Florence buru-buru berganti baju setelah menidurkan Adam di ranjangnya. Ia sudah terlambat untuk kembali ke kantor setelah ijin setengah hari karena harus membawa anaknya ke rumah sakit. Wanita itu meraih sepatu hitam yang ada di rak sepatu depan pintu dan mengenakannya sambil melompat kecil berdiri di satu kaki berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Seorang wanita tua keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiri Florence yang masih berdiri berpegangan pada tembok sambil menjejalkan sepatunya ke salah satu kakinya.
“Bagaimana hasil tes Adam, Flo?” tanya Penny, nenek Florence.
“Uhm… kuceritakan nanti, ok Gram? Aku harus buru-buru ke kantor. Adam sedang tertidur di kamar.”
Florence berhasil mengenakan sepatunya. Ia pun berjalan menghampiri neneknya dan mencium pipinya sebelum kemudian bergegas meraih mantel yang tergantung di dinding.
“I love you, Gram. Bye,” pamitnya singkat dan berlalu keluar.
Setengah berlari kecil, Florence berjalan menuju tempat pemberhentian bus yang ada di dekat apartemennya. Ia melirik ke arah jam yang ada di tangannya sambil berdiri bersama beberapa orang yang sudah menunggu kedatangan bus bersamanya.
Sialan, aku benar-benar terlambat, umpatnya dalam hati.
Ketika bus yang ditunggu muncul, ia langsung melompat naik dan memilih salah satu kursi kosong yang ada di bagian tengah bus. Akhirnya berhasil mengumpulkan nafas, Florence meraih ponsel dari dalam tasnya dan mengetikkan nama yang barusan didengarnya dari sang dokter ke dalam website pencarian.
Alexander Oberon, ketiknya.
Berbagai halaman informasi tenang para pria yang bernama sama muncul. Florence membukanya satu persatu, tapi tidak ada diantara mereka yang sepertinya tinggal di daerahnya.
Seorang anak muda, seorang pemusik, seorang guru… tidak ada satupun yang terlihat seperti seorang… vampir?
Florence mengernyitkan dahinya. Sudah gilakah Robert? Menyebutkan tokoh yang sering dipakai oleh penulis dan pembuat film sebagai sosok nyata yang mungkin bisa menyembuhkan penyakit anaknya?
Ia kini mengetikkan kata ‘Vampir dan Metro’ sesuai nama kota yang ditinggalinya.
Kini berbagai berita yang membuatnya makin ingin tertawa pahit muncul.
Lotion Vampir… Cupang Black Vampir…Berita tentang seorang wanita yang menghisap darah pasangannya untuk meningkatkan gairah di ranjang…?
Aku pasti sudah hampir gila juga.
Florence mematikan ponselnya dan memasukannya kembali ke dalam tasnya ketika bus yang di tumpanginya tiba di depan kantornya.
Mungkin aku bisa meminjam uang kepada Pak Julian, pikir Florence sambil berjalan masuk ke gedung yang ada di tengah kota. Bertugas sebagai seorang pegawai administrasi, Florence sudah bekerja di kantor pengacara milik Julian Gabasa selama 1 tahun.
Julian yang masih berumur 26 tahun itu adalah anak salah satu konglomerat yang ada di kotanya. Lulusan universitas terkenal, dan makan dari sendok emas seumur hidupnya membuat Julian menjadi seorang pria yang merasa berada diatas hukum. Terkadang mengingatkan Florence akan Henry yang menghilang setelah kejadian itu. Tapi ia tidak punya pilihan. Kekuatan yang dimiliki keluarga Henry mampu membungkan semua keadilan yang di carinya. Bahkan mengancam masa depannya dengan mempersulit dirinya mendapatkan pekerjaan di kota itu. Untunglah Julian Gabasa, yang juga dari keluarga kuat bersedia menampungnya, walau dengan gaji yang lebih kecil dari yang seharusnya diterimanya.
Melihat salah satu pegawainya yang baru saja muncul, pria itu langsung menjeritkan nama Florence dari dalam kantornya.
“FLORENCE!”
Florence yang baru saja hendak meletakkan tasnya ke atas meja membelalak kaget mendengar teriakan bosnya.
“KEMARI!”
“I… iya pak,” jawab wanita itu batal duduk.
“Tutup pintunya!” perintah pria itu ketika Florence sudah masuk ke dalam ruangannya.
Florence menurut dan menutup pintu berwarna putih itu sebelum kemudian berjalan mendekat ke hadapan bos nya.
“Jam berapa ini kamu baru muncul sekarang?” tanya Julian menatap kearah Florence sambil membelalak. Diakuinya dirinya sedang menikmati wajah Florence yang terlihat mulai memerah karena ketakutan itu.
“Ma..maaf, Pak. Antrian di Rumah Sakit tadi sedikit panjang. Saya langsung kemari setelah membawa anak saya pulang.”
“Ini sudah kedua kalinya dalam sebulan kamu minta ijin masuk siang. Yang pertama alasannya mengantar anak ke posyandu, sekarang ke Rumah Sakit. Memangnya kamu masih berniat untuk bekerja atau tidak sih?” bentak Julian.
“Ni.. niat Pak, saya butuh pekerjaan ini. Uhm…,” Florence mempertimbangkan keinginannya untuk meminjam uang kepada bosnya yang sedang murka itu, tapi tidak mempunyai pilihan akhirnya ia memutuskan untuk paling tidak bertanya.
“Pak, anak saya sedang sakit parah dan membutuhkan biaya untuk operasi. Kira-kira jika saya meminjam uang, apakah Bapak akan membantu?” tanya Florence.
Julian menyandarkan punggungnya ke belakang. Rambutnya yang berwarna coklat tersisir rapi di atas kepalanya, klimis, makin memperjelas dahunya yang runcing. Membuat pria itu terlihat mengintimidasi dari sudut pandang manapun. Belum lagi tatapan matanya yang sipit, dan tubuhnya yang kekar memperjelas bahwa ia bukanlah pria yang bisa diremehkan.
Jelas Julian bukanlah pria yang buruk rupa. Malah beberapa staf di kantornya sering berandai-andai bisa menarik perhatian bosnya itu, yang sepertinya sering jatuh kepada Florence. Membuat wanita itu menjadi sasaran sindiran dan desas desus diantara karyawan yang lain.
“Berapa?” tanya Julian.
“Sa…satu milyar, Pak!”
Julian tertawa terbahak bahak mendengar jumlah yang di lontarkan Florence.
“Kau kira aku pemilik organisasi amal?” sahutnya. “Jaminan apa yang akan kau berikan jika aku meminjamkan uang sebanyak itu, hah?”
Florence kebingungan dengan pertanyaan Julian. Punya apa dia yang bisa dijadikan jaminan. Mobil saja ia tidak punya. Apartemen kumuh yang ditinggalinya bahkan hanyalah sewaan.
Julian tersenyum culas melihat Florence yang tidak mampu membalas tatapan wajahnya.
“Bagaimana kalau kau berikan tubuhmu padaku?” tanyanya. “Untuk kupakai sesukaku, selama yang kumau? Untuk satu milyar?”
Florence mengangkat wajahnya dengan bibir terbuka, “A…apa?”
Wanita itu menatap wajah Julian, tidak yakin ia mendengar apa yang barusan keluar dari bibir bosnya. Memang selama setahun ia bekerja, beberapa kali Florence menemukan bahwa bosnya itu sedang mengamatinya. Tapi selain memarahinya, belum pernah sekalipun Julian menyatakan hal yang tidak senonoh seperti yang diucapkannya sekarang.
“Kau dengar. Tubuhmu, untuk satu milyar.” Julian mencondongkan tubuhnya ke depan.
“A…Aku… tidak… terima kasih. Maafkan saya sudah berani lancang meminjam uang sebanyak itu, Pak.” Florence menggeleng sambil melangkah mundur, ingin secepatnya keluar dari ruangan yang kini terasa bagaikan sebuah kandang buaya, dimana ia adalah mangsanya. “Bolehkah saya kembali ke meja saya? Banyak pekerjaan yang masih harus saya selesaikan.”
Senyuman Julian menghilang dari wajahnya mendengar jawaban Florence. Ia mengerutkan bibirnya sambil mendecih.
“p*****r tidak tahu diri,” umpatnya pelan. “Keluar!”
Kaget akan ucapan Julian dan tidak ingin menunggu umpatan berikutnya, Florence langsung melesat keluar dari ruangan Julian.
Dengan jantung yang masih berdebar-debar, Florence mendudukan dirinya diatas kursi kerjanya. Tangannya meraih kedalam tasnya dan mengamati kertas yang dituliskan oleh Robert.
Alexander Oberon, bacanya berulang kali kini tidak punya jalan lain lagi untuknya kecuali mendatangi alamat yang dituliskan di dalamnya. Dengan harapan siapapun Alexander Oberon, mahkluk apapun ia, akan mau membantunya.
___
Note: Yang menunggu, cerita ini akan ongoing rutin tiap hari mulai Mei yaaa... terima kasih sudah bersabar. Jangan lupa tap love ku dan tinggalkan komen setiap chapter biar ramai. Ikuti juga ceritaku yang judulnya Titanium. Akan ongoing Juni.