan makananya sehat." Lanjut Bagas.
Titan berpikir sejenak, namun ia segera membuka layar ponsel dan mencari tempat makan yang dimaksud Bagas.
"Kita berangkat sekarang. Setelah makan, kamu boleh langsung pulang."
"Baik," Titan segera menghubungi supir pribadi Bagas dan memberitahu alamat tempat makan yang sudah dicarinya lewat internet.
Sesampainya di tempat tujuan, Bagas tidak kunjung turun dari mobil. Ia justru nampak memperhatikan sekitar bangunan yang terlihat asing di matanya.
"Makan disini?" Tanyanya penuh keraguan.
"Iya, makanannya enak dan sehat."
"Dari mana kamu tau, makanan disini enak dan sehat?"
"Karena pemiliknya teman dekat Ibu. Bapak bisa makan sepuasnya, dengan harga terjangkau dan tentunya enak." Jelas Titan.
Titan memang membawa Bagas ke salah satu teman Ibunya yang membuka rumah makan sehat. Titan dan Yanti sering diundang ke rumah makan tersebut, terlebih jika mereka sedang banyak pesanan. Rumah makan yang menyajikan berbagai hidangan sederhana namun semua bahan-bahan mereka menanamnya sendiri secara organik.
"Rumah makan ini sehat, semua bahan bakunya organik. Bahkan mereka menyediakan menu vegan, untuk orang-orang yang tidak menyukai daging." Jelas Titan.
"Saya tidak biasa makan di tempat seperti ini." Untuk kesekian kalinya Bagas mengucapkan kata 'Tidak biasa' membuat Titan menghela lemah.
"Tidak semua 'kebiasaan', itu baik kita lakukan setiap harinya. Ada kalanya kita harus mengubah kebiasaan tersebut, untuk melihat hal baru yang tanpa kita sadari ada di sekitar kita."
"Kalau Bapak gak mau makan disini, biar saya saja yang makan disini. Bapak bisa ke tempat biasa yang sering Bapak kunjungi. Kalau begitu saya permisi, selamat sore Pak." Titan segera keluar dari dalam mobil milik Bagas.
Tanpa menghiraukan Bagas, Titan segera masuk kedalam rumah makan tersebut. Rumah makan yang didesain seperti rumah sendiri, terasa sangat nyaman dan hangat.
"Seharian bahas biasa dan gak biasa. Makan saja dibuat ribet. Hidupnya pasti jauh lebih ribet lagi," gerutu Titan. Tanpa memperdulikan Bagas yang pada akhirnya mengikutinya dari belakang.