5. Your Trace

2519 Words
Aku bisa menjadi tangguh, aku bisa menjadi kuat. Tapi denganmu, aku lemah, bahkan sekadar untuk mengendalikan diri. Hingga kenyataan bahwa jejakku ada di kamu, segalanya mulai terasa di luar kuasa, terutama perihal hati. . . "Udah, gampang soal itu, sih. Kita bahas di chat! Yang penting sana kamu jangan dekat-dekat aku, nanti ada yang—" Dulu .... Ucapan Dinda henti di sana, juga dengan tingkahnya yang sedang mendorong sosok pria berwajah babak belur—bekas pukul Bang Daaron. Pria yang terbaring di sisi Dikara tanpa busana. Pria itu pun pergi dan Dinda mematung dengan raut memucat. Kenapa? Takut, hm? Karena ketahuan oleh Dikara? Di mana langkahnya henti tepat di depan Dinda. Jadi, dia pelakunya? Agak tidak menyangka sebab Dikara pikir urusannya dengan sang kakak kelas yang pernah melabrak dirinya semasa kelas 7 dulu sudah usai tanpa sisa. Dikara pun tak merasa punya musuh hingga dirinya harus mendapatkan musibah seperti ini. Masih tentang dulu .... Saat Dikara keluar dari vila dengan langkah sunyinya, di mana Bang Daaron meminta agar Dikara jalan duluan, sementara dia ada urusan sebentar. Tenang, sudah aman. Bang Daaron yang menjamin. Toh, Dikara juga tidak takut. Dia hanya pernah lengah saat menerima minuman dari seorang pelayan di vila dalam acara, lalu tahu-tahu ada di dalam kamar, makanya begitu mudah ditumbangkan sampai-sampai tubuh dibuat tanpa busana. Namun, Dikara yang sekarang berdiri di depan Dinda adalah sosoknya yang tak pernah merasa gentar. Sekali pun beberapa menit lalu dirinya terdampar. Sudah seperti itu pun Dikara tidak gemetar kala berhadapan dengan pelaku utama dari perbuatan tercela yang dilayangkan padanya. Dinda. Kakak kelas Dikara di SMP Merdeka dan dia satu angkatan dengan Bang Daaron, beda usia dua tahun di atas Dikara, yang itu berarti sekarang Dinda kelas dua SMA, sementara Dikara baru lulus kelas 3 SMP. Lantas? "Kamu ternyata," tukas Dikara, pelan suaranya. Terkesan santai tanpa sedikit pun emosi di sana. Yeah ... Amerta Dikara Budiman. Hanya dengan begitu, tampaknya Dinda terintimidasi. Padahal, Kara bilang apa memang? Mereka bertatapan. Dinda belum menemukan silabel kata yang pas untuk diucap, sedang Dikara terus menatap wajahnya tanpa berpaling sedetik pun. Seolah tengah menandai. Sungguh, Dikara hanya diam. Sampai ketika dia lanjut melenggang, Dinda kontan tersentak. Menoleh dan menatap punggung Dikara yang kian menjauh. Sejak saat itu ... hari-hari Dinda tak pernah tenang, padahal Dikara bahkan tidak melakukan secuil pun tindakan. Oh, sampai hari ini, Dikara merasa Dinda tampak gelisah dan ketenangannya dibuat-buat. Padahal sekali lagi, Dikara melakukan apa memang? Tidak ada. Dia hanya diam. Dan diamnya Dikara, lebih baik tak diusik. Mestinya. Namun, Dinda sedang mencoba uji nyali terhadapnya, ya, rupanya? Yang Dikara tatap secarik kertas undangan. Sebelum itu, hari-hari Dikara berlalu dengan cukup tenang di Jakarta. Esok dirinya sudah bisa mulai bekerja di kantor edukasi milik pipi. Pun, sejak lunch yang secara kebetulan bertemu dengan Bang Daaron dan Dinda, hari-hari Dikara masih damai walau agak kepikiran sedikit soal jejak kiss mark di leher pria yang hinggap dalam mimpinya. Dikara yakin jejak kemerahan itu hasil perbuatan Dinda, tetapi ragu saat mimpi semalam bibirnya mengisap di lokasi yang sama. Apakah selain soal pertemuan saat lunch, 'kebetulan' juga bisa berlaku untuk sebuah jejak kiss mark di leher pria yang sama? Plus, mimi memergoki Bang Daaron keluar dari kamarnya. Tapi hari ini Dikara sudah membebaskan pikiran tersebut dari kepalanya. Tak sabar menunggu esok. Namun, sebuah undangan datang atas nama Dinda dari Niska, yang konon Bang Daaron menitipkan secarik kertas itu untuknya. Niskala juga diundang. Dengan sangat kekanakan, Dinda akan mengadakan pesta malam tahun baru. Dia benar-benar ratu pesta, segala hal dibuat acara. Tujuannya, Dikara yakin untuk pamer Bang Daaron. Seolah menjadi pasangan lelaki itu adalah suatu hal yang patut diberi penghargaan. Lantas, dunia harus tahu bahwa lelaki tersebut miliknya, milik Dinda. Hingga orang-orang harus turut berbangga ria terhadap 'pencapaiannya' memenangkan seorang vokalis The Legend dari sekolah mereka dulu. Astaga. Itu pikiran Dikara saja, sih. Dan dirinya, bila nanti memiliki kekasih ... akan dia amankan hanya untuk diri sendiri. Kalau jadi Dinda, Dikara memilih mengurung Bang Daaron dalam sebuah 'sangkar' untuk kenikmatan pribadi. I mean, dunia tak perlu ikut menikmati keindahan lelaki itu. Benar? Dikara tahu jalan pikirannya agak toxic. Namun, tenang ... itu hanya gambaran hiperbola yang tidak benar-benar akan terjadi sesuai penjabarannya tadi. Paling tidak maksud Dikara, dia tidak akan pamer kekasih. Hingga segala momen dibuat pestanya. Well, dia letakkan undangan tersebut di nakas. Acaranya besok malam. Dikara lantas mengikat rambutnya, lalu keluar kamar, dan dia melihat sosok Bang Daaron sedang bicara dengan pipi di balkon. *** Sebelum ini, Wili mendapat laporan dari istri bahwasanya, "Pi, Mimi lihat Daaron keluar dari kamar Kara semalam." Terkejut? Tentu saja. Namun, dengan tetap tenang. "Jam berapa lihatnya, Mi?" "Jam setengah dua apa, ya? Pokoknya tengah malem." Itu pagi buta. "Pi, Mimi rasa udah saatnya ... tanpa menyinggung perasaan Daaron, cobalah Pipi bicara sama dia kalau untuk nginap ... Mimi rasa udah nggak bagus. Pipi paham, kan, maksud Mimi?" Marlena sangat gelisah. Wajar, sih. Wili juga resah dengan kabar yang barusan didengarnya. Yang membedakan, pembawaan Wili tetap tenang dan kalem. Menyimak dengan baik tiap lontar kata dari istrinya. "Bukan karena Mimi nggak percaya sama Bang Daaron. Sejauh dia tinggal di sini bareng kita, bareng Niskala ... nggak pernah Mimi lihat abang mencurigakan ke anak gadis kita. Dia bener-bener sosok abang yang baik untuk adik-adiknya. Nah, tapi ...." "Bener Mimi lihat abang keluar dari kamar Kara?" "Bener, Pi. Coba, deh ... mau apa Bang Daaron masuk-masuk ke kamar Dikara jam segitu?" "Kenapa nggak Mimi tegur langsung pas lihat?" "Itu dia!" Lena mendesah lesu. "Nggak ngerti kenapa Mimi malah diem." Malah mematung. "Ah, pokoknya Pipi aja yang negur." Seperti itu. Dan sebelum bicara dengan Daaron, Wili memutuskan untuk ngobrol dengan putrinya dahulu. Dikara. Di perjalanan pulang sehabis makan siang yang kebetulan bertemu dengan Daaron dan tunangannya, saat itulah Wili bertanya. Sekalian mengamati, lalu kedapatan Daaron mengikuti Dikara ketika pergi ke toilet, Wili pertanyakan pula hal ini. Jawaban Dikara, "Oh ... Kara ketiduran di balkon, jadi Bang Daaron bawa Kara ke kamar." Persis. Jawaban Daaron saat Wili tanyai sekarang pun demikian. "Kalau soal ke toilet, itu murni kebetulan. Kami sama-sama sudah selesai makan, kan, Pi?" Sama juga. Jawaban Daaron seperti itu walau tidak persis total rangkaian katanya. Tanpa tahu bila jawaban Dikara sebetulnya hanya karangan, dia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi, tetapi karena itulah Dikara lantas kepikiran soal kiss mark di leher Bang Daaron. Rupanya, mimi memergoki. Sementara, saat ini. Saat Wili dan Daaron bicara empat mata di balkon. "Habisnya Kara dibangunin susah, Pi." Ini Daaron jujur. "Ya udah, kan, Abang gendong aja masukin ke kamar, daripada sampe pagi tidur di sini. Kasihan. Tapi ternyata jadi timbul kesalahpahaman, ya?" Dan sejujur-jujurnya Daaron, tentu ada hal yang dia sembunyikan. Namun, tidak terendus. Daaron seapik mungkin menyembunyikan. "Pipi percaya." Seraya menepuk pundak Daaron. "Abang nggak mungkin melakukan hal yang mengecewakan Pipi, apalagi mimi." Yeah .... "Kan, Abang tahu sendiri akibatnya nanti." Seraya meremas bahu putra Reinaldi. "Tapi sepertinya mulai sekarang Abang kurang-kurangin nginap di sini, dan Pipi minta maaf karena harus mengatakan hal ini." Mereka sudah bukan anak-anak lagi, sekali pun Daaron dianggapnya sebagai anak, tetapi tetap ... mulai terasa ketidaketisannya bagi Wili. Terpantau aman ketika hanya Niskala yang di sini, selain itu Niska lebih sering menginap di kosannya dekat kampus. Namun, lain bila Dikara kembali. Bagaimanapun juga ... Daaron pernah jatuh hati kepada putri kedua Wili. Barangkali. Dianggapnya anak, tetapi Daaron tak menganggap secara penuh sosok Dikara sebagai adik, tak seperti kepada Niskala. Pun, Dikara tak pernah menganggap Daaron sebagai kakaknya. Lain cerita kalau malam itu Marlena tidak memergoki langkah Daaron yang keluar dari kamar Dikara, mungkin masih diberi kebebasan sambil terus diawasi diam-diam. Namun, ini sudah kepergok begitu, jadi lebih baik diberi batasan sekalian. Tentu, hanya soal menginap. "Bagi Pipi, Abang tetap anak kami." Daaron mengangguk dan tersenyum, tampaknya dia paham tanpa harus diulang. "Nginapnya nanti saja kalau sudah menikah, boleh Abang ajak istri bermalam di sini. Sesekali." Karena kalau bersama istri, tiap langkah Daaron pasti diawasi. Pun, Dikara tak mungkin membiarkan ada celah untuk Daaron masuki. Bahkan seharusnya jika itu Dikara, detik ini pun tak akan membiarkan pintu kamarnya terbuka untuk Daaron langkahi. Mestinya. Demikian Dikara yang Wili kenali, kecuali kalau ... sepuluh tahun tidak jumpa membuatnya tak lagi mengenal sang putri. *** "Ra, kamu mau datang?" "Hm." "Ya udah, deh, aku juga datang." "Iya, datang saja. Kan, sudah diundang." Dikara tengah men-scroll media sosialnya, sedangkan Niskala duduk manis di tepi ranjang kamar Dikara. Mereka membicarakan soal undangan pesta tahun baru dari Dinda. Bagaimanapun kelak akan menjadi saudara. Kata Niska, "Nggak enak juga kalau gak datang, kan? Bisa dibilang ... Kak Dinda ini calon mbak ipar kita." Dikara mengangguk. "Ngomong-ngomong, kamu beneran nggak ada rasa sama abang, kan?" "Ya." Niskala menipiskan bibirnya sebelum berucap, "Oke, deh. Fix. Sekali lagi, aku lega." Yang Dikara tatap wajah kembarannya. Niskala sedang tersenyum. "Aku nggak mau kamu patah hati dan menyesal soal cinta, Ra. Berat banget, lho, itu." "Oh, tenang saja. Hatiku aman." "Tapi tetep aku berharap kamu juga bisa segera nemu sosok yang bikin hatimu geter, deg-deg-ser. Biar hidupmu nggak lempeng-lempeng terus kayak gini." "Doakan saja." "Pasti, sih. Pokoknya segera, Ya Allah. Aamiin." Niskala mengusap wajah. Dikara mengangguk-angguk. Kembali menatap ponsel. Yang Niska tahu, Dikara sungguh jauh dari yang namanya cinta-cintaan. Ada Bang Daaron yang sebegitu jadi incaran orang-orang, tetap Dikara tidak tergoda, padahal Bang Daaron menunjukkan rasa sukanya secara ugal-ugalan. Niska sendiri pernah dibuat baper oleh Bang Daaron saat dulu dibelikan es krim, ini waktu SMP. Soalnya tiba-tiba sekali. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tahu-tahu dijajani es krim. Kan, deg-degan! Hingga hal-hal kecil yang dilakukan Bang Daaron padanya, Niska anggap lain. Namun, tidak lama. Semakin terlihat bila perhatian Bang Daaron padanya tidak jauh lebih besar dari perhatian Bang Daaron kepada Dikara. Sangat-sangat besar malah. Niskala menjelma pemerhati, sejak saat itulah dia mulai tak begitu mengacuhkan sosok Bang Daaron. Ditemukannya sorot mata berbeda, tawa berbeda, senyum berbeda, juga celoteh yang tak sama ketika Bang Daaron tengah bersama Dikara. Dan sepengamatannya, Dikara malah risi. Menunjukkan ketidaksukaan, tetapi Bang Daaron tidak pernah terusik atau minimal merasa tersinggung. Sama sekali tidak. Justru semakin bersemangat mencari perhatian Dikara. Lantas, tiba hari di mana Dikara menggemparkan kediaman ini dengan celetukannya kepada orang tua bahwa, "Kara mau sekolah di tempat nenek." Yang jadi problema, tempat nenek mereka bukan di Jakarta atau luar kota, melainkan di Rusia. Habis datangi acara reuni, sepertinya Dikara terinspirasi oleh kisah salah satu alumni yang sekolahnya lanjut ke luar negeri. Pikir Niskala, tampaknya Dikara sebegitu risi terhadap Bang Daaron hingga SMA pun memilih sekolah yang jauh. Mungkin juga pada saat di vila, ketika Niskala mendengar dari salah satu teman bahwa Dikara menyuruhnya pulang duluan karena dia ada urusan dengan Bang Daaron. Hal itu juga yang memotivasi Dikara agar lanjut sekolah di luar negeri, mungkin keinginan Dikara muncul oleh sebab obrolan mereka. Dan dari cerita Dikara yang Niska wawancarai lewat chat, dulu, semasa masih LDR Indo-Rusia, Dikara sama sekali tidak tertarik untuk menjalin cinta-cintaan di sana. Malah menceramahinya untuk fokus belajar, terlebih saat itu tidak ada Dikara yang biasa jadi guru paling sabar di rumah saat belajar bersama, jadi pusat contekannya juga kalau-kalau Niska begitu kesulitan. Benar, selama ini Dikara selalu ikut ke mana pun Niska memilih sekolahnya. Sejak kecil. Karena Niska pernah tak ingin berpisah dari Dikara sebab dia banyak menggantungkan diri kepada kembaran luar biasanya. Diingat lagi, sepertinya itu juga yang membuat pipi mengizinkan tanpa protes kemauan Dikara bersekolah di luar negeri. Meski mimi sampai menangis dan membujuk Dikara untuk sekolah di sini, dicarikan sekolah terbaik, asal tidak sejauh Rusia. Putusan pipi tidak berubah, pun Dikara kekeh dengan keinginannya. Selama ini pipi pasti merasa tak pernah lagi mendengar Dikara menyampaikan keinginannya karena tiap ditanya pun jawaban Dikara selalu ingin dengan Niska, ikut Niska. Maka dari itu, sekalinya Dikara menginginkan sesuatu, pipi langsung kabulkan. Ya, Niska juga merasa begitu. Walau sedih, walau berat, toh dia tak bisa menahan Dikara. Tidak seperti saat mereka masih kecil dulu. Niskala tercenung. Menatap lurus pada Dikara. Tiba-tiba merasa ... apa, ya? Dulu, Dikara yang punya keinginan sekolah di luar negeri, Niska sampai terkejut mendengarnya. Sedangkan, selama ini apa pun yang Niska ingin, Dikara adalah orang pertama yang dia beri tahu hingga saat Niska sampaikan kepada orang tua, Dikara tak perlu merasa terkejut seperti dirinya. Oh, Dikara .... Tiba-tiba Niska merasa sangat jauh dengan kembarannya, jauh sekali. Jauh dalam arti ... tidakkah Dikara merasa dirinya sebagai saudara, tentu bisa diajak bicara tentang hal paling memalukan sekali pun? Seperti Niska yang selalu berkicau kepada Dikara, baik saat sedang dekat maupun jauh di Rusia. Maksudnya, sampai detik ini, bahkan setelah menjadi warga Rusia selama sepuluh tahun, tak adakah cerita yang ingin Dikara bagi? Bersuara pun saat ditanya saja, itu juga jawabannya paling 'iya' atau 'tidak'. Tipe jawaban 'mati' hingga Niskala kehabisan kata untuk lanjut membahasnya. Demikian, kehidupan Dikara terkesan 'lempeng-lempeng' saja di matanya. Benar-benar gambaran air tenang, tak ada riak, apalagi ombak. "Kamu sedang mencoba membaca pikiranku, Nis?" Eh? "Tatapanmu," katanya. Dan tatapan Dikara tetap tertuju di ponsel. Niskala sontak berdecak. "Yang ada juga kamu, tuh, baca pikiranku. Tau aja aku lagi nyoba gali isi kepala kamu, Ra." "Dapat?" "Apa?" "Isi kepalaku." Niska menghela napas. "Boro-boro! Duh, malah aku jadi kepikiran. Gimana entar yang jadi pasanganmu, ya, Kara? Spek dukun mestinya." Dikara tersenyum. "Aku ke bawah dulu." "Titip salad, plis!" "Ya." Dikara pun membawa ponselnya, dia berlalu. Selepas tadi mendapat balasan pesan dari Bang Daaron. [Abang di halaman belakang. Kenapa?] *** Yang Dikara tanya; [Di mana?] Daaron mengantongi ponsel sesudah membalasnya. Dia menatap kebun mini milik Mimi Lena. Masih apik terawat. Sebelum benar-benar angkat kaki dari rumah ini, Daaron menyempatkan untuk singgah di sana. Tempat favoritnya, beda dengan Dikara yang lebih suka di balkon, Daaron di halaman belakang. Sudut bibir Daaron terangkat naik, mengingat pesan dari Dikara tadi adalah ... pesan setelah sekian lama. Benar, tidak? Yang Dikara awali lebih dulu. Dan kini Dikara tiba di depannya, menggantikan tanaman mimi yang sedang Daaron pandang. Sontak tatapannya tertuju di wajah cantik itu. Agaknya, Daaron tersentak saat tangan Dikara menjulur, lalu menyingkap kerah kemejanya. Oh, jejak kemerahan itu. Tatapan Daaron tak lepas dari wajah Dikara, apalagi cukup dekat saat ini. Yang Dikara balas pandangi sorot mata Daaron selepas dia perhatikan kiss mark di sana. So, mereka bersitatap sekarang. Dari mata ke mata. Kapankah bisa dari hati ke hati? Dari dulu .... Sulit sekali. Yang Daaron sentuh kepalan tangan Dikara pada kerah kemejanya. Pelan dia berucap, "Oh, mau bahas itu?" Dikara masih geming. Alisnya agak menukik. Sudahkah Dikara merasa bahwa jejak ini ulahnya? Atau ... perlu Daaron ingatkan kejadian semalam? Dengan menyentuhkan bibirnya pada leher jenjang Dikara. Terasa tubuh gadis itu menegang, tetapi tetap diam. Lalu bibir Daaron merangkak naik ke bibir Dikara untuk membisik, "Seperti ini ... nggak ingat?" Dan telapak tangan Dikara sukses melayang dibuatnya, tepat jatuh di pipi Daaron. Di detik Dikara menyentak mundur cengkeramannya pada kerah kemeja putra Om Reinal, juga memundurkan langkah. Saat itulah tangan ini melayang. Dengan d**a bergemuruh kencang. Pun, muncul reka adegan ... betapa liarnya mimpi malam lalu. Tentang bibir ini yang menjejaki leher pria itu, lalu bibir ini yang menyergap bibir tunangan Dinda, dan Dikara yang memulai dengan tutur kata, "Aku nggak suka." Semuanya ... nyata? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD