Bab 2. Bertemu Mantan Pembohong.

1503 Words
Seperti petir di siang hari yang begitu cerah. Kalimat yang keluar dari bibir Alfatih mampu menghanguskan rimbunan bunga yang baru mekar semerbak di dalam hati Mutiara Hutama. Gadis yang beberapa saat lalu begitu sumringah setelah bisa bertemu dengan kekasih hatinya itu menahan air mata yang sudah merebak. Menekan katupan rahangnya dengan bibir bergetar. Dua tangannya terkepal kuat. Untuk pertama kalinya seorang Mutiara Hutama ditolak. Ditolak oleh seorang pria biasa yang bekerja sebagai supervisor gudang di perusahaan papanya. Kedua orang tuanya selalu mengajarkan dirinya untuk tidak memandang orang dari status sosial dan ekonomi. Karena hal itu juga lah dia tidak merasa ragu menjalin hubungan dengan Alfatih saat merasakan kebaikan pria tersebut. Dia jatuh cinta pada sosok Alfatih yang pekerja keras. Alfatih bekerja di perusahaan papanya, sambil masih mengambil pendidikan S2. “Kenapa?” tanya Tara setelah diam nyaris lima menit. Di dalam d*danya masih bergolak. Dia ingin marah, tapi berusaha menahan diri. Dia harus tahu alasan Alfatih tiba-tiba memutuskan hubungan mereka. Padalah dia yakin tidak ada masalah apapun selama 2 bulan mereka menjalin hubungan jarak jauh. “Kenapa?” tanya ulang Tara ketika yang Alfatih lakukan hanya menatapnya selama beberapa saat terlewat. “Aku pantas mendapatkan penjelasan.” Alfatih mendesah sambil memutus pautan mata mereka. Pria itu mengalihkan pandangan mata. ‘Karena kamu Mutiara Hutama,’ jawab Alfatih dalam hati, sementara kalimat yang keluar dari sepasang bibirnya yang terbelah adalah. “Hubungan kita tidak punya titik akhir.” “Apa maksudmu, Ai?” “Aku dapat bea siswa kuliah di luar negeri.” Sepasang mata Tara mengerjap. “Bukankah kamu sekarang sedang sekolah S2?” Alfatih mengangguk. “Benar. Tapi aku tidak akan membuang kesempatan sekali seumur hidup yang kudapatkan. Aku akan ke luar negeri tahun depan.” Hembusan karbondioksida keluar dari celah bibir Tara. “Aku akan menunggumu kembali.” Kening Alfatih berkerut. “LDR bukan hal yang mustahil untuk sebuah hubungan, Ai. Sekarang pun kita sudah LDR.” “Ayolah, Tara. Kamu bisa mencari laki-laki lain. Tidak perlu menungguku.” “Ada apa denganmu? Aku bersedia menunggumu pulang. Seharusnya kamu bersyukur.” Alfatih menekan-nekan katupan rahangnya sebelum sepasang bibir pria tersebut kembali terbuka. “Aku tidak akan kembali.” Mulut Tara yang sudah terbuka, kembali tertutup. Tara menatap tak percaya pria di depannya. “Aku tidak akan kembali, Tara.” Alfatih mengulang. “Aku akan menetap di sana.” “Tidak akan kembali? Kenapa? Kenapa harus tidak kembali? Kenapa?” kejar Tara dengan sepasang mata berkaca. “Aku tidak perlu menjelaskannya padamu, Tara. Aku bersyukur mengenalmu. Meskipun hanya dua bulan, tapi aku akan tetap mengingatnya. Sayangnya aku sama sekali tidak melihat keberhasilan hubungan kita. Aku yakin kamu tidak akan bisa ikut denganku. Bukankah begitu?” Alfatih menarik satu sudut bibirnya. Tara terdiam dengan sepasang mata merah berair. Susah payah Tara berusaha menjaga agar cairan tersebut tidak turun dari sudut-sudut matanya. Kenapa semudah ini mengakhiri semuanya? Meninggalkan Indonesia dan tidak akan kembali? “Aku ingin mengantarmu. Tapi, aku hanya bawa satu helm.” Alfatih menarik beberapa lembar tisu lalu membersihkan seputaran mulut yang sebenarnya tidak kotor. Pria itu mengangkat tangan kirinya, lalu memutar sedikit. “Waktu istirahatku tinggal 10 menit. Aku harus pergi sekarang.” Dan setelah menyelesaikan kalimatnya, Alfatih beranjak dari tempat duduk. Tanpa mengatakan apapun lagi, pria itu meninggalkan meja dengan piring dan mangkok yang sudah tidak lagi menyisakan makanan. Pria itu benar-benar pergi meninggalkan Tara seolah tidak ada beban apapun. Seolah memutuskan hubungan dengan Tara bukan hal besar baginya. Sementara Tara terdiam di tempatnya. Merasakan patahan-patahan tak kasat mata di dalam hatinya. Rasanya sakit sekali. Setelah sekian lama, dia memberanikan diri memberikan hatinya pada seorang pria yang dia yakini pria baik-baik. Pria yang selalu menjaga sholat 5 waktunya. Tapi, apa yang dia dapatkan dari pria yang dia pikir sholeh itu? dia dicampakkan begitu saja dengan alasan yang baginya sulit untuk dimengerti. Tanpa sadar, air mata Tara turun. Gadis itu menangis dalam diamnya. Hatinya patah berkeping. **** 2 TAHUN BERLALU. “Mbak Zahra beneran tidak jadi berangkat?” tanya Tara yang sedang terhubung dengan kakak iparnya melalui sambungan telepon. Rencananya ia dan kakak iparnya itu akan menghadiri acara amal di Bandung. Ia sendiri datang untuk mewakili mamanya yang sedang kurang sehat. Namun, tiba-tiba dia mendapat kabar dari kakaknya—suam Zahra, jika perempuan itu tidak jadi berangkat ke Bandung bersamanya. “Maaf, Tara. Tiba-tiba tubuh Mbak lemas. Dari pagi tadi muntah-muntah terus.” “Hah? Muntah-muntah? Jangan-jangan Rain mau punya adek?” “Mungkin. Aku sudah telah 10 hari, tapi, belum cek. Mas mu sudah panggil dokter. Sebentar lagi datang. Maaf ya, Tara. Aku tidak jadi berangkat.” “Wah ….” Bukan kecewa karena kakak iparnya gagal pergi bersamanya setelah mendengar penjelasan sang kakak ipar, Tara justru senang setengah mati. “Asyiik, ponakan baru. Kali ini kasih dua langsung ya, Mbak. Biar rame.” Lalu Tara terkekeh. “Kamu itu. Satu aja bikin Mbak tidak bisa ngapa-ngapain. Gimana kalau dua?” “Sayang, dokter Erni sudah datang.” Tara mendengar suara kakaknya yang memberitahu sang istri jika dokter mereka sudah datang. Tentu saja dia mengenal dokter Erni. Salah satu dokter keluarganya. “Tara.” “Oke-oke, aku sudah dengar. Ya sudah kalau begitu. Aku berangkat sendiri. Mbak Zahra jaga kesehatan. Pokoknya kasih Tara ponakan yang banyak.” Tara tergelak. “Assalamu’alaikum.” Buru-buru Tara berpamitan sebelum mendengar ocehan sang kakak ipar. Gadis itu menurunkan ponsel masih sambil tertawa senang. Tara menyambar tas di atas meja lalu berderap ke arah tempatnya menyimpan berbagai model sepatu. Ia sudah selesai bersiap untuk berangkat ke Bandung. Koper kecil juga sudah ia siapkan. Dia akan menginap satu malam di Bandung karena acara amal tersebut berlangsung di malam hari. Setelah sepasang boot dengan hak setinggi 5 cm terpasang di kedua kakinya, Tara bergegas keluar dari kamar. Gadis itu menghampiri kedua orang tuanya di kamar. Berpamitan sebelum akhirnya berangkat bersama seorang sopir. Akhirnya setelah sekian lama, dia bisa pergi ke luar kota sendirian—tanpa pengawalan para pria Hutama. Ayahnya tidak mungkin meninggalkan sang istri yang sedang sakit. Tiga kakaknya yang lain—Kala, Dewa, serta Juna, mereka ada urusan bisnis, mewakili papanya yang sedang tidak bisa kemana-mana. Oh … kebebasan yang Tara