Pernikahan
Nabira mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumahnya terlihat asing dengan dekorasi yang begitu indah dan elegan dengan hiasan bunga mawar dan kantil asli di spot tertentu. Orang-orang terlihat berlalu lalang, sibuk mengurus segala sesuatu. Kerabatnya berkumpul bahkan juga yang datang dari jauh. Besok ia akan menikah, melepas masa lajangnya. Wajahnya terlihat mendung. Ada deru perasaan tak karuan berkecamuk di dadanya. Sungguh, terkadang ia ingin lari. Ia merasa terjebak dan tak bisa berbuat apa-apa. Jika tak ingat akan derai air mata sang bunda di sepertiga malam yang mendoakannya untuk kembali ke fitrahnya sebagai perempuan, tentu ia memilih pergi. Jika tak ingat akan genggaman jari-jari tangan sang ayah yang mengisi celah jarinya yang kosong sebelum berpulang selamanya, tentu ia memilih mundur. Ia tak punya pilihan apapun selain menerima perjodohan ini. Ia tak menyangka persahabatan almarhum ayahnya dan ayah Athar begitu erat hingga mereka pernah berujar untuk menjodohkan kedua anaknya bahkan di saat dirinya baru belajar merangkak. Ayah Athar lama tinggal di luar negeri dan baru kembali enam bulan yang lalu. Dia menemui ayahnya dan membicarakan kembali perjodohan anak-anak mereka.
Yang membuat hati Nabira kembali bergerimis adalah ketika mengamati kecekatan jari-jari Ara yang tengah melukis punggung telapak tangannya dengan hena. Bulir bening itu hendak jatuh tapi Nabira buru-buru mengusapnya.
Ibunya sudah mengetahui bahwa dirinya seorang lesbian tapi tak pernah tahu bahwa Ara adalah kekasih lesbian anaknya. Nabira memutuskan untuk coming out di depan ibunya dengan harapan ibunya tak lagi mendesaknya untuk menikah dengan Athar. Awal mendengar curahan hati putri satu-satunya, tangis deras membasah di wajahnya. Ia merasa gagal mendidik putrinya.
“Jangan bergerak dulu, Nab. Nanti ukiran henaku berantakan,” ucap Ara tanpa membuat kontak mata dengan Nabira.
Entah kenapa mendengar suara Ara yang terdengar tegar, hati Nabira kian meradang. Ia semakin sedih dan kalut. Mungkin karakternya lebih maskulin dibanding Ara, tapi perasaannya lebih sensitif. Terkadang Ara bisa bersikap jauh lebih dewasa meski mereka seumuran.
Selesai melukis hena, Ara tersenyum dan menatap Nabira lembut.
“Sudah jadi, tunggu sampai hena ini kering. Hasilnya akan lebih cantik jika sudah mengering.”
Nabira terdiam. Ia beranjak dan berjalan menuju kamarnya dengan isak tangis tertahan. Ia tak tahan lagi melihat gadis yang begitu ia cintai berpura-pura tegar di hadapannya. Ia bisa merasakan ada luka di sorot mata Ara.
Nabira duduk di ujung ranjang dengan perasaan hancur tak berbentuk. Air matanya kembali tumpah. Suara ketukan pintu mengagetkannya. Buru-buru ia usap tetes bening itu dengan jari-jarinya.
“Ya, masuk.”
Matanya terbelalak melihat Ara melangkah pelan menghampirinya.
“Aku pamit pulang... Istirahat yang cukup, Nab. Persiapkan dirimu untuk pernikahan besok.” Kata-kata Ara terdengar begitu tegas, tapi juga lembut di saat yang bersamaan.
Nabira hanya mengangguk pelan. Ara berbalik dan melangkah kembali menuju pintu dengan segala kepiluan yang meluluhlantakkan pertahanannya.
“Kamu baik-baik saja, kan?”
Pertanyaan Nabira menghentikan langkah Ara. Gadis itu menoleh ke arah Nabira yang terpekur menatapnya. Ara mengangguk pelan dengan mata yang sudah berembun.
Isak tangis Nabira semakin menjadi. Ara tak tega melihatnya. Ia mendekat ke arah gadis itu dan memeluknya erat.
“Aku akan tetap sayang kamu, Nab... Nggak peduli apa kata orang, nggak peduli kamu nanti akan menjadi milik Athar, aku akan tetap sayang kamu. Orang hanya bisa menghakimi tanpa bisa memahami apa yang kita rasakan.” Ara melepas pelukannya lalu menangkup kedua pipi Nabira.
“Berjanjilah untukku bahwa kamu akan bahagia...” Kedua mata Ara berkaca. Ia pun menangis. Ia seka hujan air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata Nabira.
Nabira memeluk Ara lebih erat. Tangisnya merembes membasahi pundak Ara.
“Aku sayang kamu, Ra...”
Keduanya kembali meluapkan tangis yang terdengar bersahutan. Ara melepaskan diri dari pelukan Nabira. Ia tak bisa berlama-lama berada di kamar Nabira karena itu hanya akan menambah lukanya.
“Aku pulang...” Ara beranjak dan segera melangkah keluar kamar dengan perasaan yang sudah hancur lebur. Dalam hati ia berteriak sekencang-kencangnya... Aku tak akan pernah baik-baik saja... Aku tak baik-baik saja....
******
“Saya terima nikah dan kawinnya Nabira Zavira binti almarhum Yudhi Sasongko dengan mas kawin tersebut tunai.”
“Sah saudara-saudara?”
“Sah...”
“Alhamdulillah...”
Athar mengembuskan napas lega. Paman Nabira yang menjadi wali nikah mengulas senyum padanya. Athar tahu, ia menikah dengan Nabira tanpa cinta. Namun pernikahan ini akan memberikan banyak keuntungan untuknya. Tentu saja ia tak akan benar-benar menepati janjinya untuk tak menyentuh Nabira. Suatu saat dia akan menyentuhnya dan membuatnya hamil. Ia tak akan membiarkan perusahaan itu jatuh pada saudara tirinya. Jika ia memiliki keturunan, maka semua kekayaannya bisa ia wariskan pada anak cucunya. Nabira tak pernah tahu bahwa Wildan, ayah mertuanya tak hanya menginginkan Athar menikahinya tapi juga berharap segera menimang cucu.
Nabira melangkah keluar dengan diapit ibu dan bibinya. Wajahnya menunduk seakan menyembunyikan kesedihannya. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan menikahi laki-laki yang begitu arogan, kasar, dan senang merendahkannya.
Athar mengamati wajah wanita yang telah resmi menjadi istrinya yang meski disapu make up tapi tak mampu sembunyikan kemuraman yang tengah ia rasakan. Meski ia akui, gadis itu tampil beda di hari pernikahan mereka. Wajahnya terlihat cantik, hasil sulap penata rias terbaik. Hampir saja ia tak mengenali Nabira Zavira, gadis tomboy yang kurang menarik dan dekil di matanya yang saat ini seakan menjelma seperti bidadari.
Nabira duduk bersanding di sebelah Athar dengan perasaan tak menentu. Bahkan ia tak berani menatap wajah laki-laki yang telah sah menjadi imamnya. Dalam benaknya bergaung nama Ara. Ia merasa sangat bersalah karena meninggalkan gadis itu.
Di sudut lain seorang gadis keluar dari pelataran rumah yang telah didekorasi sedemikian rupa dengan pernik-pernik pernikahan. Ia menangis dan meraba dadanya yang sesak... Sungguh sakit... Teramat sakit... Ia sudah mengingatkan diri sendiri untuk tak menyaksikan prosesi akad karena hanya akan membuka kembali luka yang masih basah. Namun ia justru menantang diri sendiri untuk tetap berada di dalam dan mendampingi kekasihnya di saat terakhir sebelum ia benar-benar pergi dari kehidupannya.
Ia memasuki mobil dengan deru tangis yang menyayat. Ia luapkan segala kesedihan dengan tangis yang sudah menganak sungai. Jauh di palung hatinya yang terdalam, ia tak pernah rela melepaskan Nabira... Tak akan pernah....
******
Nabira berganti baju dengan gaun tidur yang sudah disediakan asisten rumah tangga di rumah Athar. Di malam pernikahan ini, Athar langsung memboyongnya ke rumahnya yang besar bagai istana. Ia bahkan tak bisa mengingat jumlah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah suaminya.
Suara deheman membuyarkan renungannya. Nabira terkesiap menatap Athar bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana boxer. Dia memang memiliki d**a bidang dan perut sixpack, otot lengannya terlihat kekar, tapi itu bukanlah pemandangan yang menarik di mata Nabira. Ia lebih menyukai melihat perempuan berpakaian seksi yang menonjolkan lekuk tubuhnya.
Athar berjalan mendekat ke arahnya. Jantung Nabira berpacu lebih cepat. Ia takut Athar akan mengingkari kesepakan mereka.
“Kamu sudah janji untuk tak menyentuhku.” Nabira begitu cemas dan takut Athar akan menyentuhnya. Ia bergerak mundur hingga tak menyadari tubuhnya sudah menghimpit dinding.
Athar melangkah semakin dekat. Ia mengunci istrinya dengan kedua tangan yang ia sandarkan di dinding. Nabira tak berkutik dan membeku dengan kedua tangan Athar yang mengungkumnya, bersandar di sebelah kanan dan kiri kepalanya.
Athar menyeringai dan menikmati rasa takut yang sudah menjalar di semua pembuluh darah istrinya. Ia bisa melihat dari ekspresi wajah gusar sang istri. Nabira ketakutan.
Athar memiringkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada Nabira, berusaha memagut bibir istrinya. Nabira tak begitu saja menyerah. Ia tolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri menghindari ciuman yang hendak diselancarkan Athar.
Athar menghentikan aksinya. Ia menatap tajam wajah Nabira dengan jarak yang begitu dekat. Nabira memalingkan wajahnya.
“Kamu bilang aku dekil dan tak menarik, bagaimana bisa kamu tertarik untuk menciumku?”
Athar tersenyum sinis, “Jangan besar kepala dulu. Aku hanya ingin menguji apakah lesbian sepertimu masih bisa bedebar didekati laki-laki?” Athar menempelkan telapak tangannya di d**a istrinya untuk merasakan debaran yang mungkin bergemuruh di dalam sana.
Nabira terperanjat. Ingin ia hempaskan tangan itu saat ini juga, tapi ia malah terdiam. Sekalipun ia tak ingin Athar menyentuhnya, nyatanya Athar sudah resmi menjadi suaminya yang artinya ia sudah halal untuk menyentuhnya.
“Kalaupun dadaku berdebar itu bukan karena tertarik padamu, tapi karena takut.” Nabira mengumpulkan keberanian untuk menatap balik suaminya dan menunjukkan padanya bahwa ia tak gentar.
Athar terkekeh. Ia turunkan tangannya dari d**a istrinya.
“Sejak kapan kamu menjadi lesbian? Entahlah aku yakin kalau kamu pernah menyukai laki-laki. Apa kamu trauma? Atau seseorang melecehkanmu? Dan bukan tidak mungkin saat ini pun kamu tertarik padaku. Tak ada yang sanggup menolak pesonaku.”
Kata demi kata yang meluncur dari bibir Athar menunjukkan kepercayaan diri berbalut kepongahan. Nabira jengah mendengarnya.
“Apa urusanmu? Aku nggak perlu membagi kisahku karena aku yakin kamu nggak akan mengerti. Kamu tidak peka dan tidak bisa berempati.”
Athar menaikkan sebelah sudut bibirnya. Ia mengangkat dagu Nabira dengan kilat tajam menyala di bola matanya.
“Aku pun tak mau tahu. Kamu hanya lesbian yang beruntung. Mengenai kesepakatan itu, aku lupa memberi tahu bahwa ayahku menginginkan kehadiran cucu secepatnya. Jadi bersiap saja...." Athar mendekatkan bibirnya di telinga Nabira dan berbisik, "kalau aku mau, aku bisa memasukimu sekarang juga, menyemburkan spermaku ke rahimmu dan membuatmu hamil. Aku yakin, kamu tak akan kesakitan karena sebelumnya kamu sudah pernah bercinta dengan pacar lesbianmu itu dan mungkin saja keperawananmu sudah rusak karena s*x toys yang sering kalian gunakan.”
Plakkk....
Seketika tamparan mendarat di pipi Athar dengan sempurna. Athar meraba pipinya sedang Nabira geram menahan amarahnya.
“Kami tidak serendah itu... Kami tidak pernah merusak keperawanan kami masing-masing,” tandas Nabira tegas.
Athar menyeringai sekali lagi, “Kamu masih perawan?” nada bicara Athar begitu meremehkan. “Lalu bagaimana cara kalian bercinta?” Athar menelisik setiap jengkal tubuh istrinya dari atas ke bawah dan terpana pada celana dalam yang dikenakan Nabira di balik gaun tidur yang sedikit transparan.
Athar meraih pinggang istrinya dan menariknya hingga menghimpit dadanya. Ia berjongkok dan secepat kilat melorotkan celana dalam sang istri. Nabira terhenyak, kaget luar biasa Athar berani melakukan itu padanya.
“Oral s*x?” Athar mengedipkan matanya dan tersenyum penuh arti.
Nabira membulatkan matanya. Ia segera mendorong tubuh Athar hingga tersungkur.
“Jangan macam-macam atau aku akan berteriak.” Nabira semakin cemas. Keringat dingin mengucur dari dahinya.
Athar bangun dari posisinya. Ia tertawa kecil.
“Silakan berteriak kalau kamu ingin mempermalukan diri sendiri. Seorang istri mengancam suami yang hendak menyentuhnya di malam pertama... Menarik sekali.”
Giliran Nabira bungkam.
“Salahmu sendiri mengenakan baju transparan. Kamu ingin memancingku?” Athar meninggikan volume suaranya.
“Aku tidak memilih baju ini. Aku memakainya karena baju ini sudah disiapkan sebelumnya.” Nabira membela diri.
“Lagipula kamu aneh. Kamu bilang tidak tertarik padaku, tapi kenapa kamu tergoda hanya dengan melihatku mengenakan baju transparan?” ucapan Nabira begitu menyudutkan.
“Aku tidak tertarik dan aku tidak tergoda. Banyak gadis yang lebih menarik darimu. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan mereka dengan mudah.” Athar mengambil kaos di lemari. Ia akui dia memang sedikit tergoda tapi ia tak akan membiarkan dirinya jatuh pada Nabira atau perempuan manapun. Semua perempuan itu menyebalkan di matanya.
Nabira merebahkan diri di ranjang dan memiringkan badannya dengan posisi memunggungi suaminya. Ia lelah luar biasa. Bukan hanya lelah raga karena acara pernikahannya, tapi juga lelah batin menghadapi sikap arogan sang suami.
******