Bab 2 - Satria Panji

1044 Words
Sesampai di apartemen sederhanaku, aku langsung menuju tempat tidur yang sedari tadi sudah kubayangkan selama di perjalanan. Aku harus beristirahat mengingat besok adalah hari pertama masuk kuliah setelah libur panjang. Ah, aku rasa salahku sendiri yang kembali ke kota Jakarta ini tepat sehari sebelum liburan berakhir. Padahal seharusnya aku kembali setidaknya dua atau tiga hari yang lalu agar bisa beristirahat sebelum benar-benar sibuk menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, berteman dengan tugas-tugas yang tidak pernah ada surutnya. Aku berharap rasa lelah yang masih setia bertengger akibat perjalanan panjangku sedari berlibur di Yogyakarta akan segera hilang. Ya, apartemen ini sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Meski begitu, tempat ini sangat nyaman bagiku. Saking nyamannya, aku bisa menghabiskan dua puluh empat jam di apartemen ini sendirian. Kulemparkan tubuh pada kasur kesayanganku, rasanya siang ini aku ingin tidur sepanjang hari sampai besok pagi. Perlahan, mataku mulai tertutup dan terlelap. Hampir saja aku memasuki alam mimpi, tapi gagal karena ada suara bel pintu berbunyi. Siapa, sih, yang bertamu siang bolong begini? Ganggu orang istirahat saja! Dengan malas, aku bangun dari tempat tidur dan membuka pintu apartemenku. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok tamu yang datang. Nyawaku yang semula belum kumpul langsung dipaksa kumpul akibat pemandangan yang kulihat saat ini. Penglihatanku tidak salah, kan, melihat dua orang itu berdiri di depan pintu? “Kamu dari mana aja, Sayang? Kami mendatangimu tiga hari terakhir ini, tapi kamu selalu tidak ada. Syukurlah kamu sudah kembali. Kami sangat senang melihatmu ada di rumah,” sapa pria itu dengan ramah. Kelewat ramah malah untuk ukuran pria yang aku benci. “Kalian nggak perlu tahu ke mana saja aku selama ini. Sekarang katakan, apa maksud kalian datang ke sini? To the point sajalah, nggak usah bertele-tele karena aku nggak punya waktu untuk mendengarnya,” jawabku judes. Entah mengapa aku lupa bagaimana cara berbicara dengan sopan kepada pria di hadapanku. “Kamu ini anak durhaka! Ayah datang bukannya kamu suruh masuk, malah berbicara seperti itu.” Pria berkacamata itu terlihat sedikit marah, tapi kemudian kembali memasang wajah ramah. “Maaf, tapi aku nggak punya banyak waktu untuk melayani arah pembicaraan Ayah yang kian membuatku muak,” kataku, sembari kulirik wanita di sampingnya yang tampak sendu. Dari bahasa tubuhnya, aku yakin mereka memiliki hubungan spesial. “Felis, kamu tidak boleh bicara seperti itu pada ayahmu.” Wanita itu mulai angkat bicara. Wah, berani juga ternyata. “Iya, iya, jadi ada apa?” tanyaku ketus. “Ayah cuma ingin kamu mengenal istri Ayah. Ini Dian. Panggil saja Bunda Dian.” Kemudian wanita itu mengulurkan tangannya. Aku memang membenci Ayah, tapi aku masih punya hati. Aku menyambut uluran tangan wanita bernama Dian ini. Kurasa wanita yang bernama Dian ini wanita baik-baik. Aku tak tahu bagaimana cara pria jahat semacam Ayah bisa mendapatkan wanita secantik ini. Mungkin aku tak waras jika memanggilnya dengan sebutan bunda. Sungguh aku tak sudi dengan panggilan itu. Secantik dan sebaik apa pun wanita bernama Dian, aku hanya mampu memanggilnya dengan panggilan tante. Sampai kapan pun, mendiang Bundaku tak mungkin tergantikan. Entah bagaimana ceritanya, kini kami bertiga sudah duduk manis di ruang tamu. Selalu begini, Ayah tak pernah bosan meminta maaf atas segala kesalahannya padaku dan Bunda. Aku pun tak mau kalah, pintu maafku belum terbuka sepenuhnya, bahkan mungkin tak akan pernah terbuka. Aku tidak bohong saat mengatakan bahwa aku sangat membenci pria yang ada di hadapanku ini. “Sampai kapan kamu tak mau memaafkan Ayah? Ayah bahkan sudah menyesal dan mengaku bersalah. Bisakah kamu memberi Ayah kesempatan untuk memperbaiki semua?” “Apa dengan rasa penyesalan yang Ayah miliki dapat membuat Bunda hidup kembali?” tanyaku dengan tegas. Kulihat Tante Dian menunduk seperti mengerti bahwa ia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini. Ini memang bukan urusannya. “Ayah sayang kamu, Felis. Maafkan Ayah, dan mari kita hidup bersama. Ayah janji kejadian itu tak akan terulang lagi.” Matanya menyiratkan permohonan maaf, tapi aku tidak akan goyah. “Menyesal? Janji? Perbaiki? Persetan dengan kata-kata itu. Laki-laki pandai berlindung dalam sebuah janji. Kenyataannya apa? Dusta!” Amarahku seakan terpancing. “Felis...,” panggil Ayah lemah. “Hentikan semua omong kosongmu, Ayah. Aku sudah muak dengan segala kebohonganmu. Asal Ayah tahu, Bunda sangat mencintai Ayah. Dan Ayah dengan tanpa dosa malah berselingkuh dengan wanita lain. Bunda selalu sabar dan bertahan di samping Ayah, tapi Ayah nggak pernah menghargai keberadaan Bunda. Apa pernah Ayah peduli sedikit pun pada wanita yang rela berada di samping Ayah apa pun yang terjadi? Bunda menemani Ayah dari nol hingga sukses,” kataku mulai meluap, sedangkan Ayah hanya terdiam. Ini memang pembicaraan lama yang selalu terulang dan mungkin akan selalu terulang saat kami membahas tentang Bunda, maaf ataupun penyesalan. “Apa Ayah sudah gila karena lebih memilih berselingkuh dan meninggalkan Bunda? Aku hanya ingin menegaskan bahwa mereka nggak seperti Bunda. Wanita-wanita itu kebanyakan hanya mengincar harta, bahkan sampai harta Ayah habis, aku yakin mereka akan meninggalkan Ayah. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu!” Amarahku kini tak tertahankan lagi. Perlahan mataku mulai bereaksi, tapi aku segera menepis air yang hendak keluar dari ujung mataku. Dari dulu, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang telah membuat Bundaku pergi. “Iya Ayah tahu Ayah salah, dan sudah berapa kali kamu mengucapkan hal ini. Tapi. Ayah sudah berubah, Felis,” jawabnya sambil berusaha meraih tanganku, tapi dengan segera aku menghindar sebelum tangannya sempat menyentuh tanganku. Pria itu menghela napas sejenak. “Sekarang tenangkan dirimu, Ayah dan Bunda Dian pamit. Maaf jika kehadiran kami mengusik emosimu. Satu hal yang pasti, Ayah sayang kamu,” tambahnya sebelum pergi dari apartemenku bersama istri barunya. Entah wanita keberapa yang dinikahinya setelah Bunda wafat. Aku hanya duduk terpaku, terlihat mereka mulai menghilang. Aku butuh alunan musik untuk menenangkan pikiran yang tampak kacau ini. Kucari ponsel ke mana-mana tapi tak ada. Aku menarik napas frustrasi sambil melemparkan tubuh ini pada kasur. Teledor sekali aku ini, bagaimana bisa aku lupa meletakan benda yang sangat penting. Oh, ya, aku baru ingat! Aku menaruhnya di tas dan belum kukeluarkan sejak aku tiba di apartemen. Kalau kacau begini, penyakit lupaku makin menjadi. Saat aku mengambil ponsel, aku tersadar akan kejadian tadi di stasiun kereta ketika ada seorang pria menjatuhkan dompetnya. Aku lupa pada ponselku dan seketika langsung memeriksa isi dompet itu. Aku menemukan KTP dan kartu nama. Satria Panji, nama yang asing bagiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD