bc

Ranjang Ayumi ( Setahun Menikah Masih Perjaka )

book_age4+
1.0K
FOLLOW
5.5K
READ
contract marriage
arrogant
dominant
badgirl
drama
sweet
bxg
mystery
nerd
another world
like
intro-logo
Blurb

Menikahi wanita cantik tapi tak mau disentuh, adalah sebuah cobaan yang amat menyedihkan bagi Adit. Sang istri adalah wanita yang amat cantik dan sempurna. Istrinya melakukan segala peran sebagai seorang istri, kecuali hubungan di tempat tidur.

Apakah Adit harus menyerah menaklukkan istrinya yang misterius? atau malah memilih menceraikannya?

chap-preview
Free preview
Selalu Datang Bulan
"Aku lagi datang bulan," tolaknya lagi. Kulepaskan nafas berat. Setahun menikah, dia selalu punya tiga alasan untuk menolak. Sakit perut, datang bulan atau capek. Malangnya, punya istri cantik seperti artis tak bisa untuk disentuh. Sebentar lagi aku pasti lupa fungsiku sebagai laki-laki. Aku adalah laki-laki yang menjaga diri dengan baik. Orangtuaku selalu mengajarkan norma dalam pergaulan. Tak pernah pacaran apalagi berkencan. Sebelum menikah, aku hanya menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu. Kutatap lagi punggung yang membelakangiku itu. "Malam ini, genap setahun kita menikah." Wanita itu berbalik, menatapku datar. "Aku tau." "Dan sekali pun, kau tak pernah melayaniku." "Aku sudah kemukakan alasannya, Mas." Dia duduk, aku juga duduk. "Haid sepanjang waktu, sakit perut terus menerus, bahkan mengeluh capek padahal kamu tak mengerjakan apa pun." "Jangan mulai lagi, aku tak mau bertengkar." Kucekal lengannya. Menatapnya tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi, aku butuh kau berterus terang." "Sudah kukatakan aku datang bulan." "Aku ingin melihat sendiri, apa benar kau datang bulan atau tidak." "Jangan macam-macam, Mas." Dia mulai melawan. "Apa kurangku, Ayumi?" Wanita itu tak menjawab, dia masih menatapku datar. Bibirnya terkatup rapat. Selama ini aku cukup sabar menghadapinya. "Jawab aku!" "Aku ingin pindah kamar saja!" ketusnya. Dia bangkit dan meninggalkanku tanpa peduli. Dia tak pernah memberi alasan pasti. Dia melakukan pekerjaan rumah layaknya istri lainnya. Memasak, mencuci, bersih-bersih dan bersolek. Kecuali satu, menunaikan kewajiban sebagai istri. Haruskah aku menceraikannya? *** "Aku pulang agak terlambat hari ini," kataku sambil menyelesaikan sarapan pagi. "Kenapa?" tanya Ayumi, yang biasa kupanggil Yumi itu. "Berhubung akhir bulan, ada rapat penting setelah bekerja." "Oh," sahutnya. Dia meminum tehnya dengan dagu yang mendongak. Lehernya yang putih terpampang jelas menggoda iman, sayang seribu kali sayang. Aku hanya mampu menghela nafas kasar. "Mas!" "Ya?" "Ada temanku datang dari Jakarta, boleh dia menginap di sini?" "Laki-laki apa perempuan?" "Ya perempuan, masa laki-laki." "Berapa malam?" "Setidaknya sampai dia mendapatkan tempat kos." Aku berfikir sejenak, Yumi memang sering mengeluhkan bosan ketika berada di rumah. Dia tak begitu suka bergaul dengan tetangga. Dari pada bergaul dengan tetangga, dia memilih menghabiskan waktunya untuk nonton drakor. Aku berangkat bekerja setelah Yumi mencium tanganku. Hanya tangan, tak ada yang lain, kalau dapat yang lain alangkah bahagianya aku. Entahlah, entah sampai kapan aku memiliki kesabaran akan tingkah polah Yumi. Dia patuh, tak banyak bicara, tak ada cacatnya kecuali selalu menolakku saat mengajaknya bermesraan. Memang, belum ada cinta di antara kami. Kami bagaikan orang asing yang tinggal seatap. Hanya bertegur sapa seperlunya saja. Tapi sejauh ini kami baik-baik saja, dia menantu yang baik, kami tak pernah bertengkar kecuali setalah menjurus ke tempat tidur. Aku bekerja di sebuah perusahaan keuangan milik swasta. Gajiku cukup untuk mencukupi hidup kami. Rumah yang kami tempati pun, statusnya sudah milik sendiri. Sayangnya, penghuninya belum menjadi milikku. "Menikah saja, tambah istri satu lagi!" Begitu saran Yudi setiap aku bercerita, dia teman dekat yang masih ada hubungan saudara. Bersama dia, rahasia dijamin aman. "Tak semudah itu, Yud" "Lah? Kita ini laki-laki, pemilik keputusan." "Aku ingin tau alasannya yang sebenarnya dulu." "Kalau dia tak mau memberi tahu, bagaimana?" Aku terdiam. Tak tau apa jawabannya. Aku pulang jam delapan malam. Mendapati sepasang sepatu di depan pintu rumah. Aku tau betul itu bukan milik Yumi. Pasti temannya telah datang. Pintu tak dikunci, malah agak renggang sedikit. Yumi memang ceroboh. Akan tetapi, baru saja aku melangkahkan kaki dengan pelan, suara aneh dari kamar tamu membuat langkahku terhenti. Suara itu, berhenti tepat saat aku berada di depan kamar tamu. Mungkinkah mereka mendengar langkah kakiku? Klik! Pintu terbuka, menampakkan wajah Yumi yang terkejut. Buru-buru dia menormalkan raut wajahnya. Di balik bahunya, muncul seorang gadis muda yang ukuran tubuhnya lebih pendek dan lebih kecil dari Yumi. "Kapan Mas datang?" tanya dia sambil merapikan rambutnya. Aku juga melihat bibirnya yang bengkak. Apa yang sebenarnya terjadi? "Baru saja, kau tak mengunci pintu, jadi aku langsung masuk." Kutatap gadis yang berada di belakang Yumi, dia tersenyum ramah sambil mengangguk. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. "Oh, ya. Ini temanku, Laura." Yumi menyingkir, Laura keluar sambil menyodorkan tangannya padaku, kutatap gadis itu, wajahnya imut dan cantik. Yumi cantik juga tapi agak tegas. "Saya Laura." Aku hanya menjabat tangannya sekilas. Lalu berjalan ke ruang tamu, aku tau pasti, Yumi dan Laura mengikutiku ke ruang tamu. Tak ada percakapan berarti, aku tak tertarik mengenal Laura. Pikiranku masih menebak-nebak apa yang baru saja terjadi di antara mereka. *** "Sejak kapan kalian bersahabat?" tanyaku pada Yumi, kami sudah berada di tempat tidur. Sedangkan Laura telah masuk kembali ke kamar tamu. Malam ini Yumi memakai gaun tanpa lengan yang membuat pikiranku kacau, bagaimana bisa ada kulit semulus dan seputih itu? Dia harus bersyukur terlahir cantik. "Sudah lama, sejak SMA." "Aku tak melihat dia hadir saat pesta pernikahan kita." "Saat itu dia kuliah di luar negri." Yumi menatap lurus ke arah cermin yang berada di dinding kamar. Selalu seperti ini, dia tak pernah menatapku lama saat kami berbicara, seolah begitu enggan dan malas. "Saat baru masuk tadi, aku mendengar suara aneh dari kamar tamu, ada apa?" Kutatap tajam Yumi yang langsung menatap cepat padaku. Raut terkejut, akan tetapi dia merubah kembali raut wajahnya menjadi datar. "Suara?" "Ya," sahutku, aku tak bisa mencerna jenis suara itu, walaupun aku sudah berumur tiga puluh tahun, aku masih suci dan polos, belum terjamah wanita mana pun. Bagiku, itu adalah suara yang tak biasa. "Laura mengeluh tubuhnya capek, aku hanya membantu memijitnya." Yumi mengalihkan padangan lagi. "Kalau aku yang mengeluh capek, apa kau akan memijitku juga?" "Apa?" Yumi menatapku tak percaya. "Kau mau memijit Laura." "Dia temanku," balasnya sengit. "Aku suamimu. Ayo pijit!" Aku langsung menelungkupkan tubuhku. Mengerjai Yumi sesekali tak ada salahnya, bukan? "Jangan konyol, Mas!" Suaranya mulai meninggi. "Atau aku saja yang memijitmu." "Aku tidak mau!" Dia bangkit kembali, selalu begitu, jika berdebat dia selalu kabur dan pindah kamar. Malam ini kamar tamu sudah terisi dan aku takkan membiarkan mereka berdua. Firasatku mengatakan, ada hal ganjil yang terjadi. "Eits! Mau ke mana? Ke kamar Laura?" Kucekal tangannya. Menariknya agak keras, Yumi terpaksa duduk kembali di atas ranjang. Wajahnya kesal, aku tak peduli. "Yumi, kita mungkin selalu memberi jarak sehingga kita tak pernah dekat. Hanya satu penghancur jarak di antara kita ...." Kudekati dia, dia menghindar. "Tapi sebelum itu, aku mau bertanya, kenapa bibir kalian sama-sama bengkak?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

My Secret Little Wife

read
94.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook