Part 2

1470 Words
Helena sedang menyalakan hawu (kompor jaman dahulu yang terbuat dari tanah liat atau batu—sebagian dipasangkan permanen pada tanah sebagian dibentuk sehingga bisa berpindah—berbahan bakar kayu) dengan meniupkan udara lewat songsong bambu di tangannya saat mendengar suara-suara di pintu samping dapurnya. Ia mengerutkan dahi, sejenak. “Saha?”(siapa) tanyanya dengan lantang. “Bapak, Neng.” Ucap ayahnya berupa geraman. Helena meletakkan songsong di tangannya dan berjalan membuka pintu kayu yang dikunci menggunakan tulak (selot) kayu yang diputar. Dahinya semakin mengernyit kala melihat sosok yang ada dalam rangkulan bahu ayahnya dan juga pamannya. Sosok pria bertubuh tinggi besar dengan wajah yang dipenuhi bulu tampak lunglai dengan kepala terkulai dan mata terpejam rapat. “Saha eta?” (siapa itu) tanya Helena takut. Gadis itu masih berdiri di tempatnya, memandang ayah dan pamannya secara bergantian. “Ke deui atuh neng narosna. Berat ieu teh.” (Nanti lagi neng bertanya nya. Ini berat). Ucap ayahnya dengan nada suara yang berat. Ternyata yang Helena dengar tadi bukanlah geraman. Melainkan suara berat ayahnya karena beban yang dibawanya. Ayahnya bahkan tampak bernapas pendek karena kesulitan. Helena menyingkirkan tubuh kecilnya ke samping, memberikan jarak yang cukup supaya ketiga orang itu bisa masuk ke dalam rumah. Ayahnya memiringkan tubuhnya, begitu juga pamannya. Keduanya mencoba menyeret pria besar itu masuk dalam dapur berlantai tanah dan kemudian karena sudah tidak tahan lagi menahan bobot tubuh si tamu, keduanya menjatuhkan tubuh besar itu ke atas lantai kayu yang terhubung dengan dapur. Kedua kaki pria itu yang mengenakan celana jeans berwarna biru lusuh dan hiking boots berwarna cokelat tua yang sudah tampak usang. Kemeja lengan panjangnya sudah tampak sangat kotor karena tanah merah. Saat ayah Helena mendekatkan cempor lampu ke wajah si pria, Helena bisa melihat wajah pria itu memar dan bengkak. “Hirup keneh, Pak?” (Masih hidup, Pak) tanya Helena dengan ragu-ragu. Pamannya jelas terkekeh. “Tinggali atuh patuangan na, Neng. Masih ngarenghap.” (Lihat aja perutnya,, Neng, masih bernapas). Ujar pamannya dengan nada geli. “Saha eta teh?” (Siapa dia?) tanya Helena kembali dengan sorot bingungnya. Pamannya yang berusia dua tahun lebih tua dari Helena itu malah mengedikkan bahu dan menggelengkan kepala. “Ari Bapak jeung Amang mendak timana atuh? Kumaha mun si eta teh penjahat?” (Bapak sama paman dapat orang ini darimana? Bagaimana kalau orang ini penjahat?) tanyanya dengan takut. Kini ayahnya yang terkekeh seraya meletakkan cempor di samping tubuhnya. “Nyungkeun eeut neng. Haus.” (Minta minum, Neng. Haus). Ucap ayahnya seraya melepas sandal yang dikenakannya dan meletakannya di atas batu yang dijadikan tangga penghubung dapur tanah dan dapur bersih mereka. Helena mendekati meja, menuangkan segelas air teh yang ada di dalamnya ke dalam sebuah mug blurik berbahan enamel yang menjadi mug khusus ayahnya. Pria paruh baya yang masih tampak sehat itu kemudian meminumnya hingga habis setengahnya sebelum meletakkannya di samping cempor. “Bapak tadi ngirim barang ka kota.” (Tadi Bapak kirim barang ke kota) Jawab ayahnya, Tahu bahwa putrinya sudah tidak sabar