Mobil hitam itu mulai bergerak perlahan. Pak Saibani dan Ustadzah Azizah membuka kaca jendela dan melambaikan tangan saat meninggalkan halaman rumah Kakek. Kami membalas lambaian mereka.
Setelah mobil tadi tak tampak di pandangan. Aku pun segera melangkah masuk kembali. Nenek dan Kakek mengekor di belakangku. Aku menoleh sejenak dan melihat mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.
"Masyaallah, merahnya eh mesranya! Endit di gandeng juga, dong." Aku menggoda dan mengulurkan tangan ke arah Kakek dan Nenek.
Nenek menyambut uluran tanganku. Kini kami bergandengan bertiga. Aku berada di sisi kiri Nenek.
"Endit senang sekali, Kakek dan Nenek selalu mesra. Tidak pernah Endit lihat saling bertengkar."
Nenek dan Kakek tertawa mendengar ucapanku tadi. Setelah duduk di atas sofa, Nenek pun berkata, "buat apa bertengkar, Sayang. Malah menambah beban pikiran. Kami ini sudah tua, inginnya hidup dengan tenang dan menikmati sisa usia. Lagi pula, kalau kamk gak mesra dan ribut terus, malu sama cucu kesayangan, dong!"
Aku tersenyum dan ikut duduk di sofa di depan televisi itu. Kakek ikut duduk bersama kami. Aku meraih remot di atas meja dan menyalakan televisi.
Pas sekali, sekarang film kartun kesayanganku sedang tayang. Aku tertawa kecil melihat kelucuan dua anak kembar dengan rambut minimalis itu. Mereka sedang main kejar-kejaran dengan teman-temannya. Teriba aku teringat lagi dengan ucapan Nenek tadi.
"Kek, Nek. Ternyata rasa malu itu sangat penting. Tadi kan Nenek bilang, malu kalau gak mesra dan ribut terus. Andai saja Ayah juga memiliki rasa malu pada Endit. Jadi dia akan berlaku mesra sama Bunda. Bukan malah dijambakin dan dicekik di hadapan Endit."
Kakek dan Nenek menoleh ke arahku. Nenek mengelus lembut rambutku. Dia menarik napas panjang, kemudian mulai berkata padaku.
"Maafkan kami yang telat menyadari keganjilan dalam pernikahan Ayah dan Bundamu. Sayang sekali, ya, Endit. Mereka tak berpikir panjang, hingga masa kecilmu harus diisi dengan melihat kejadian seperti itu. Ehm, Endit, Nenek mau tanya. Tadi Endit bilang Bunda dicekik oleh Ayah, kapan kejadiannya?"
Aku menatap ke arah Nenek. Lalu teringat bahwa dulu Bunda pernah memberiku isyarat agar tetap merahasiakan pada Kakek dan Nenek mengenai kejadian itu. Akan tetapi, Bunda baru saja telah mengakui sendiri pada mereka. Bahwa selama ini kerap kali mendapat tindak kekerasan dari Ayah di rumah dinasnya. Sepertinya saat ini aku harus membuka semuanya.
"Beberapa waktu yang lalu, Nek. Saat aku pulang dari musala, aku melihat Ayah menjambak Bunda, lalu mencekik sampai Bunda hampir kehabisan napas."
Aku bercerita dengan suara lirih. Rasanya sangat sakit jika mengingat kejadian itu. Betapa aku sangat takut Bunda meninggal dunia karena cekikan Ayah.
"Astaghfirullah!"
Nenek berteriak dan segera memeluk tubuhku. Aku diam dalam pelukannya dan memandang ke arah Kakek. Di wajah lelaki yang mulai keriput itu, tampak ada kemarahan. Wajahnya memerah dan matanya menyiratkan emosi yang bergejolak.
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Siapa orang yang menyelamatkan Bunda saat dicekik oleh Ayahmu, Endit?" Nenek bertanya sambil mengelus rambutku.
"Allah yang menyelamatkan Bunda melalui kedatangan Endit, Nek. Saat melihat kejadian itu, Endit berusaha menarik tangan Ayah dari leher Bunda. Lalu teringat dengan sebuah pesan dari Ustadzah Azizah. Segera saja Endit melaksanakan pesan itu. Endit meneriakkan lafaz Bismillahi Allahuakbar tepat di telinga Ayah. Dia pun langsung terkulai dan menangis, Nek."
Aku menjelaskan sambil menatap bergantian pada Nenek dan Kakek. Tampak ekpresi semakin emosional pada wajah mereka. Sepertinya Nenek dan Kakek terkejut setelah mendengar ceritaku itu.
"Alhamdulillah, terima kasih. Cucu Nenek memang pemberani dan bisa memjadi pembela Bunda. Anak lain mungkin akan panik dan malah jadi tidak bisa mengingat pesan Ustadzahnya. Iya, kan, Kek?"
Nenek menoleh pada Kakek. Ditanggapi dengan deheman. Kakek tampak sedang berpikir keras. Dahinya berkerut dan dia menghela napas dengan berat.
"Aneh juga. Kenapa Ayahmu terkulai dan menangis setelah mendengar kamu meneriakkan bacaan yang diajarkan oleh Ustadzah Azizah? Lafadz itu digunakan untuk mengalahkan jin. Apa mungkin, saat itu dia benar-benar sedang kerasukan jin peliharaannya?"
Kakek berhenti memberi jeda sejenak. Lalu kembali melanjutkan ucapannya. Aku dan Nenek hanya diam dan mendengarkan.
"Sewaktu Kakek melihat Ayahmu sedang menyeret Bundamu, dia memang tampak seperti orang yang sedang kesetanan. Akan tetapi, tak lama kemudian sudah berubah bagaikan seorang anak kecil yang tantrum saat tak diberi uang jajan oleh orang tuanya. Sungguh kontras kelakuannya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Kakek. "Memang seperti itu, Kek. Tidak usah bingung. Perilaku Ayah itu memang mudah berubah seketika. Dia bisa kasar dan bengis. Tapi, tak lama kemudian bisa merengek dan menangis."
Aku menepuk d**a perlahan. Sambil berkata, "Endit aja sampai kesal melihat kelakuan Ayah. Ditambah lagi, Bunda itu sangat pemaaf dan baik hati. Sepanjang kemampuan Endit bisa mengingat, setiap kali Bunda dikasari oleh Ayah, selalu Endit yang menyelamatkan Bunda."
"O, ya? Bagaimana caranya, Endit? Pinternya cucu Nenek ini." Nenek menyela ceritaku. Aku tersenyum dan kembali melanjutkan kisah dan menjawab pertanyaan Nenek tadi.
"Begini, Nek. Endit tarik tangan Bunda. Lalu kami lari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Agar Ayah tak bisa masuk dan mengkasari Bunda lagi. Akan tetapi, Bunda selalu saja kembali luluh dan memaafkan Ayah, setiap kali mendengar suara pintu diketuk disertai rengekan permohonan maaf dari Ayah."
"Ya, Allah. Kok Nenek jadi gemas sekali mendengar ceritamu, Endit. Kenapa Nur begitu lemah, ya, Pak? Tidak seperti seorang Nur yang telah kulahirkan dan kubesarkan selama ini." Nenek menatap bergantian ke arahku dan ke arah Kakek.
"Iya, Bu. Bapak juga merasakan ada sesuatu yang janggal dan aneh. Padahal sewaktu kecil dulu, Bundamu itu jagoan. Setiap ada anak laki-laki yang mengganggunya atau mengganggu teman-temannya di sekolah, pasti Bundamu yang melawan."
"Wow! Serius, Kak? Jadi Bunda itu semasa kecilnya jagoan, ya? Tapi selama ini, Bunda tak pernah melawan jika dijambak dan dicekik oleh Ayah. Ya, Kakek dan Nenek juga lihat sendiri, kan? Kemarin Bunda tampak lemah dan tak melawan saat diseret di rumah dinasnya." Aku memastikan kembali bahwa Bunda dulunya adalah seorang gadis jagoan dan pemberani.
"Maka dari itu Kakek dan Nenek merasa aneh, Endit. Bundamu itu sejak kecil sampai SMA berlatih bela diri. Sudah berada pada tingkat yang lumayan tinggi. Makanya Bundamu berani melawan anak laki-laki yang nakali dia atau teman-temannya."
Aku membulatkan mulutku membentuk huruf O. Merasa takjub dengan apa yang diceritakan oleh Kakek barusan. Bundaku seorang perempuan jagoan. Keren!
"Bunda pernah cerita padamu tidak? Dulu, sewaktu SMA kelas 3, dia pernah duel melawan pencuri. Dia berkelahi dan menang melawan pencuri yang sudah masuk ke dalam rumah ini." Nenek bercerita dengan nada bangga.
"Wow! Belum pernah, Nek. Masyaallah keren sekali Bundaku. Ternyata dia berhasil menggunakan dengan baik ilmu bela dirinya. Bagaimana ceritanya itu, Nek? Ceritakan, dong!"
Aku menanggapi dengan penuh semangat. Aku bangga mendengar cerita tentang kehebatan Bunda itu.
"Jadi waktu itu, Kakek sedang ada tugas ke luar kota. Di rumah ini hanya ada Nenek, Mbak Etik, dan Bunda. Dulu sebelum nikah dengan Bang Pardi, Mbak Etik tinggal bersama kami."
"Waktu itu umur berapa kira-kira Mbak Etik dan Bunda, Nek?" Aku menyela penjelasan Nenek.
"Kalau Bunda naik ke kelas 3 SMA itu baru saja ulang tahun sweet seventeen. usianya tujuh belas tahun. Mbak Etik itu umurnya di atas Bunda dua tahunan. Dia mulai kerja di sini sewaktu masuk SMA, jadi sambil bekerjanya sambil sekolah. Kakek yang membiayai sekolah Mbak Etik sampai lulus."
Aku takjub mendengar cerita Nenek. Ternyata Mbak Etik usianya lebih tua dari Bunda dan sudah lama tinggal di sini. Pantas saja Nenek dan Kakek memperlakukan dia seperti keluarga sendiri.
"Pas Nenek terbangun tengah malam dan hendak salat tahajud, terdengar ada suara ribut-ribut di luar. Nenek mengintip dari lubang kunci di pintu kamar. Ternyata Bunda dan Mbak Etik sedang melawan dua pencuri. Bunda dengan tangan kosong, sedangkan Mbak Etik memukuli dengan wajan."
Aku tertawa geli mendengar cerita Nenek. Membayangkan bagaimana wajan mendarat di tubuh pencuri. Akan tetapi, keberanian Mbak Etik patut diacungi jempol. Pasti dia sangat menyayangi Bunda, Kakek, dan Nenek hingga rela ikut berduel bersama Bunda.
Nenek melanjutkan ceritanya setelah tertawa bersamaku. "Melihat kejadian itu, Nenek langsung menelepon polisi. Alhamdulillah polisi tiba begitu Bunda berhasil melumpuhkan dan mengambil senjatanya pencuri itu. Mbak Etik membantu mengikat tangan mereka ke belakang dengan lakban. Nenek sih tetap sembunyi di dalam kamar."
"Wow! Masyaallah, keren sekali! Gimana akhirnya, Nek? Ih, pasti seru dan menegangkan sewaktu Nenek melihat itu semua!" Aku semakin tertarik mendengar cerita Nenek.
"Ya, menurutmu seru. Nenek takut sekali. Gak henti berdoa memohon agar Allah beri kekuatan pada Bundamu dan Mbak Etik. Alhamdulillah, diijabah oleh Allah. Jadi sewaktu polisi datang ke rumah ini tinggal bawa pergi kedua pencuri itu. Senjata-senjata pencuri yang berhasil dilucuti oleh Bunda, dibawa juga. Bayangkan Endit, Bunda melawan pencuri bersenjata tajam saja menang, lho!"
Nenek berkata sambil mengacungkan kedua jempolnya ke udara. Dapat kulihat kebanggannya pada Bunda. Aku pun yang hanya mendengar cerita dari mulut Nenek merasa bangga, apa lagi yang melihat langsung kejadian itu.
"Keren sekali, Bunda! Tapi, iya, lho! Sekarang Endit jadi memiliki pertanyaan yang sama dengan Kakek dan Nenek. Bunda itu jagoan. Tapi, kenapa Bunda tak melawan sama sekali saat disakiti oleh Ayah?" Aku memberi tanggapan atas cerita Nenek tentang Bunda.
"Yah, mungkin ini juga salah Kakek. Ini salah kita, Bu." Kakek tiba-tiba bersuara.
"Hah! Maksud Kakek?" Aku terkejut dan menoleh ke arah Kakek yang sedang menunduk lemah.
"Selama ini Kakek dan Nenek telah memberi nasihat agar Nur selalu taat pada suami. Juga mengingatkan bahwa istri yang meninggal dalam ridho suami, balasannya adalah surga. Mungkin itu yang membuat Bundamu tak berani melawan Ayahmu. Dia hanya pasrah karena mengingat ucapan orang tuanya." Kakek berkata sambil menatapku.
"Bisa jadi. Akan tetapi, rasanya terlalu naif jika Nur tidak berani melawan hanya karena mengingat nasihat dari kita, Pak. Nenek rasa ada alasan yang lain." Nenek menyangkal pendapat Kakek.
"Maksud Ibu?" Kakek bertanya, sama sepertiku, tak paham dengan maksud ucapan Nenek tadi.
"Yah, mengingat Ayah Endit dikenal sebagai orang pintar. Bisa saja kan dia memakai ilmunya untuk membuat anak kita itu tak berani melawan. Apalagi sekarang kita mencurigainya berteman dengan jin. Bahkan memiliki kamar khusus di rumah dinas Nur. Apa normal jika anak kita yang jagoan dan cerdas itu tak berani membela diri saat disakiti, Pak?"
Aku terkesiap mendengar penjelasan Nenek. Cukup masuk akal. Aku jadi mulai berpikir ke arah yang sama dengan yang sedang dipikirkan oleh Nenek.
"Kek, menurut Endit apa yang disampaikan Nenek benar. Bisa saja mengarah ke alasan itu. Endit saja yang hanya melihat, bukan mengalami siksaan dari Ayah, sangat marah dan sulit memaafkan apa yang telah Ayah lakukan pada Bunda. Sedangkan Bunda bisa selalu memaafkan Ayah. Biarpun Endit sudah berkali-kali mengingatkan Bunda agar tak usah memaafkan Ayah."
Aku tekankan kembali apa yang telah kuamati selama ini pada Kakek. Memang tak masuk akal menyaksikan semua kebesaran hati yang Bunda miliki. Rela memaafkan begitu saja pada orang yang telah menyakitinya.