Bab 9 - Tolong!

1028 Words
Malam ini, aku akan memenuhi ajakan sahabatku untuk datang ke suatu tempat yang tadi ia katakan di telepon. Lebih tepatnya menjadi obat nyamuk dalam kemesraan Rere dan Devan. Awalnya aku tak ingin datang, tapi mengingat betapa memaksanya Rere memintaku untuk datang saat menelepon, membuatku berpikir tidak enak bila menolak untuk menghadirinya. Aku mengenakan dress selutut tanpa lengan berwarna hitam, sangat kontras dengan kulitku yang putih. Ditambah perpaduan high heels yang menambah kepercayaan diriku. Tak apalah sekali-sekali memakai pakaian seperti ini, toh ini hanya ke kafe, bukan ke diskotik atau tempat hiburan yang rawan lainnya. Dua puluh lima menit aku duduk manis di kafe menantikan mereka yang tak kunjung datang. Aku terlalu cepat atau mereka yang terlalu lama, ya? Bayangkan saja, mereka yang punya acara, tapi jadi aku yang menunggu. Ditambah, aku tak biasa menunggu. Jadi seperti ini rasanya menunggu, biasanya Rere-lah yang menungguku. Aku jadi merasa bersalah karena hampir dua tahun menjadi sahabatnya dan memiliki kebiasaan ngaret alias selalu datang tidak tepat waktu. Ponsel yang kugenggam berkedip tanda ada pesan masuk. Kamu cantik malam ini, Nona. Aku sangat terkejut mendapati pesan seperti ini. Siapa pemilik nomor ini sebenarnya, kemarin juga dia sempat mengirimiku pesan singkat. Tunggu, jika pengirim pesan ini mengatakan kalau aku cantik, itu artinya dia memang sudah melihat penampilanku malam ini, kan? Kulirik seisi kafe, siapa tahu saja ada di sekitar sini, tapi tak kutemukan gerak-gerik mencurigakan. Sebenarnya dia siapa, sih? Orang iseng atau memang benar-benar penguntit. Sungguh meresahkan. Akhirnya yang dapat kulakukan adalah mengabaikan pesan tersebut dan berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, karena rasa penasaran muncul lagi, aku melihat kembali pesan itu dan mataku tertuju pada satu kata, yaitu ‘Nona’. Entah mengapa aku selalu teringat Panji saat melihat atau mendengar kata ‘Nona’. Bahkan tadi pagi saat di bus, seorang wanita memanggilku dengan sebutan itu pikiranku langsung merasa janggal. Apalagi yang mengucapkannya adalah Gracia, wanitanya Panji. Mungkin Panji sering memanggil wanita incarannya dengan sebutan ‘Nona’ sehingga Gracia cukup terbiasa dengan panggilan itu. “Maaf kami terlambat.” Tiba-tiba suara seorang wanita yang sedari tadi kutunggu mengagetkan lamunan, entahlah sejak kapan aku sangat sering melamun. Oh tidak, saat aku melihat gadis manjaku ini, ekspresi wajahnya sangat tak terbaca. Kuyakin ada sesuatu yang tak beres. “Kamu kenapa? Sakit? Kok, pucat sekali?” tanyaku menginterogasi. “Aku nggak apa-apa kok, Fel,” jawabnya pelan. Lagi-lagi aku melihat hal yang tak beres pada raut wajahnya. Aku juga melihat sinar kebohongan di matanya. Betapa tidak, sudah hampir dua tahun aku bersahabat dengannya, aku hafal betul kalau dia sedang berdusta. “Rere nggak apa-apa, lo tenang aja, Fel! Dia aman di samping gue.” Devan mulai angkat bicara. Apa pun yang mereka jelaskan tak akan mampu membuatku percaya. Aku janji suatu saat harus tahu apa yang sedang disembunyikan Rere. Oke, pria yang satu ini memang menampakkan sikap baik pada kami, tapi entah pemikiran yang aku tanam patenkan selalu meyakiniku bahwa tak ada pria yang tak berdusta. Semua laki-laki itu sama, tak ada pengecualian untuk seorang pengkhianat. Oh Tuhan, kenapa hidupku selalu dikelilingi penipu? Kemudian kami makan malam bersama. Rere bilang, alasan dia mengundangku malam ini karena ingin merayakan hari jadian mereka. Karena Rere tak memiliki teman dekat lain, akhirnya aku menjadi satu-satunya tamu Rere. “Lo juga bisa mengundang Rere kapan-kapan saat punya pacar juga,” timpal Devan. Pacar? Devan pura-pura tidak tahu atau memang sengaja? Sudah jelas aku tidak memercayai pria. Untuk apa aku berpacaran? “Aku ke toilet sebentar, ya?” kata Rere. Aku menawarkan agar mengantarnya tapi dia menolak. Hal yang sangat tak kuduga pun terjadi saat Rere di toilet. Devan menyentuh jemari tanganku. Matanya terus menatap mataku, dengan cepat aku menepis tangannya. Kurang ajar sekali pria ini, bahkan aku adalah sahabat kekasihnya. Saat aku ingin memakinya, Rere datang sehingga kuurungkan niatku untuk mendamprat pria berengsek ini. Sungguh, tak tega jika harus menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu dia sedang dimabuk asmara, apa yang aku katakan pasti Rere hanya percaya pada Devan. Alih-alih semuanya membaik, aku khawatir malah Rere akan membenciku karena salah paham. Oh Tuhan, ini adalah bukti lagi bahwa pria benar-benar tak pandai bersyukur. Akhirnya hanya bisa seperti ini, terdiam dengan memendam emosi demi menjaga perasaan Rere agar tak terluka. Aku ingin cepat-cepat pulang dari sini! Awas saja kamu, Devan! Ini tak bisa dibiarkan. Ya, aku tidak akan tinggal diam. Meski belum tahu bagaimana caranya menyadarkan Rere bahwa pria itu hanya main-main, tapi aku yakin pasti ada cara. Aku tidak rela Rere yang aku sayangi ini berpacaran dengan pria yang salah. “Aku pulang duluan saja ya, terima kasih sudah mengajakku makan,” ucapku menatap Rere tanpa sedikit pun mau menoleh ke arah b******n busuk itu. “Loh, kok, buru-buru? Kita, kan, baru sebentar,” tanya Rere. Belum sempat kujawab, Devan langsung nyerobot, “Biarkan saja, Re, mungkin dia lelah. Terima kasih juga lo udah mau datang.” Tanpa peduli ucapan Devan, aku menatap Rere dan berkata, “Aku tidak mau sampai kemalaman, Re. Aku juga ngantuk, rasanya ingin tidur lebih cepat malam ini.” “Baiklah kalau itu maumu. Aku mana mungkin menolak,” balas Rere. Aku pun mencium pipi kanan-kiri Rere sebelum keluar dari kafe. Kira-kira ada kendaraan tidak ya jam segini? Hm, semoga saja ada. Lama juga aku menunggu taksi lewat. Apa aku memberanikan diri memesan taksi online saja, ya? Perasaanku jadi tak enak, serasa ada yang memperhatikan dan mengikutiku. Celakanya perasaanku sangat tepat, dua orang pria berbadan besar seperti preman mendekat ke arahku. Karena merasa mereka sangat berbahaya, aku pun mempercepat langkah untuk menghindarinya. Sialnya, langkah kaki mereka lebih cepat dari gerakanku. Kucopot high heels dan berlari sekencang-kencangnya, tapi mereka terus mengejarku, jalanan juga begitu sepi hingga aku tak tahu harus kepada siapa untuk meminta bantuan. Sampai kemudian, syukurlah aku kini tak melihat mereka lagi, rupanya mereka menyerah. Aku sedikit berjalan pelan agar dapat mengatur napas akibat berlari tadi. Dan sial sial sial, kali ini dugaanku salah! Ternyata mereka tak menyerah, bahkan mereka tiba-tiba ada di depanku. Mereka menarik paksa tubuhku hingga tersentak pada dekapan tubuh salah satu di antaranya. Oh Tuhan, jelas aku kalah tenaga. Saat hendak berteriak pun, mereka malah menyumpal mulutku. Siapa pun itu, tolong selamatkan aku! Aku takut. Bagaimana jika mereka macam-macam pada tubuhku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD