bc

Kepakan Sayap Patah

book_age18+
3
FOLLOW
1K
READ
HE
age gap
friends to lovers
boss
drama
bxg
city
civilian
like
intro-logo
Blurb

"Mulai sekarang, kamu harus bisa berbagi kasih sayang suamimu dengan madumu. Tidak perlu membuat keributan apa pun. Sadar diri saja akan kekurangan kamu, Danti. "Danti Wulansari hanya bisa diam, karena membantah dan mengajukan protes pun percuma. Keputusan Kelana Sondaran untuk menikahi gadis pilihan sang ibu tidak bisa diganggu gugat. Tiga tahun, hanya tiga tahun usia pernikahan mereka bertahan di atas tahtanya. Karena belum bisa memberi anak, ia pun harus rela dimadu dan diperlakukan bak pembantu di rumahnya sendiri.

chap-preview
Free preview
Nyesek
"Danti, kamu Danti, bukan?" Seorang pria dengan stelan jas mahal menyapa Danti yang tengah berjalan cepat memasuki pintu UGD. "Benar, Bapak siapa ya?" "Kamu lupa sama aku, Dan?" "Maaf, saya benar-benae lupa, " Jawab Danti merasa tidak enak. " "Saya Saka Brawijaya, teman sekolah kakak kamu. " Danti tersenyum lantas membalas jabat tangan Saka. "Oh Mas Saka. Maaf, lama tidak ketemu jadi lupa. " "Nggak apa, pria jelek seperti saya memang tidak cocok untuk selalu di ingat, " Canda Saka membuat Danti merasa tersindir. "Mas Saka bisa aja." "Kamu dinas disini?" "Iya, Mas. Sudah empat tahun disini. " "Baguslah, sesuai dengan cita-citamu. " "Iya, Mas. Oh ya maaf, Mas Saka. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan. " "Oh ya silakan." Danti mengangguk, lalu cepat berjalan masuk ke ruang observasi untuk menemui dokter sementara Saka masih memperhatikan hingga punggung Danti hilang dibalik pintu. "Kamu tetap saja cantik, Danti. Dan sepertinya kita akan berjodoh di masa depan, " Gumam Saka lantas beranjak menuju parkiran. *** "Kamu itu mbok jangan kemayu sama Danti, Lana! Lihat semakin kamu manja, istrimu itu semakin besar kepala dan ndak tahu adab," Omel Ibu Arum ibunda Kelana Sondaran tentang menantu perempuannya. "Ndak tahu adab yang seperti apa toh, Bu? Sejauh saya lihat, sikap istri saya sangat santun ke ibu juga saudara lainnya," sahut Lana membantah tuduhan sang ibu pada istrinya. "Ya ndak tahu adab itu ndak hanya tata krama saja, tapi kewajiban dia sebagai istri itu belum dia lengkapi. Sementara yang barengan kamu nikah sudah ada buntutnya.' "Maksud ibu, sudah punya anak?" "Iya, kapan istrimu itu hamil?" Sahut Bu Arum ketus. "Sudah lebih tiga tahun loh kalian ini nikah. Apa jangan-jangan kalian sengaja menunda punya anak atau malah ndak mau punya anak," Lanjutnya dengan raaut wajah terlihat kesal. Wanita paruh baya bertubuh subur itu menyesap teh manisnya sebelum melanjutkan perkataan yang bagai menguliti seseorang yang ia tuju. "Itu Dimas yang nikahnya beda setengah tahun sama kamu, malah sudah punya dua anak." "Lah Dimas kan nikahnya karena nyuri start duluan. Mereka dipaksa nikah karena Nurin sudah hamil lima bulan, Bu." "Ya ndak apa-apa seperti itu! Itu membuktikan kalau mereka betul-betul niat punya anak! Ndak seperti kamu dan istrimu itu. Malah ndak lama istrinya Dimas hamil lagi anak kedua, sekarang sudah mau lahiran kata ibunya Dimas. Lah kamu sendiri kapan, Le? Ingat usiamu sudah 30 tahun, kamu itu anak laki satu-satunya keluarga Padmo Hadikusumo. Mosok anak pertama malah ndak punya keturunan, terus yang akan melanjutkan nasab Padmo Hadikusumo siapa?" Keluh si ibu bagai serangan mortir tentara Isriwil, Lana hanya menghela nafas malas untuk menanggapi omelan sang ibu yang pastinya akan panjang bila ia tanggapi. Sebenarnya bukan kali pertama sang ibu bertanya soal cucu padanya. Akan tetapi ia selalu bisa menjawab jika dia juga Danti bakal punya anak. "Apa kalian ndak pernah periksa ke dokter kandungan? Siapa tahu istrimu itu mandul." "Astaghfirullah, ndak, Bu. Itu ndak benar. Danti sangat sehat, rahimnya juga bagus, hanya saja memang waktunya saja belum gilirannya untuk punya anak." "Kalau dia mandul ya kebangetan, dia loh perawat yang tiap hari berurusan dengan kesehatan. Dia kan bisa minta resep sama dokter biar cepat hamil." Kelana memilih diam, karena jika diteruskan maka obrolan soal anak ini semakin panjang dan menganggu moodnya. "Apa ndak sebaiknya, istrimu itu berhenti bekerja saja. Memangnya dia kerja buat apa? Toh yang menafkahi itu kamu, dan gajimu juga besar. Apa dasar istrimu itu yang ndak betah di rumah, senengnya dolan dan hura-hura di luar." "Ndak begitu, Bu. Sebelum kami nikah, Danti sudah kerja jadi perawat. Bahkan sempat ikut ujian masuk fakultas kedokteran, tapi karena nikah, dia membatalkan rencana kuliah kedokterannya, biar bisa bagi waktu fokus dengan urusan rumah." "Fokus opo! Buktine mana? opo Danti saiki enek nduk omah? Ora ono toh? Kowe muleh kerjo, ngurus mangan dewe, ngawe kopi dewe, lah bojomu malah sibuk ngeluyur alasan kerjo." Kelana kehabisan kata-kata menghadapi ibunya yang ia nilai semakin hari semakin tajam perkataannya bila menyangkut Danti, menantu perempuannya. "Ya sudah, nanti saya bilang ke Danti untuk ngambil shif pagi saja biar bisa ngurus makan malam dan buatkan kopi buat saya setiap hari." "Ya ndak bisa gitu! Terus sarapan sama makan siangnya piye? Mosyok ibu kudu masak dewe, lah awakmu kan ngerti, jantung ibu iki wes lemah, sewaktu-waktu kolaps semaput. Kalau dipaksa buat ngurus omah. Awakmu seneng, lek ibumu iki mangkat?" "Ya tidaklah, Bu. Mana ada anak yang pengen orangtuanya meninggal. Jenengan ada-ada saja." "Mangkane, ngomong karo Danti. Ibu arep melu neng omahmu." "Lah terus rumah ini siapa yang ngurus, Bu?" "Biar Lek Warsito sing nunggu omah!" "Kenapa ibu ndak tinggal di rumah saja. Biar Lana yang tiap hari jenguk ibu." "Ndak! Ibu mau pulang ke rumahmu, titik. Apa kamu mau jadi anak durhaka?" "Ya jangan, Bu. Masa anaknya di doakan durhaka." Kelana mencoba tertawa kecil agar sang ibu tidak lagi merasa kesal. *** "Mulai besok, ibu tinggal bersama kita, apa kamu keberatan, Dek?" Tanya Kelana pada Danti saat menjemput wanita itu di Rumah Sakit. "Keberatan bagaimana toh, Mas? Beliau itu ibumu dan pastinya juga ibuku. Jika ibu berkenan mau tinggal di rumah kita, yo monggo. Itu artinya tiket surga buat Mas Lana semakin terbuka dengan merawat ibu." Kelana tersenyum, ia sudah menduga Danti tidak akan membantah apa yang ia sampaikan. Istrinya itu walau terlihat kaku, namun sebenarnya sangat nurut pada suami juga lembut hati. Hal itulah yang membuat Kelana sangat mencintai Danti. "Ya sudah, minta sama bik Asih untuk membantumu membersihkan kamar tamu, biar saat ibu datang sudah rapi dan bersih. " "Ngeeh, Mas. " *** "Kamu kok masih kerja? Apa uang belanja dari anak saya kurang?" tanya ibu Arum saat Danti sudah bersiap dengan seragam perawatnya. "Tidak, Bu. Uang belanja dari Mas Lana cukup untuk biaya rumah tangga, " Jawab Danti berusaha untuk tetap sopan, walau hati kecilnya merasa sangat kesal dengan sikap memusuhi sang ibu mertua yang selalu mencela apa yang ia lakukan. "Ya kalau cukup, buat apa masih kerja. Tugas seorang perempuan yang sudah menikah itu seratus persen ngurus suami dan rumah. Bukannya malah keluyuran di luar rumah alasan kerja. " "Tapi saya bekerja atas izin mas Lana, Bu." "Ya Lana mengizinkan karena capek mendengar rengekan kamu. Seharusnya kamu itu lebih memperhatikan kebutuhan suami kamu. Kalian itu sudah tiga tahun nikah, tapi apa yang sudah kamu kasih ke Lana? Kabar hamilmu tidak ada. Ya, gimana mau hamil, kalau kamu terlalu sibuk dengan urusan sendiri. " Danti menghela nafas, ingin rasanya ia membantah perkataan sang ibu mertua, namun ia sadar diri dan sadar posisi yang hanya sebatas menantu. "Coba kamu pikir, Lana itu sudah kepala tiga, sudah punya istri yang katanya sehat. Tapi sampai sekarang belum juga punya anak. Apa kamu ndak pernah dengar, di luar sana! Lana menjadi bahan ejekan teman-temannya karena belum punya anak." "Tapi mas Lana tidak pernah mengatakan itu pada saya, Bu." "Ya karena Lana itu bocah gemblung. Terlalu manjakan istrinya yang tidak tahu diri dan kemauan suami. Dia takut kamu akan marah terus ngambek kalau dia cerita jadi bahan ejekan karena belum punya anak." Danti memejamkan mata sedetik untuk menghalau perih yang merayapi hatinya. Ia tahu, apa yang dikatakan sang ibu mertua tidaklah benar, namun ia malas untuk memberi kebenarannya karena itu akan berakhir sia-sia. Ia kenal baik dengan teman kerja suaminya, sehingga ia pasti akan mendengar jika sang suami menjadi bahan ejekan di kantor. Karena bukan Kelana saja yang belum memiliki anak dalam pernikahannya. Beberapa orang teman kerjanya pun banyak yang bernasib sama sementara usia pernikahan mereka lebih dulu dari pasangan Kelana dan Danti. "Kamu itu jadi mantu kok ngeyelan. Apa susahnya sih berhenti kerja dan hanya di rumah saja? Toh kamu tetap dapat uang dari anak saya. Jadi perempuan itu harus pinter ngatur uang belanja, ndak usah sok pinter , ngotot tetap kerja biar punya alasan untuk ndak mau punya anak." "Astaghfirullah! Saya ndak punya pemikiran seperti itu, Bu. Saya juga sangat ingin bisa hamil secepatnya. Tapi apa mau dikata, Allah belum mengabulkan doa saya, Bu." "Sudah jelas, kamu yang ndak mau punya anak, kok Gusti Allah yang disalahkan." Danti memilih diam, karena bila ia terus menjawab maka perdebatan ini tidak akan menemukan kata akhir. Suara mesin mobil akhirnya menghentikan hujatan sang ibu mertua. Danti hanya menggeleng pelan saat sang ibu mertua terlihat bahagia menyambut kepulangan anaknya. Wanita berparas cantik itu lebih memilih pergi ke kamar sebelum kembali ke dapur menyiapkan makan malam. "Ada apa, Bu?" Tanya Lana pada sang Ibu yang menyambutnya di pintu. Pria itu mencium punggung tangan ibunya sebelum masuk ke rumah. "Mana Danti?" "Ada tuh di dalam. Sedang bersiap pergi hangout, " sahut si Ibu dengan wajah kesal. "Hangout? Bukannya malam ini dia dapat shif malam?" "Itu hanya alasan istrimu saja, biar bisa malam mingguan dengan temannya, meninggalkan suami di rumah." Kelana menghela nafas, lantas berjalan mendahului ibunya. "Lana, ayo temani ibu makan di luar." Kelana berhenti dan mengeryitkan kening mendengar ajakan sang ibu."Makan di luar? Memangnya istri saya tidak masak buat makan malam?" "Masak, tapi sesuka dia saja. Ibu ndak selera dengan menu yang dia masak. Bosen tiap hari menunya itu-itu saja dan rasanya hambar. Mana bisa nafsu makan. " "Ibu kan harus diet ketat sesuai saran dokter. Makanan yang dimasak Danti, itu sesuai takaran untuk penderita jantung, Bu." "Ibu loh ndak sakit! Dasar istrimu saja yang ndak bisa masak." "Masakan Danti itu enak, Bu. Dia hanya menyesuaikan dengan menu diet ibu saja." "Itu hanya alasannya saja biar kamu ndak marahi dia." Kelana hanya diam, pria itu menoleh saat terdengar suara Danti menyapamya. "Mas." "Loh, kok kamu... ?" ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook