Bab 9 | Saya Ingin Mencoba Kamu

1420 Words
Mobil yang menjemput Ayuna berbeda lagi dengan yang tadi pagi mengantarnya. Mungkinkah ini bagian dari siasat agar hubungan mereka tetap terjaga kerahasiaannya sebelum hari resepsi? “Sore, Nyonya. Sesuai perintah Tuan Elan, kita akan langsung pulang ke penthouse. Penthouse Tuan Elan hanya berbeda tower dengan apartemen Anda. Semua kebutuhan Nyonya sudah disiapkan.” Nyonya? Ayuna langsung menggigit bibir? Dia benar-benar Nyonya Alastair sekarang? Kenapa terdengar menggelikan? Seperti ada puluhan capung yang hinggap di perutnya. “Baik, Pak. Panggil Ibu saja atau Ayuna. Saya masih terlalu muda untuk dipanggil Nyonya.” Ayuna mengusap tengkuknya yang terasa merinding. Supir itu tidak menyahut, hanya tersenyum tipis lalu melajukan mobilnya. Dia tidak tau pria itu sudah pulang atau belum, ruangan mereka tidak sedekat itu dan juga berbeda lantai. Ayuna juga masa bodoh. Banyak yang harus dia pikirkan dan dia rencanakan daripada memikirkan pria yang di luar jangkauan nalarnya itu. Mereka tiba di parkiran gedung apartemen itu, begitu mobil terparkir sempurna, seseorang langsung membukakan pintu untuk Ayuna. “Mari, Nyonya. Saya antar.” Ayuna mengangguk kaku dengan lidahnya yang kelu. Baru sadar jika mobil itu juga berada di wilayah parkir khusus. Pria itu hanya tersenyum ramah dan terlihat mengakses lift dengan cara yang tidak biasa, namun Ayuna enggan bertanya. “Besok, kami membutuhkan sidik jari Nyonya untuk bisa mengakses lift ini. Ini private lift yang langsung terhubung dengan unit Tuan Elan, slot parkir ini juga hanya untuk mobil Tuan Elan. Saya hanya akan mengantar sampai sini, Nyonya.” Ayuna tidak mengatakan apa pun namun kepalanya mengangguk kaku. Sepertinya dia harus lebih menguatkan kinerja jantungnya yang semakin sering shock sebab perbedaan kehidupannya sebagai manusia normal dengan kehidupannya yang kini bersinggungan dengan si taipan itu. “Unitnya bahkan tidak memiliki pintu. Sialannn! Lima tahun lalu aku hanya melihat apartemen condo seperti ini dari orang sales. Sekarang aku menempatinya! Ya Tuhan, Ayuna! Apa yang kamu lakukan dengan hidup kamu?!” Ayuna memekik kecil sambil menggigit bibirnya, bertepatan dengan bunyi denting lift tersebut lalu pintunya terbuka tanpa suara. Begitu pintu lift terbuka, Ayuna refleks menahan napasnya dengan tatapan yang membola dan takjub luar biasa. Pemandangan city light langsung memanjakan matanya. Cahaya dari ribuan gedung, lampu jalan, dan kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana membentuk mozaik hidup penuh gemerlap lampu ibu kota yang terasa seperti magis. Sejenak Ayuna lupa menarik napas. Udara di ruangan itu lebih dingin namun terasa sekali bau-bau kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan. Ada aroma samar eucalyptus dan woody dari diffuser yang berdesir lembut di sudut ruangan. Lantainya mengkilap, memantulkan bias cahaya lampu malam dari luar kaca, membuat langkah Ayuna seolah terapung di antara dunia nyata dan negeri dongeng. Ayuna terus menggelengkan kepala dengan mulut yang menganga tidak percaya menatap pada hiruk pikuk di bawah sana yang terasa jauh sekali dari jangkauan. “Mata kamu bisa juling terus menatap ke bawah sana.” Suara yang dingin itu membuat Ayuna langsung memekik kecil karena terkejut. “Pak! Ya Tuhan!” Wanita itu refleks memundurkan langkahnya di saat Elan mendekat dengan langkah santai sambil melonggarkan dasinya dan melempar jasnya begitu saja ke sofa. Entah kenapa, Ayuna refleks menyilangkan tangan di depan d**a dengan tatapan penuh waspada. Sebab pria itu mendekat sambil membuka kancing teratasnya dengan santai. Dengan santai! “Ke-napa, P-pak?” Ayuna semakin mundur namun Elan terus mendekat tanpa ekspresi. Kepala Ayuna rasanya kembali rungsing untuk menebak apakah dirinya akan di unboxing sekarang juga? Oh, dengan pemandangan city light di depan mereka, lalu mereka nananini disaksikan oleh gemerlap lampu ibu kota? Sialann, Ayuna! Kenapa pikiran kamu ke mana-mana?! Dan sebab pikirannya yang kotor, Ayuna langsung kembali memekik saat pinggangnya dicengkeram dan pria itu tepat berdiri di depannya tanpa ada sekat lagi di antara mereka. “P-pak … Su-dah …” Ayuna berusaha melepaskan diri dari predator yang kini dengan lancang justru meremat pinggangnya. Ayuna mendongak, sedangkan Elan menunduk sebab perbedaan tinggi mereka. Tangan Ayuna sampai gemetar saat berusaha mendorong d**a itu menjauh, namun dia justru merasa tangannya letoy maksimal dengan d**a yang mulai sesak napas. Pria itu semakin menunduk yang membuat Ayuna refleks memejamkan matanya, bersiap melepaskan keperawanan di bibirnya. Sungguh! Dirinya dan Arseno hanya pernah kissing di pipi atau kening, Ayuna sangat menghindari ciuman bibir, sebab dia paham betul jika awal dari cumbuan di bibir bisa berakhir menjadi cumbuan ke yang lain-lain dan berakhir ke hal yang tidak diinginkan. Dia termasuk wanita konservatif yang memegang teguh prinsip no s*x before marriage. Bukan sebab merasa sok suci, Ayuna hanya merasa itu akan menjadi hadiah terindah untuk suaminya karena hanya suaminya satu-satunya yang akan menikmati tubuhnya. Sialnyaa, angan-angan indah itu sirna karena kelakuan biadaab mereka. Pada akhirnya Ayuna justru menggadaikan jiwa berikut tubuhnya untuk pria asing yang menjanjikan pembalasan untuk Ayuna. “P-pak …” Ayuna kembali memekik saat dia bisa merasakan embusan napas pria itu tepat di telinganya. Dada Pak Elan sudah menempel dengan dadanya dan membuat Ayuna lupa sesaat caranya bernapas. Ya Tuhan! Apa jangan-jangan pria itu juga selama ini diam-diam bernapsuu padanya?! Lalu menjadikannya target sebelum akhirnya menjeratnya dalam pernikahan? Sebab alasan yang dikatakan Pak Elan masih terasa tidak masuk akal di kepala Ayuna! Masalahnya di antara banyaknya wanita … yang pasti sangat banyak dan mudah dia seleksi, kenapa harus Ayuna?! Bulshit sekali dengan semua ucapan pria itu! Ayuna bisa mencerna namun masih tidak bisa menerimanya. “Kamu kira saya senapsuu itu dengan tubuh yang pernah dijamah oleh Arseno Mahendra? Saya memilih kamu karena kamu wanita yang memiliki bibit unggul yang saya butuhkan, sayangnya bodooh soal percintaan.” Mata Ayuna kembali membelalak, kali ini mendelik dengan napas yang memburu. What the?! Berani-beraninya pria itu menghakiminya dengan begitu hina! Belum sempat Ayuna menendang s**********n pria itu atau minimal menonjok mulutnya yang berbisa, Elan sudah melepaskan diri dan berlalu dari sana begitu saja. Ayuna mengepalkan tangannya kuat-kuat, makin sering berinteraksi dengan pria itu, rasa takutnya pada Elan pun perlahan terkikis setelah dia mengenal karakter pria itu lebih jauh lagi. Pria itu juga sebenarnya berisik, bukan yang irit bicara seperti bagaimana image-nya selama ini. Penuh kritik dengan nada penuh intimidasi. Yang Ayuna tau, pria itu anak tunggal -hasil gosipnya dengan anak-anak kantor- dan mungkin karena anak tunggal yang sudah pasti sejak lahir dididik dengan mental pemimpin, karena hanya dia yang akan menjadi satu-satunya penerus, makanya pribadinya menjadi kaku, tidak mau bersentuhan atau akrab dengan orang-orang yang tidak selevel, dan orientasinya hanya pada perusahaan milik keluarganya. Itu yang membuat Ayuna berpikir pria itu selama ini menjadi sosok bos berdarah dingin yang membuat karyawannya tidak pernah sedikit pun berani mencoba mendekat untuk basa-basi apalagi sampai mencoba akrab. “Ck! Tapi jika selama ini dia enggan bersinggungan dengan yang tidak selevel, kenapa memilihku?! Sialannn, kenapa terus kembali ke pertanyaan pertama?!” Ayuna hanya mendengus dengan tatapan kesal melihat punggung pria itu yang menjauh menuju ke dapur. Alih-alih ingin mengklarifikasi dirinya yang masih perawan, Ayuna memilih membiarkan. Besok, jika pria itu sudah membuktikannya sendiri, akan Ayuna ludahi wajahnya dengan tatapan mengejek! Dering panjang di ponsel membuat Ayuna langsung menautkan kedua alisnya. Ayuna langsung mengangkat saat membaca jika itu adalah panggilan dari mamanya. Bibirnya menyungging senyum sinis. -Anak sialannn kamu! Dasar setannn! Papa kamu sekarat dan kamu mengabaikan pesan Mama?!- -Di mana hati nurani kamu, Ayuna?! Nisara menangis semalaman dengan keadaan Papa hingga pingsan dan asmanya kambuh! Kamu bahkan dengan durhakanya mengabaikan kabar dari Mama! Mau jadi apa kamu, Ayuna?!- -Sudah membuat malu keluarga! Wanita murahaan! Tidak bersyukur sudah akan dinikahi Arseno! Mau jadi apa kamu, hah?! Pelacurrr?!” Segala teriakan yang disertai dengan umpatan dan hinaan itu membuat Ayuna tetap terlihat masa bodoh. Wanita itu justru sibuk mengamati kukunya yang mulai panjang. Minggu ini sepertinya akan menjadi ide bagus jika dia melakukan perawatan, karena dia menjadi milyarder dadakan. Ayuna sudah mematikan hatinya untuk mereka, apa pun yang mereka katakan, yang mungkin akan terdengar menyakitkan bagi orang lain, Ayuna sudah kebal dengan rasa sakitnya. Hatinya sudah mati rasa, dan baru akan bereaksi lagi saat melihat mereka perlahan-lahan tumbang. “Jadi sudah mati belum Dewangga Sanjaya itu? Semoga cepat mati.” ujar Ayuna dengan nada santai, namun belum sempat mamanya membalas, Ayuna langsung mematikan sambungan teleponnya dan menonaktifkannya. Dia lalu beranjak menuju ke kamar, namun langkahnya terhenti. Dia membalikkan badan dan bertepatan dengan itu Elan keluar dari dapur. “Pak, kamar saya yang mana?” “Kamar kamu? Sejak kapan kamu punya kamar di apartemen saya?” Pria itu langsung bersedekap dan maju mendekat pada Ayuna yang langsung mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Sejak kapan seorang pengantin memiliki kamar masing-masing? Kita ini pengantin baru, Ayuna. Saya ingin mencoba kamu.” Bisikan itu justru terdengar seperti lonceng kematian di telinga Ayuna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD