[Pria Sombong]

1068 Words
[Pria Sombong] “Selamat datang ke gubuk kecil saya. Bolehkah saya tahu alasannya kenapa orang sehebat Anda mendatangi gubuk kumuh ini?” Suaranya mengalun merdu seperti cicit burung di pagi hari. Disertai senyum tipis dan tatapan misterius, siapa yang tidak akan terpesona pada kecantikan dukun sakti ini. “Hmm, kamu yang disebut-sebut  Mbok Ireng. Enggak keliatan sama sekali. Kulitmu putih pucat udah kayak vampir. Mana bisa disebut Mbok Ireng?” goda Ardi sembari berjalan pelan memutari tubuh ramping si dukun. Mbok Ireng sendiri menolehkan kepala ke belakang. Sungguh, ketika ia melakukannya, Ardi seperrti melihat burung hantu yang membelokkan kepala ke belakang. Melihatnya membawa sensasi angin menyentuh tengkuk. Sembari tersenyum, Mbok Ireng menjawab, “Apalah arti sebuah nama? Pada akhirnya arti dari nama saya tidaklah penting. Tapi bagaimana kemampuan saya membunuh orang-orang yang ingin Anda jatuhkan. Benar?” Ardi tersenyum, agak menyeringai seram. “Ya, betul itu. Tapi bisa aja kan yang disebut ireng itu bukan bagian yang gampang dilihat mata.” “Anda bisa lihat kalau saya mengenakan gaun hitam dan rambut yang hitam bukan? Anda tidak perlu mencari-cari hal yang tidak ada dan fokuslah pada hal yang ada di depan mata.” Balasan itu sama sekali tidak memuaskan Ardi. Ia berhenti di satu titik, tepat di belakang tubuh Mbok Ireng. Tangannya lantas terulur berusaha meraih bokong perempuan tersebut. Masih berusaha, karena pada sepersekian detik yang singkat, tangan pria itu sudah tertarik ke belakang. Dikunci oleh pria berpetromak tadi dalam satu kuncian kencang. “Saya tahu Anda memang tidak sopan. Tapi setidaknya Anda harus bersikap baik di depan bos saya jika tak ingin tangan Anda patah!” Peringat pria berpetromak tersebut sembari menendang bagian belakang lututnya, memaksa agar Ardi berlutut dan meminta maaf. “Minta maaf sekarang!” Ardi tertawa saja mendengar titah tersebut. Bukan tawa lucu tentunya. “Sialan banget deh! Ketemu sama orang-orang yang bisanya ngomong baku kayak buku pelajaran! Mana yang satu kayak lacur, yang satu kayak rekan sesamanya. Aku enggak yakin kalau kalian ini sebenarnya dukun sama asistennya.” Baik Mbok Ireng dan pria berpretomak itu menyiratkan wajah tidak senang. Mereka saling pandang lalu tersenyum dalam. “Anda mau melihat kehebatan saya? Anda bahkan akan langsung mempercayainya dalam tiga hitungan,” ujar Mbok Ireng. Bibirnya yang semula terkatup bergumam tanpa mengeluarkan suara. “Haha, ngelawak ajak kalian!” Ardi tercenung sesaat ketika menyadari sesuatu yang gatal di dalam tenggorokannya. Padahal ia baru saja mengatakan hal-hal buruk pada mereka, tetapi sedetik setelahnya seolah tidak memiliki keberanian membalas. Bukan karena ia tidak punya tenaga melepaskan kuncian tersebut, tetapi karena rasa gatal pada tenggorokannya itu seolah melebar, membesar, dan tak lagi memberikan kesan gatal lagi. Tapi sakit yang tiada terkira! Seolah-olah dari dalam tenggorokannya itu sebuah jarum besar sedang menusuk-nusuk pada bagian yang dianggapnya melebar dan membesar. Ia batuk pertama, sungguh sakit. Air liur berceceran di lantai. Ia batuk lagi, kedua kalinya dan pada batuk yang kedua ini, rasanya makin sakit. Perasaan benda-benda tajam menusuk tenggorokannya tidak sekadar perasaan lagi. Sesuatu sedang berusaha melubangi tenggorokan dan lehernya! Pada batuk terakhir ini, ia tidak hanya mengeluarkan air liur saja, tetapi darah dan juga seekor ular kecil yang menggeliat-liat di lantai gubuk. Makhluk kecil itu bergerak-gerak liar sebelum akhirnya meluncur dan membelitkan diri di betis Mbok Ireng lalu merayap naik ke dalam bagian dalam gaunnya, lalu menghilang. “Oh, itu bukan tiga hitungan. Tapi tiga batuk. Bagaimana rasanya? Menyenangkan? Apa Anda percaya pada saya? Mau saya ulangi?” “Sial!” umpat Ardi yang kembali mendapatkan peringatan tanpa suara dari pria berpetromak. Kuncian pada tubuhnya semakin dieratkan hingga Ardi tergeletak di lantai tanah. “Enggak, enggak. Jangan lakukan lagi. Ampun….” Bahkan pria sesombong itu pun akhirnya tidak berdaya setelah sedikit peringatan kecil. Mbok Ireng lantas berjongkok meraih kepala Ardi yang tidak lagi bangun. Entah memang lemas atau karena malu. Dijulurkannya tangan lalu menarik kepala Ardi ke atas. “Di sini harus sopan kalau ingin pulang dengan selamat. Saya tidak tahu kenapa Anda sama sekali tidak bisa bersikpa sopan. Entah Anda memang tidak dididik dengan baik, atau karena Anda memang terlalu bebal. Namun, saya tidak memiliki kesabaran pada orang-orang sombong seperti Anda.” “Ma-maaf, Mbok. Maaf… saya janji enggak akan bersikap buruk lagi ke Mbok. Saya janji!” Laki-laki dan janji mereka, sama-sama tidak bisa dipegang. Tapi pada akhirnya Mbok Ireng melepaskan Ardi tanpa banyak kata. “Saya enggak perlu kamu mengubah nama panggilan. Tapi yang jelas, Anda harus sopan di sini. Baik Anda gelandangan, anak presiden, ataupun pekerja kantoran biasa, Anda harus tetap sopan di sini,” pungkas Mbok Ireng. “Iya, iya, Mbok....” Mbok Ireng lantas mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagunya. Sedang memikirkan sesuatu. “Hmm, bagaimana ya. Kamu sejak awal sudah tidak sopan. Baik kepada saya, asisten saya ataupun penunggu di pohon lebat tadi. Saya tidak bisa menerima kamu.” “Tapi, Mbok—“ Pria berpetromak lagi-lagi memberikan peringatan. Dijejaknya punggung Ardi hingga pria itu kembali terbatuk dan memuntahkan air liur beserta sedikit darah. “Jangan memotong pembicaraan orang!” “Ampun… ampun….” “Sudah, sudah. Jangan sampai orang ini mati di sini sebelum ia melakukan transaksi dengan kita. Aku hanya berpikir, kira-kira apa yang membuatnya bisa menunjukkan ketulusan pada kita. Kira-kira apa, ya? Membawa air dari tujuh sumur di tujuh pulau di Indonesia, atau syarat yang lain?” “Ayam cemani berjumlah sembilan. Itu dan tidak lebih. Buktikan itu jika ingin menunjukkan keseriusanmu pada Mbok Ireng. Paham?!” Pria berpetromak itu yang menjawab. Sembari menjejak punggung Ardi lagi. “Iya, iya, iya, iya, saya akan bawakan ayam cemani sembilan ekor. Kapan harus saya bawa ke sini? Akan saya usahakan cepat biar urusan saya juga kelarnya cepet!” ujar Ardi lagi meyakinkan. Mbok Ireng dan pria petromak saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Mbok Ireng lantas berkata, “Bawa sembilan pada malam sebelum bulan purnama. Bawa ke sini sendiri dengan kedua tangan sendiri tanpa bantuan orang lain. Anda sanggup?” “Sanggup, Mbok. Sanggup!” “Kalau begitu, cepat pergi sekarang. Cari ayam-ayam cemani itu maksimal malam sebelum purnama,” titah Mbok Ireng. Ardi mendadak ketakutan. “Saya pulang sekarang? Sendirian?” “Oh, iya. Kamu kan laki-laki. Masa keluar dari hutan ini sendiri aja enggak berani? Hah?” Kalau Mbok Ireng sudah menggunakan bahasa santai seperti ini, kesan menakutkannya semakin bertambah. Maka Ardi berlari keluar, tunggang langgang. Tak peduli jika ia tersandung karena batu, sepatu desainer mahalnya menginjak tahi, atau berdarah-darah terkena duri tanaman. |Bersambung|
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD