Aku menyadari semuanya.
"Le, jangan pernah menggunakan perasaanmu. Semuanya itu sebaiknya dinilai dari untung dan rugi. Seperti saat kita sedang berjualan buah Le. Kalau menguntungkan, silakan jalani, tapi kalau merugi, tinggalkan saja."
Saat tadi aku melihat tatapan sedih Ibu ketika dia melihat keluar jendela. Aku sadar maksud Ibuku berpesan begitu kepadaku. Dia tak ingin aku, anak satu-satunya, merasakan kesedihan seperti yang dia rasakan.
Selalu menunggu kedatangan sang Suami yang dicintai tapi tak pernah hadir di sisinya.
Ibuku, tak mau aku merasakan rasa sakit yang sama karena menggunakan perasaan dalam berhubungan. Ibuku ingin agar aku mematikan rasa yang aku punya karena dia tak ingin aku merasakan sakit yang dia rasakan.
Ibuku ingin agar aku bersikap pragmatis dan melihat semuanya dari sisi untung rugi saja.
Ibuku yang bahkan di akhir hayatnya masih berpikir bagaimana caranya agar aku tak mengalami rasa sakit yang dia sendiri rasakan.
Tapi, tahukah Ibu kalau setelah mengikuti apa yang Ibu ajarkan, aku juga tak pernah bisa hidup dengan bahagia?
Untung-rugi? Pragmatis?
Semuanya membuatku merasakan kehidupan yang hampa tanpa rasa. Hanya seperti cangkang kosong tanpa isi.
Sekalipun aku menutupinya dengan mencoba mendapatkan kesenangan dengan berbagai cara dan sarana, semuanya hanya terasa di kulit saja. Sama sekali tanpa makna.
Pada akhirnya, saat aku kembali ke rumahku, aku selalu merasa hampa.
Aku ingin sekali saja merasakan apa yang Ibu pernah rasakan. Sekalipun itu rasa sakit, sama seperti yang Ibu alami saat menatap penuh harap ke luar jendela rumah menanti kedatangan Bapak setiap hari. Tapi setidaknya itu lebih baik daripada kekosongan dalam d**a yang kurasakan selama ini.
Tanpa terasa air mata mengalir ke pipiku dan aku masih menatap langit-langit kamarku.
"Kamu kenapa nangis Le?" sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.
Aku kaget. Suara familier yang selalu mendongengkan cerita saat aku kecil dulu. Duluuuu sekali. Kini tiba-tiba hadir kembali di sebelahku.
Dengan cepat aku menolehkan kepala dan melihat sosok wanita ayu yang berpakaian sederhana dan melihatku dengan tatapan kuatir itu.
Ibu.
"Nggak pa-pa kok Bu. Mata Rajin kelilipan," kataku pelan sambil mengusap air mata yang ada di wajahku.
"Ibu kirain kamu kenapa-kenapa Bikin kuatir saja," jawab Ibu sambil duduk di ranjangku.
Tangannya terulur meraih ke arah keningku dan aku membiarkannya. Ketika tangan lembut Ibuku menyentuh ke keningku, aku memejamkan mata.
Halus, lembut, hangat. Entah berapa lama aku tak merasakan lagi sentuhan penuh kasih sayang seperti ini dari Ibuku.
"Demamnya udah turun sih. Tapi kata Lastri, kamu ngigau ya Le?" tanya Ibu tak lama kemudian.
"Ngigau apaan sih Bu?" tanyaku.
Ibu mengrenyitkan dahinya, "kata Lastri, kamu nanya aku siapa dan ini tahun berapa. Dia ketakutan lho. Tadi hampir nangis waktu cerita ke Ibu," jelasnya.
Ha? Bangke tu anak. Pake ngadu ke Ibuku lagi. Padahal aku cuma pengen konfirmasi aja.
"Aku cuma mau nyandain Mbak Lastri kok Bu," jawabku sambil tersenyum jahil.
Ibuku melihatku dengan sedikit tatapan keheranan lalu dia menepuk kepalaku dan beranjak berdiri.
"Jangan kelewatan bercandanya. Kasihan Lastri," tegur Ibu sambil berdiri meninggalkanku.
Sampai saat terakhir dia keluar dari pintu kamarku, aku masih bisa menangkap sedikit raut keheranan dari sorot matanya.
Dan aku tersadar. What the f**k??
Seingatku, sewaktu kecil, aku memang anak yang pendiam dan cenderung introvert. Jadi jangankan bercanda, yang namanya interaksi normal dengan orang lain saja aku nggak pernah. Aku lebih suka membenamkan diriku ke dalam buku-buku pelajaran sekolah atau buku-buku lainnya sejak dulu.
Mungkin karena itulah Ibu keheranan saat aku menggunakan alasan bercanda tadi.
Tapi.
Terus terang aku tak begitu peduli. Sentuhan penuh kasih sayang dari Ibu barusan adalah sesuatu yang nyata. Raut wajah penuh kekuatiran yang benar-benar tulus dan bukan sesuatu yang penuh kepura-puraan tadi. Teguran Ibu saat dia beranjak berdiri. Semuanya nyata. Ini nyata.
Aku benar-benar diberi kesempatan kedua. Dan aku berjanji dalam hati. Aku tak akan pernah mengambil jalan yang sama dengan yang aku ambil dulu.
Hanya keledai bodoh yang akan terperosok dalam lubang yang sama dua kali. Dan aku adalah Jin. Aku bukan keledai bodoh!!
=====
Pagi yang cerah.
Aku berjalan keluar dari rumahku dengan menggunakan celana pendek dan sebuah kaos berwarna coklat muda.
Saat sampai di halaman rumah, Pak Minto yang sedang membersihkan rumput di halaman rumahku tersenyum dan menganggukkan kepala ke arahku. Aku membalas senyuman dan anggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian, aku lari pagi menyusuri jalanan pedesaan seorang diri.
Di tengah jalan, setiap orang yang kutemui akan menganggukkan kepalanya dengan sopan dan tersenyum kecil. Aku juga mulai sedikit terbiasa dengan semua itu.
Beberapa minggu lalu, setelah aku terbangun, aku mendapatkan cerita yang sebenarnya dari Lastri setelah Ibu mendatangiku.
Menurut Lastri, aku tersambar petir saat pulang sekolah. Setelah itu, aku sempat tak sadarkan diri dan mengalami demam tinggi. Nggak tanggung-tanggung coba, seminggu lebih aku tak sadarkan diri di rumah sakit.
Tapi anehnya, menurut dokter, selain demam tinggi dan luka bakar ringan yang ada di tubuhku, tak ada cidera lain yang membahayakan. Jadi dia meminta agar Bapak dan Ibuku untuk bersabar.
Saat itulah aku terbangun dan sadar. Bukan aku yang masih berumur 15 tahun, melainkan aku yang berusia 52 tahun dan terjebak dalam tubuhku yang berumur 15 tahun.
Aku sempat juga berkhayal, kenapa aku tak memiliki kekuatan petir seperti Gundala setelah tersambar petir. Kalau begitu kan lebih keren.
Memang manusia itu tak pernah bersyukur dan selalu merasa kurang.
Aku yang berjanji akan berubah dan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan keduaku ini, memutuskan untuk mengubah gaya hidupku. Dan yang paling mudah dan cepat yang harus kulakukan adalah berolahraga dan berinteraksi.
Seingatku, saat remaja dulu, karena aku hanya mengurung diri dan membaca buku, sekalipun kulitku sawo matang dan jauh lebih putih daripada kebanyakan anak-anak lain, tapi karena kurang gerak dan olahraga, aku terlihat agak pucat dan selalu lesu.
Karena itulah, kawan-kawan sekolahku memanggilku Jin. Sekalipun itu diambil dari namaku, tapi aku tahu betul ada olok-olok tersembunyi disana.
Oleh karena itu, langkah pertama yang aku putuskan untuk mengubah jalan hidupku adalah dengan berolahraga. Nggak usah muluk-muluk. Cukup dengan lari-lari kecil di pagi hari mengelilingi kebun jeruk milik Bapakku.
Saat awal-awal aku melakukan itu, Bapak dan Ibu melihatku dengan tatapan keheranan. Tatapan yang lebih parah dari ketika aku mengatakan sedang bercanda dengan Lastri kepada Ibu.
"Le, kamu serius mau lari pagi keliling kebun?" tanya Bapak dengan muka agak aneh waktu itu.
Saat aku menganggukkan kepalaku dengan mantap, Bapak tersenyum sumringah, dan sore harinya, aku mendapatkan sebuah sepatu kets warna hitam baru sebagai hadiahnya. Sepatu yang sekarang sudah agak kumal karena kupakai berlari pagi rutin selama beberapa minggu ini.
Huft, aku menghempaskan napas panjang karena kelelahan setelah berlari kurang lebih 2 km sejak dari rumah tadi.
Tubuhku terasa pegel dan lelah semua.
Aku menggunakan kedua tanganku untuk bertumpu keatas lututku sambil mengatur napasku. Progress yang lumayan. Awalnya, aku hanya sanggup berlari sejauh beberapa ratus meter sebelum akhirnya kehabisan napas. Setelah beberapa minggu, kini aku sanggup menempuh jarak 2 km.