lagi menunggu kisahnya. “Pas uihkeun, nyampak aya b***k ieu di jalan. Watir neng, siganamah korban begal.” (Dijalan pulang, bapak nemuin anak ini di jalan. Kasihaan Neng, sepertinya korban begal) Lanjutnya lagi. Helena mengernyit, memandang si pria dengan pandangan berbeda. Kasihan sekali. Ucapnya dalam hati. “Trus naha ku Bapak bet dibekel kadieu. Naha teu dianterkeun ka kantor polisi?” (Lantas kenapa malah Bapak bawa kesini. Kenapa tidak diantarkan ke kantor polisi?) tanyanya bingung. “Ari si Neng kumaha. Bakal lewih rieut urusan na ari di ka kantor polisikeun mah. Keun we antosan cenah gugah heula.” (Neng ini bagaimana. Bakal lebih pusing urusannya kalau dia dibawa ke kantor polisi. Biarkan saja, tunggu dia bangun dulu). ucap ayahnya kembali melirik si pria yang tampaknya tertidur dengan nyenyak itu. Helena memperhatikan sosok si pria dan tampak kebingungan. “Bapak,” ucapnya kembali memandang ayahnya. “Sigana ieu mah sanes urang urang.” (Sepertinya dia bukan orang kita). Ucapnya seraya meneliti pria itu lebih dekat. “Bule nyasar moal ieu mah?” (Mungkin dia bule (orang asing) nyasar?) tanyanya lagi. Ayahnya tampak menganggukkan kepala. Kesiapan kaget keluar dari mulut gadis itu. “Ya Allah, ari bapak. Kumaha lamun pas sadar ngobrolna urang teu ngartos? Heug siah. Kumaha sok?” (Ya Allah, bapak. Bagaimana kalau nanti dia bangun kita gak paham sama bicaranya? Hayo. Mau bagaimana?) tanya Helena pada ayahnya dengan wajah mengernyit bingung. Ayahnya kembali mengedikkan bahu. “Kan aya Neng.” (Kan ada Neng) Jawabnya dengan santai. Pria itu kemudian melirik kea rah adiknya. “Hayu, bawa ka kamar.” (Ayo, bawa ke kamar) Perintahnya yang kembali diangguki sang adik. Keduanya berusaha mengangkat pria bertubuh tinggi besar itu dan mengangkatnya untuk masuk ke bagian dalam rumah. Helena mendesahkan napasnya dengan berat. Ia mendudukkan bokongnya di atas kursi kayu tepat di depan perapian yang ada di depannya. Wajahnya memberengut kesal. Kenapa ini bisa terjadi? Tanyanya pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ayahnya membawa pria asing ke dalam rumah mereka? Dan bagaimana kondisi mereka setelahnya? Ini tidak akan mudah. Pikirnya. Namun ia hanya bisa menarik napas dalam dan kembali pada hawu nya. Pagi menjelang. Kesibukan di rumah mereka sudah terjadi. Helena dan ibunya sudah bersiap menyiapkan makanan untuk keluarganya. Awalnya ibunya tidak menyadari kalau semalam mereka kedatangan tamu asing. Ibunya jelas sudah terlelap jauh sebelum ayahnya pulang dan benar-benar tida terganggu dengan suara ribut yang ditimbulkan ayah dan paman Helena yang menidurkan tamu mereka di kamar sang paman. Dan saat membangunkan paman Helena untuk bersiap ke masjid menjalankan sholat subuh, ibunya dibuat terkejut. “Ya Allah, Bapak. Saha eta?” (siapa itu) pertanyaan yang sama persis seperti yang Helena ajukan semalam. Ayahnya memberikan respon yang sama dan kemudian menjawab dengan jawaban yang sama seperti yang diberikannya pada Helena semalam. Seolah tanpa kata, pria itu memberikan sisa ceritanya pada Helena. Helena hanya menjawab seadanya saja. Dan saat ayah dan pamannya kembali dari masjid, ibunya menyerukan semua kekhawatiran dan ketakutannya pada suaminya. Namun selalu, ayahnya