idam-idamkan akhirnya ia rasakan. **** Malam Hari Wanita muda itu turun dari dalam mobil. Mutiara Hutama yang kini sudah berusia 24 tahun itu tampak dewasa dengan gaun malam berwarna gold yang membalut tubuh rampingnya. Sepasang kakinya terbungkus heels setinggi 10 cm berwarna serupa. Rambut sepanjang bahunya ia biarkan tergerai dengan bentuk gelombang hasil salon yang ia datangi beberapa jam sebelumnya. Wajah bungsu Hutama itu dipoles makeup flawless. Penampilannya semakin sempurna dengan hiasan mutiara putih bercahaya yang menggantung di telinga dan lehernya. Dengan memegang tas tangan yang juga berwarna gold, wanita muda itu melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung tempat acara amal berlangsung. Suara riuh langsung menyambut gendang telinganya. Tara mengedarkan pandangan mata, sementara sepasang kakinya masih terayun. Sepanjang matanya mengedar, tidak ada satu wajahpun yang ia kenali. Kaki jenjang wanita muda itu belum berhenti terayun, dan sepajang matanya belum berhenti mengedar sampai satu wajah membuat langkah kaki bungsu Hutama itu berhenti seketika. Tara berdiri terpaku di tempatnya. Suara-suara obrolan para tamu undangan seketika tak lagi terdengar. Saat ini seakan Tara sedang berada di dalam ruangan besar, yang di dalamnya hanya ada dirinya dan pria itu. “Tara!” Sepasang mata yang semula terpaku pada sosok pria yang kini terlihat semakin tampan dan berwibawa dengan balutan jas berwarna navy itu mengedip, lalu bergeser ke arah seseorang yang baru saja meneriakkan namanya. Tara menelan saliva susah payah. Di dalam d*danya, alat pemompa darahnya bergerak tak teratur. Tangan wanita itu meremas tas tangannya, melihat dua sosok itu berjalan ke arahnya dengan sang perempuan memeluk mesra tangan kiri sang pria. PEMBOHONG! teriak Tara dalam hati. Pria itu, pria yang dua tahun lalu membuat hatinya patah berkeping-keping. Pria yang mengatakan akan pergi ke luar negeri dan tidak akan pernah kembali. Napas Tara tertarik dan berhembus semakin cepat. Tara mulai kesulitan mengendalikan emosi kala tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata sang pembohong. “Permisi ….” Refleks Tara menoleh. Sepasang mata wanita muda itu mengedip. “Tara, apa kabar? Kenalkan kekasihku—” Tara mendengar suara itu. Kekasih? Dasar pembohong besar. Tara masih sedikit mendongak menatap sosok yang berdiri setengah langkah di samping belakangnya. “Permisi.” Sosok itu kembali bersuara pelan. Tatapan matanya terpaut dengan sepasang manik indah Tara. Tara meraih tangan kiri sosok pria dengan balutan jas berwarna coklat tersebut, sementara sepasang matanya belum beralih dari manik hitam kecoklatan pria itu. “Aku mencarimu,” ujar Tara sambil melarikan bola mata ke arah sepasang pria dan wanita yang kini sudah berdiri di depannya, seolah memberi kode pada pria yang kini tampak terkejut. Tara menarik tangan pria itu sambil tersenyum kaku. “Sayang, aku pikir aku terlambat.” Tara mengedip seraya menelan saliva susah payah. Jantungnya berdegup semakin kencang melihat pria asing yang kini ia peluk sebelah tangannya itu hanya menatapnya. Beberapa detik Tara merasakan sekujur tubuhnya merinding mendapati tatapan dingin misterius pria asing tersebut. “Kamu cantik sekali malam ini, Beb.” Satu sudut bibir pria asing itu terangkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD