"Hoiiii," panggilku ke si manis karena dia masih saja asyik dalam dunianya.
"Ya?" suara merdu itu kembali terdengar dari mulut mungil si manis, suara merdu dan lembut yang membuat aku ingin sekali meremukkan tubuhnya dalam pelukanku. Oke ini salah. Terlalu brutal.
"Kan aku tadi bilang makasih," kataku pelan.
"Eh iya ya? Kembali kasih," jawab si Mala dengan nada datar.
Lho? Kok datar gitu? Alamak, oke, jangan menyerah, genderang perang baru saja ditabuh, panji-panji peperangan baru saja dikibarkan, masak iya sudah kalah duluan?
"Mala, rumah kamu dimana sih?" tanyaku pelan mencoba membuka percakapan.
Mala melihatku dengan tatapan heran, lalu dia melihatku dari ujung atas sampai ujung kaki dengan tatapan yang aneh, "Jin, kamu tu lebam-lebam kek gini. Daripada kamu nanya-nanya yang nggak penting kek gitu, mending kamu segera ke UKS atau Puskesmas deh biar dapat perawatan."
Savage!!!
Aku hanya bisa terdiam pasrah. Keknya beneran deh. Tadi padahal dia senyum manis banget ke aku pas nanyain waktu aku terbaring. Kok sekarang bisa sadis gitu sih.
Aku nggak memperhatikan kalau si Mala sendiri terlihat sedikit menyesal setelah berkata seperti barusan. Dengan cepat dia memalingkan wajah dan menepuk-nepuk bibirnya sendiri dengan kencang.
"Ya udah deh kalau gitu, aku duluan ya?" pamitku tanpa menunggu jawaban dari si Mala, yang keknya emang cocok namanya jadi Mala-petaka.
====
Bayangan cowok itu menghilang dengan cepat sambil mengayuh sepedanya kencang. Mala hanya bisa menyesal dan menundukkan kepalanya dengan sedih. Tak terasa air mata menetes di pipinya tapi dengan cepat tangan Mala mengusapnya.
"Huft," Mala menengadahkan kepalanya dan menarik napas panjang.
Kalau ada yang paling dibenci Mala dari dirinya sendiri adalah mulutnya. Entah kenapa, Mala punya kecenderungan untuk terlalu jujur saat berbicara dengan lawan bicaranya, siapapun itu.
Karena itu, Mala mencoba untuk menahan diri dan berubah menjadi seorang yang pendiam. Karena dia takut tanpa sengaja akan menyakiti hati lawan bicaranya. Dan Mala mengalami hal itu saat SMP dulu. Betapa dia berkali-kali kehilangan sahabat karena mulut bawel dan tak terkontrol miliknya.
Sekalipun apa yang Mala ucapkan adalah sebuah kenyataan, tapi terkadang manusia itu terlalu unik dan lebih suka dibohongi daripada mendengar sebuah kejujuran.
Mala pernah terlalu jujur mengomentari boneka kesayangan sahabatnya dengan kata-kata terlalu kekanak-kanakan. Dan dia kehilangan sahabatnya itu tak lama kemudian.
Mala pernah terlalu jujur dan mengomentari kalau sahabat dekatnya terlalu banyak makan. Dan Mala harus menghabiskan makanan yang mereka berdua pesan seorang diri setelahnya.
Banyak lagi kejadian yang akhirnya membuat Mala memutuskan untuk berubah.
Diam adalah emas. Itu prinsip baru Mala.
Dan dia sangat senang sekali saat duduk semeja dengan siswa yang bernama Rajin. Tak seperti cowok lain yang pasti akan blingsatan saat duduk dengannya, si Jin ini seolah-olah bahkan tak menganggap Mala ada. Jin datang sekolah di pagi hari, mendengarkan Guru, mengikuti pelajaran dan pulang sekolah saat sudah waktunya. Seperti itu dan selalu begitu.
Mala merasa nyaman di sebelah Jin karena dia tahu cowok itu tak akan pernah mengajaknya berbicara duluan. Tak akan ada interaksi antara mereka berdua. Tak akan ada salah ucap yang akan dilakukan oleh Mala. Dan mereka akan tetap seperti itu sampai nanti kenaikan ke kelas tiga.
Mala suka itu. Karena itu, Mala tak sadar kalau dia sering mencuri pandang ke sosok pendiam yang seakan hidup dalam dunianya sendiri itu. Dan entah sejak kapan, Mala merasa kalau Jin adalah sahabat terdekatnya, orang yang membuat Mala merasa nyaman berada di dekatnya.
Sekalipun mereka berdua hampir tak pernah bertegur sapa.
Tapi, semuanya kini berubah, sejak kejadian barusan.
=====
Keesokan paginya, aku dengan santai duduk di kelas. Beberapa bagian wajahku masih sedikit bengkak. Si Kumalasari duduk sambil menundukkan wajah kebawah. Dia terlihat canggung sekali.
Geng si Tjandra terlihat berbisik-bisik sambil menunjuk ke arahku. Lalu tak lama kemudian, si Paijo, centeng mereka datang mendekat ke arahku.
Brakkkkkk.
"Hoi Banci!! Jangan cerita-cerita soal kemarin siang ya? Atau nanti kita ngobrol-ngobrol lagi," ancam si Paijo sambil berbisik ke telingaku.
Aku diam saja dan melihat ke arah si Paijo. Karena tak mendapatkan jawaban, dia pergi kembali ke kursi tempat gengnya berkumpul. Aku membuang napas panjang.
Bangke!!
Bukan aku takut atau apa, tapi aku tahu kalau aku belum siap. Aku masuk ke jasad ini baru beberapa minggu. Sekuat apapun aku melatih fisiknya, sekalipun ini fisikku juga, aku belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
Lihat saja, kalau aku dah selesai mengubah tubuh gemulai ini, aku akan mencarimu, Paijo!! Ancamku dalam hati.
"Jin? Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Mala tiba-tiba dari arah sebelahku.
Dia tentu tahu apa yang terjadi barusan antara aku dengannya, maksudku antara aku dengan Paijo, bukan antara aku dengan Mala.
"Nggak pa-pa kok Kumalasari," jawabku.
"Lengkap bener nyebut namanya," sungut si Mala.
"Terus mau dipanggil apa?" tanyaku.
"Mala aja kan dah cukup," jawab si Mala.
"Oke, Mala. Aku nggak pa-pa kok," ulangku lagi, datar. Aku masih keki soal yang kemarin.
"Mmm. Kalau kamu kuatir nanti diapa-apain lagi sama mereka. Nanti kamu pulang bareng aku aja," kata si Mala pelan dengan muka memerah.
Huft, aku membuang napas panjang. Masa iya sih aku harus ngumpet di ketek seorang cewek untuk menghindari pengeroyokan geng si Tjandra.
Tapi kalau dipikir-pikir, enak juga ngumpet di ketek, apalagi bisa nyuri-nyuri kesempatan ngisep si bukit kembar. Pasti sedapppp.
Apaan sih ini?
Aku sedikit heran dengan jalan pikiranku. Selama beberapa minggu aku kembali terlahir ke tubuhku yang masih bocil ini, aku selalu biasa-biasa saja. Tapi akhir-akhir ini, sejak aku melihat adegan syur antara Bapak dengan Lestari di kebun pagi itu, kenapa otakku jadi konslet terus ya?
"Iya La, makasih ya?" kataku.
"Kok La?" tanya si Mala.
"Kan namamu Mala, wajar kan kupanggil La, jawabku, Apalagi kalau Lala," lanjutku sambil terbayang serial tak mendidik di masa yang akan datang lalu memviralkan kata-kata berpelukan.
Apalagi kalau bukan serial teletubbies. Coba bayangin aja, mereka itu, dikit-dikit berpelukan, dikit-dikit berpelukan, kalau ditiru sama anak-anak SMA kek mana coba?
Hore, aku sudah selesai kerjain PR, yuk berpelukan yuk? Cewek sama cowok pelukan, sambil loncat-loncat, kan bisa menimbulkan penyakit tu.
"Lala," gumam Mala pelan mengulangi namaku yang ngasal dan kuberikan ke dia barusan.
"Aku suka nama itu Jin. Makasih ya?" jawab Mala, eh Lala sekarang namanya.
Kalau teletubbies, kek gini sekarang saatnya berpelukan pasti. Ya kan? Wkwkwkwk.
"Sama-sama La, nanti lagi ya, keknya Bu Guru datang tu," kataku sambil menggunakan bibirku untuk menunjuk ke arah lorong depan kelas.
"Hu um," jawab Lala sambil menundukkan kepala dan berpura-pura menekuni buku pelajaran di depannya.
Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah gadis manis di sebelahku ini.
Oke!! Aku tak akan mengulangi lagi kehidupan menyedihkanku sebagai jomblo seperti di masa lalu. Aku harus berubah, teriakku dalam hati dengan penuh semangat.
"Rajin!! Kenapa mukamu seperti sedang menahan rasa ingin berak?"
Aku terdiam ketika mendengar suara teguran yang sangat sadis dan membuat seisi kelas tertawa seketika itu juga. Saat aku melihat ke arah suara itu, seorang ibu guru dengan badan yang pendek, buncit dan gendut sedang berdiri dengan tatapan sinis kearahku.
Bu Yati, guru Bahasa Indonesia yang paling kubenci sedang berdiri disana sambil menatap tajam ke arahku.