menganggap semua masalah mudah. Tidak ada yang banyak bicara saat sarapan. Adik-adik Helena jelas tidak tahu kalau ada tamu di rumah mereka. Dan ibunya tampak membiarkan mereka untuk tidak tahu. Paman dan ayahnya sudah siap untuk kembali bekerja. Keduanya bekerja di perkebunan. Ayahnya sebagai mandor dan pamannya masih buruh harian biasa. Sementara ibunya, dia hanya ibu rumah tangga biasa yang menghabiskan waktunya dengan mengurus rumah dan anak-anak mereka. Helena memiliki tiga orang adik. Dua diantaranya sudah bersekolah. Satu duduk di kelas dua SMP, yang satunya duduk di kelas lima SD dan yang paling kecil baru akan masuk SD tahun depan. Setiap pagi, kegiatan mereka selalu sama. Ibunya dan Helena menyiapkan sarapan sementara ayah, paman dan adik-adik Helena mandi secara bergantian. Lalu kemudian saat mereka berpakaian, Helena dan ibunya mandi bergantian. Sehingga setelahnya mereka bisa sarapan bersama di dapur tanpa adanya meja makan. Setelah itu, mereka akan berangkat dari rumah bersama-sama. Ayahnya akan pergi naik motor dengan membonceng paman mereka karena bekerja di tempat yang sama. Kedua adiknya yang duduk di SD dan SMP akan pergi bersama karena sekolah mereka saling berdekatan. Dan Helena, ia akan naik mobil milik perkebun—sebuah mobil bak terbuka yang akan mengangkutnya dan juga teman-temannya yang berasal dari kampung yang sama dan sekolah di SMA yang sama dengannya. Mobil itu tidak akan mengantarkan mereka sampai tujuan, melainkan menurunkan mereka tepat di lokasi perkebunan. Dan setelahnya, mereka akan berjalan berombongan sampai ke sekolah mereka. Namun jika biasanya kepergian mereka dilepas dengan ikhlas oleh ibunya, kali ini tidak. karena ibunya jelas merasa panik ditinggal dengan tamu yang tidak dikenalnya. Tamu yang sampai saat mereka selesai sarapan masih belum membuka mata. “Bagaimana ini?” tanya ibunya pada Helena, ayahnya dan juga pamannya. “Emak gak mau ditinggal sama orang ini, Pak. Gimana kalo dia jahat?” tanya ibunya waswas. Wajahnya jelas tampak berubah pucat. “InsyaAllah enggak, Mak. Dia kayaknya orang baik-baik.” Jawab Ayahnya berusaha menenangkan. “Atau begini saja. Selama Bapak, Imran sama si Neng belum pulang, Emak pergi aja ke rumahnya teteh (kakak perempuan) atau ke rumah Emak (nenek Helena) dan baru pulang kalau salah satu dari kami pulang.” “Ya Allah, Bapak. Kalo Emak pergi lama-lama begitu, apa kata teteh sama Emak nanti. Dikiranya nanti Emak Cuma malas-malasan.” Tolak ibunya lagi. “Bagaimana kalau kita kunci pintunya saja?” tanya Imran pada kakak dan kakak iparnya. Helena memutar bola matanya. Rumah mereka itu merupakan rumah panggung. Dinding rumah mereka seluruhnya terbuat dari bilik bambu. Lantai mereka itu berbahan papan, begitu juga dengan pintunya. Bagi orang sebesar ‘tamu’ yang dibawa ayahnya, mendobrak pintu kamar pamannya jelas bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Namun ia tidak banyak bicara, jika memang itu bisa membuat ibunya merasa tenang untuk sementara waktu. Helena akan menganggap ide yang dicetuskan pamannya itu ide yang bagus. Dengan demikian, ia, pamannya dan juga ayahnya bisa pergi melakukan kewajiban mereka. Belajar dan mencari nafkah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD