Bab 1

1312 Words
Langit sore menggantung kelabu, mendung pekat menaungi jalanan yang semakin licin diterpa hujan deras. Di dalam mobil keluarga itu, suasana awalnya tenang. Bara—seorang bocah tujuh tahun dengan wajah polos—duduk di kursi belakang sambil memeluk tas kecil berisi buku cerita kesayangannya. Tangannya yang mungil sibuk menggambar pola di kaca yang berembun, sementara matanya mengikuti tetesan hujan yang meluncur seperti berlomba. Namun, semuanya berubah dalam sekejap. Saat melintasi sebuah tanjakan, Satya menyadari sesuatu yang janggal. Mobil tiba-tiba kehilangan kendali. Kakinya menginjak pedal rem berulang kali, namun tak ada respons. Satya mencoba mengendalikan setir, mencari cara untuk memperlambat laju mobil di jalan yang curam dan licin. Tapi gravitasi seolah menjadi musuh, membuat mobil meluncur semakin cepat. Di depan, sebuah tikungan tajam sudah menanti. “Satya, hati-hati!” teriak Yulia, matanya membelalak melihat sebuah truk besar muncul dari arah berlawanan. Truk itu melaju kencang, tampaknya sopirnya juga kehilangan kendali akibat jalanan licin. “Pegangan yang kuat!” teriak Satya sambil membanting setir ke kiri, berusaha menghindari tabrakan langsung. Namun, kecepatan mobil dan truk itu membuat semuanya tak terhindarkan. BRUKK! Benturan keras terjadi. Mobil mereka menghantam bagian samping truk, terpental, lalu terguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti di tepi jalan. Hujan deras terus mengguyur, membasahi mobil yang kini ringsek parah. Dari kejauhan, suara sirene terdengar samar, semakin mendekat bersamaan dengan lampu-lampu sorot yang menembus derasnya hujan. Bantuan akhirnya tiba. Di tengah guyuran hujan yang tak kunjung reda, beberapa orang bergegas mendekati mobil yang ringsek. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan jaket tebal, tampak tegas namun gelisah. Dialah Dewangga, sahabat Satya sekaligus mitra bisnis yang sedang mereka temui. Saat melihat kondisi mobil, wajah Dewa memucat, namun ia tak membiarkan rasa paniknya menguasai. “Satya! Bertahan, tolong! Jangan bicara macam-macam sekarang. Bara butuh kamu!” serunya penuh harap, suaranya memohon sambil menggenggam tangan sahabatnya. Namun, Satya hanya tersenyum lemah. Napasnya semakin berat, tubuhnya mulai kehilangan tenaga. “Jaga dia… seperti anakmu sendiri…” bisiknya sebelum akhirnya tubuhnya terkulai, nyawanya pergi bersamaan dengan derasnya hujan. “Satya! SATYA!” teriak Dewa, mengguncang tubuh sahabatnya yang kini tak lagi merespons. Namun panggilannya tak berbalas, hanya suara hujan yang menemani keheningan duka itu. Hujan deras yang tak kunjung reda seolah menjadi pengiring pilu atas kepergian Satya dan Yulia. Malam itu menjadi saksi bisu sebuah perpisahan tragis yang akan selamanya meninggalkan bekas di hati kecil Bara. Bara terus menangis, memanggil kedua orang tuanya tanpa henti. *** Bara menatap map biru di depannya dengan tatapan kosong. Kata-kata Dewangga tadi masih menggema di kepalanya. "Lakeswara Corp, resmi menjadi milikmu." Di ruangan itu, suasana sunyi terasa berat. Bara, kini menginjak usia 30 tahun, duduk di kursi besar di ruang kerja Dewangga. Postur tubuhnya tegap, wajahnya memperlihatkan kedewasaan dan ketegasan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun dibalik itu, hatinya bergulat dengan kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Map di tangannya terasa berat, bukan hanya karena dokumen yang ada di dalamnya, tetapi karena beban emosional yang mengikutinya. Bara menggenggam map itu erat, mencoba mengontrol gemetar di tangannya. "Apa ini, Pa?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. "Lakeswara Corp, resmi menjadi milikmu," ulang Dewangga dengan nada tenang. Ada senyuman tipis di wajahnya, dingin namun penuh ketulusan. Kata-kata itu langsung membangkitkan gelombang memori dalam benak Bara. Ia teringat malam hujan deras itu, saat kecelakaan tragis yang merenggut kedua orang tuanya. Kilasan-kilasan ingatan itu muncul seperti bayangan kabur—jeritan Yulia, usaha terakhir Satya melindunginya, hingga wajah Dewangga yang datang sebagai penyelamat. Sejak kecelakaan itu, Bara diangkat sebagai anak angkat keluarga Dewangga. Dewangga dan Tania memperlakukan Bara dengan penuh cinta, berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua kandungnya. Bara, yang saat itu baru berusia 7 tahun, tumbuh bersama Reynar, putra kandung keluarga Dewangga yang tiga tahun lebih tua darinya. Namun, meski bertahun-tahun berlalu, Bara tak pernah benar-benar merasa sepenuhnya pantas berada di keluarga itu. Baginya, kasih sayang Dewangga dan Tania adalah anugerah yang tak pernah ia sangka, tetapi ia tetap merasa seperti orang luar yang hanya menumpang di dunia mereka. Kembali ke masa kini, Bara menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak bisa, Pa" katanya akhirnya, suaranya tegas namun penuh keraguan. "Aku menghargai semua ini, tapi aku tidak pantas menerima Lakeswara Corp. Itu milik Ayah dan Ibu kandungku, dan aku… aku belum merasa mampu melanjutkan apa yang mereka tinggalkan." Dewangga mengernyitkan dahi, memandang Bara dengan sorot mata tajam. "Bara, ini bukan soal pantas atau tidak. Ini tentang hakmu. Orang tuamu mempercayakan perusahaan ini padamu, dan Papa hanya menjalankan pesan mereka. Kamu sudah membuktikan dirimu selama ini, Papa yakin kamu mampu melanjutkan apa yang mereka mulai." Bara menggelengkan kepala pelan, tatapannya jatuh ke map biru itu. "Papa sudah memberikan segalanya untukku—keluarga, kehidupan yang stabil, cinta yang selama ini kurindukan. Aku sudah lebih dari cukup dengan itu semua. Aku tidak ingin membuat ini menjadi beban baru untukku… atau untuk kalian." Dewangga menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Bara, dengarkan aku. Kamu mungkin merasa tidak layak, tetapi itu karena kamu belum melihat dirimu seperti yang kami lihat. Selama ini kamu bekerja keras, menunjukkan bahwa kamu bukan hanya anak angkat di keluarga ini. Kamu adalah bagian dari keluarga ini. Reynar pun setuju dengan keputusan ini." Bara menoleh ke arah Reynar, kakak angkatnya yang selama ini selalu menjadi sosok kakak yang dingin namun suportif. Reynar bersandar di kursinya, menatap Bara dengan ekspresi datar. "Kau sudah tahu jawaban Papa, Bara," katanya santai. "Dan aku setuju. Kau sudah membuktikan bahwa kau layak. Jadi hentikan drama ini dan terima saja. Itu bukan sekadar harta warisan—itu tanggung jawab." Bara menatap keduanya, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang masih bersarang di dadanya. Di dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar soal warisan atau perusahaan. Ini adalah bagian dari perjalanan untuk membuktikan dirinya—kepada keluarga angkatnya, kepada dirinya sendiri, dan yang paling penting, kepada ingatan kedua orang tuanya yang tak pernah pudar. Namun, apa hanya mereka yang menjadi alasan Bara untuk terus maju? Tentu saja tidak. Ada seseorang lagi, seseorang yang hingga saat ini masih bertahta di sudut terdalam hatinya. Kaia. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Apa dia baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul, menghantui malam-malam panjang Bara. Ia memejamkan mata, mencoba membayangkan senyum ceria Kaia yang selalu membuatnya merasa hidup. Kini, di tengah posisinya yang jauh lebih kokoh, sebuah pertanyaan lain muncul di benaknya: Jika aku sudah layak seperti ini, apa aku boleh mendekatinya lagi? Membawanya kembali ke dalam hidupku? Pahitnya masa lalu kembali menyeruak, mengingatkan Bara pada kebodohannya di waktu itu. Bukan karena tidak mencintai Kaia, tetapi justru karena terlalu mencintainya. Bahkan keraguan lain ikut membebani pikirannya. Pantaskah aku mencintai Kaia, adik ipar dari kakak angkatku? Pemikiran itu selalu menjadi dinding tinggi yang memisahkannya dari gadis itu. Hubungan mereka yang terasa terlalu dekat, hampir tabu, membuat Bara memilih untuk mundur waktu itu. Ia tidak ingin menciptakan ketegangan di dalam keluarga Dewangga, yang sudah mengangkatnya dengan penuh kasih sayang. Padahal, Bara tahu, itu adalah keputusan yang salah. Ia bodoh. Dan semua itu bermula di hari ia pertama kali bertemu Kaia di acara pernikahan Reynar, kakak angkatnya. Hanya butuh satu tatapan dari Kaia untuk membuat hatinya jungkir balik. Gadis itu telah menjadi pusat dunianya sejak saat itu. Tapi karena rasa rendah dirinya, Bara malah memilih jalan yang membuatnya kehilangan segalanya. Tapi sekarang, Bara tahu. Pantas atau tidak, itu bukan lagi persoalan. Ia bukan lagi anak angkat yang hidup di bawah bayang-bayang keluarga Dewangga. Sambara Lakeswara Dewangga kini berdiri sebagai pewaris sah Lakeswara Corp, dengan nama yang ia bawa sendiri. Meski begitu, bagaimanapun, Dewangga tetap akan menjadi keluarganya—Papa dan Mama yang telah menjaganya dengan penuh cinta sejak kepergian kedua orang tuanya. Mereka adalah pelindung dan cahaya dalam kegelapan hidup Bara, yang memberinya kekuatan untuk melangkah sejauh ini. Dengan nama itu, dan posisi yang telah ia raih, Bara tahu ini adalah saatnya. Jika Kaia masih menjadi gadis yang ia kenal, ia tidak akan membiarkan apa pun memisahkan mereka lagi. Kali ini, ia akan memperjuangkan gadis yang selama ini menjadi alasan di balik setiap langkahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD