Kaia mendengus kesal sambil menunduk. “Aku pergi.” Namun sebelum dia berhasil melangkah, tangan Bara kembali meraih pergelangan tangannya, menahannya dengan lembut tapi tegas. Kaia memutar tubuh, menatap Bara dengan kemarahan yang membara. “Kaia, dengar dulu,” ucap Bara dengan suara lebih rendah, hampir seperti bisikan. Namun, tatapan matanya tetap tajam, tak memberi ruang bagi Kaia untuk menghindar. “Dengar apa lagi, Kak? Kamu bawa mood jelekmu ke mana-mana, terus nyerang aku juga tanpa alasan. Kalau kangen, tunjukkan dengan benar, jangan kayak begini!” sembur Kaia, nada suaranya meninggi. Matanya mulai memerah, menunjukkan betapa serius emosinya saat ini. Bara terdiam sejenak. Kata-kata Kaia seperti menamparnya. Dia tahu, gadis di hadapannya punya hak untuk marah. Tapi, Bara bukan ti

