Agastya membawa Aleena ke salah satu hotel berbintang. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada gadis itu dan ini adalah kali pertama dia benar-benar melihat jelas seperti apa rupa Aleena yang sesungguhnya. Pertama kali mereka bertemu, Agastya tidak terlalu memperhatikan wajah gadis itu, ditambah saat itu juga dia masih dalam keadaan mengantuk. Namun, dia masih ingat jelas wajahnya yang cantik dan sangat belia.
Saat ini Aleena tengah duduk di tepi ranjang, meremas kedua tangannya sembari menggigit bibirnya, gadis itu terlihat sekali sangat gugup. Apa lagi saat ini dia tengah berduaan dengan seorang pria yang berstatus sebagai suami orang di kamar hotel. Dan, yang lebih buruknya lagi adalah pria itu suami dari sepupu yang memberi pinjaman uang padanya. Aleena tampak seperti w************n. Dia sama sekali tidak menduga kalau Agastya akan membawanya ke hotel. Dia pikir pria itu akan membawanya bertemu dengan tantenya mengingat dia baru saja mengalami musibah nahas.
“Kamu lapar?” tanya Agastya memecah keheningan di antara mereka setelah beberapa menit berada di kamar hotel dan hanya saling terdiam.
Aleena mengangkat kepalanya dan menatap pria yang duduk di sofa panjang tepat di depannya. Kemudian kepala gadis itu menggeleng. Dia hanya penasaran dengan permintaan apa yang diinginkan oleh pria itu. Entah dia sanggup atau tidak, tapi mau tak mau dia harus melakukannya karena itu sudah menjadi konsekuensi buah dari sumpahnya.
“Kamu mau kerja, Aleena?” Agastya bertanya lagi.
“Iya, Om.”
“Apa keahlian kamu?”
“Hm ....” Aleena tampak berpikir, selama hidupnya dia tidak pernah sekalipun bekerja. Tapi, sepertinya dia bisa mencoba sesuatu yang baru dan dia harus bisa karena hidupnya sudah berubah dan tidak sama lagi. “Apa saja, Om. Yang penting gak ada hubungannya dengan memasak. Leena gak bisa masak,” katanya jujur.
Mendengar suara gadis itu yang sangat manja membuat Agastya hampir belingsatan. Dia tahu suara Aleena tidak dibuat-buat seakan menggodanya, karena memang sudah seperti itu dari awal mereka berjumpa.
“Kerja sama saya mau?” tanya Agastya. Dia ingin memancing dulu bagaimana respon gadis itu atas tawarannya.
“Kerja di kantornya, Om?” Aleena balik bertanya.
“Iya, kalau kamu mau.”
Aleena tersenyum senang. “Tapi, Leena izin dulu sama Tante Risa, ‘kan?”
Agastya terdiam. Dia tidak akan melupakan yang satu itu, bahwa gadis di depannya ini adalah sepupu jauh istrinya dan tidak mungkin begitu saja dia membawanya untuk bekerja di perusahaannya tanpa memberi tahu Marisa.
“Omong-omong soal permintaan tadi, apa kamu bersungguh-sungguh?” Agastya mengalihkan topik percakapan.
Kali ini Aleena kembali terdiam. Ini yang dia takutkan. Dia takut bila permintaan pria itu sangat memberatkan dirinya. Mungkin lain kali dia harus meralat sumpahnya agar tidak menjadi bumerang bagi dirinya. Aleena terlalu terdesak tadi.
Kepala Aleena mengangguk pelan.
Agastya memandangi Aleena yang duduk dengan sangat gelisah. Sudah sejak tadi dia memperhatikan gadis itu, tapi yang ada hanyalah rasa penasaran dirinya bagaimana menyentuh tubuh Aleena yang tampak menggiurkan baginya. Dia memang sudah gila.
“Kamu pernah pacaran?” tanya Agastya lagi.
Aleena mengangkat kepalanya dan menatap Agastya. Pria itu seperti serius dengan pertanyaannya.
“Pernah waktu di SMA.”
“Sejauh apa gaya pacaran kamu?”
Aleena tertawa kaku. “Kenapa Om mau tau?” tanyanya sinis. Dia merasa seperti sedang diinterogasi padahal dia bukan penjahat di sini, dan lagi pria itu juga bukan ayahnya.
“Supaya kamu gak kaget.”
“Maksudnya?” Aleena semakin tidak mengerti.
“Kamu pernah berhubungan badan sama pacar kamu?” Kali ini Agastya bertanya tanpa difilter sama sekali dan dia yakin Aleena shock mendengarnya.
Kepala gadis itu menggeleng cepat.
“Yakin?” tanya Agastya memastikan.
“Iya!” Aleena membalas kesal.
“Mau saya cek?”
Sontak saja mata Aleena melotot galak pada pria yang semakin lama semakin kurang ajar padanya.
“Karena permintaan saya ada hubungannya dengan itu. Dan, saya bisa bedakan mana yang sudah pernah berhubungan intim, mana yang belum sama sekali,” ucap Agastya tanpa dosa sedikitpun.
Aleena yang kembali shock. Dia merasakan degupan jantungnya berdebar sangat kencang. Aleena semakin meremas jemari tangannya, dia takut. Dia tidak bodoh-bodoh amat, untuk tau apa yang diinginkan oleh pria itu. Bahkan pria yang merupakan suami tantenya pun tidak peduli bahwa dia masih ada ikatan saudara dengan istrinya.
“Aleena,” panggil Agastya lembut.
“Om mau pakai aku?” tanyanya.
“Itu permintaan saya.”
Aleena menelan ludahnya susah payah. Pria itu benar-benar sangat spontan sekali, pikirnya.
“Atau, begini saja ....”
Gadis itu kembali menatap Agastya. Pria yang usianya terpaut tujuh belas tahun darinya itu berdiri dari duduknya.
“Saya akan biayai kehidupan kamu secara rutin, asal kamu mau menjadi simpanan saya.”
“Jerk!” Sama saja dia menjadi p*****r pria itu, apa bedanya dengan si mucikari tadi. Aleena hanya bisa menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Entah mengapa nasib dirinya sial sekali. “Leena bukan w************n, Om,” katanya dengan suara yang bergetar dan masih dengan kepala tertunduk.
“Saya gak bilang kamu murahan.”
Aleena mengangkat kepalanya dan menatap Agastya dengan matanya yang memerah. “Tapi Om mau buat aku menjadi w************n. Om mau pake aku sepuas hati om, seperti p****************g di luaran sana. Apa bedanya aku dengan para simpanan g***n itu?"
“Saya hanya ingin memudahkan hidup kamu saja Aleena.”
“Dengan menjadi gundik Om Aga, suami dari tante aku? Om memanfaatkan aku di saat aku sedang dalam kesulitan. Seharusnya jika Om punya hati dan pikiran, Om tidak akan mengambil kesempatan ini untuk memanfaatkan aku. Seharusnya om menjadi pelindung aku bukannya ....”
“Sudah bicaranya?” tanya Agastya yang kini sudah berdiri tepat di hadapan Aleena. Jarak mereka hanya dua langkah.
Aleena hanya diam dan tidak mau memandang pada lelaki itu.
“Saya akui, saya bukan pria baik-baik, Aleena. Jelas saya tertarik dan menginginkan kamu. Dan sebagai balasannya saya akan memberi perlindungan yang aman untuk kamu.”
Aleena mengangkat kepalanya lagi dan menatap Agastya yang juga menatapnya.
“Hidup kamu sudah tidak aman lagi, anak buah mucikari itu pasti masih memburu kamu karena teman kamu baru saja ngejual kamu. Mereka akan terus nyari kamu sampai dapat. Jika tidak berhasil menemukan kamu, teman kamu yang akan kena hukuman mereka. Jadi, kamu pilih saja, mau terima tawaran saya atau kembali ke tempat itu menjadi p*****r di sana dan melayani banyak p****************g yang usianya jauh lebih tua dari saya? Pilihan ada di tangan kamu, Aleena.”
Aleena menelan ludahnya, apa yang dikatakan oleh pria itu ada benarnya dan sangat menakutkan dirinya. Dia sudah dijual oleh Gaby, dan pastinya hidupnya tidak akan sama lagi. Mucikari itu sudah mengenali wajahnya dan pastinya memiliki foto dirinya juga karena Gaby mungkin memberikannya.
“Saya akan biarkan kamu bermalam di sini dulu untuk pikirkan apa keputusan kamu selanjutnya. Saya akan datang dan menemui kamu besok pagi, bila besok pagi kamu sudah pergi dari sini, itu artinya kamu tidak menerima tawaran saya. Tapi, bila kamu masih di sini saat saya datang, itu artinya kamu menerima tawaran saya. Bagaimana?”
Kepala Aleena mengangguk kaku tanpa menatap pria itu, karena hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang.
“Baiklah, pilihan ada di tanganmu, Aleena. Pesan makanan apapun yang kamu mau, jangan menyiksa diri kamu. Saya akan pergi.”
Agastya melangkah menuju pintu dan keluar dari kamar hotel tersebut, meninggalkan Aleena untuk berpikir mengenai keputusannya.
Setelah kepergian Agastya, Aleena membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan pikiran kacau.
“Aku harus bagaimana sekarang? Ini semua karena kamu, Gaby, sialan!” Aleena meninju bantal dengan penuh emosi. Dia tidak akan mau memaafkan Gaby, seorang yang sangat dibencinya saat ini.
***
Agastya tiba di rumah sekitar pukul satu malam, sejak tadi dia mengabaikan panggilan telepon dari Ronny yang pergi tanpa memberitahu pria itu. Agastya tidak mau peduli, dia akan balik menghubunginya besok, itupun bila dirinya sempat.
“Kamu baru pulang, Sayang?” Marisa terbangun ketika Agastya masuk ke dalam kamar dan meletakkan kunci mobil, ponsel, dan dompetnya di atas bufet.
“Maaf bangunin kamu. Aku mandi dulu, ya.” Agastya masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Marisa tidak bisa tidur lagi dan menunggu suaminya selesai mandi.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, Agastya keluar dari kamar mandi dan mendapati istrinya yang masih terjaga. Kemudian pria itu masuk ke dalam ruang pakaian mengambil kaus dan celana pendek.
“Kenapa gak tidur lagi, hm?” Agastya naik ke atas ranjang dan mencium kening istrinya.
Marisa memeluk tubuh suaminya dan merebahkan kepalanya di atas d**a bidang pria itu.
“Kayaknya aku besok mau ke dokter untuk cek kesehatan. Menstruasi ku masih belum selesai sudah lebih dari sepuluh hari.” Ada nada kesal dari suara Marisa.
“Ya, sudah besok ke dokter saja, Sayang. Mau aku temani?”
“Gak perlu, kamu kan sibuk. Nanti aku sama Citra aja ke sana, kebetulan dia juga mau cek kandungan.”
“Citra hamil lagi?” tanya Agastya menyebut nama istri dari temannya, Diaz Prayoga.
“Hu'um, jadi pengen kan," ucap Marisa dengan suara manjanya.
Agastya hanya mengembuskan napas panjang dan kembali memeluk erat tubuh istrinya.
Keesokan paginya, Agastya sudah rapi dengan setelan kantornya. Marisa tengah sibuk dengan menu sarapan dan putra kecil mereka yang sudah masuk kelas play group.
Agastya tidak terlalu memikirkan tentang Aleena. Dia yakin apapun keputusannya, maka gadis itu sendiri yang akan menanggung resikonya. Kecuali jika Aleena menerima tawaran darinya, dia akan bertanggung jawab penuh atas gadis itu.
Agastya keluar dari kamar sembari menenteng tas kerjanya. Pria itu menyapa putranya di meja makan dan mengobrol santai.
“Aku berangkat ya,” katanya pada sang istri.
Marisa menengok ke arah jam dinding. “Belum juga jam delapan.”
“Mau cek kerjaan baru.”
“Oh, ya udah.”
Seperti biasa, Marisa akan mengantar suaminya hingga ke teras.
“Kamu jadi ke dokter?” tanya pria itu.
“Jadi, udah buat janji juga tadi. Sayang kan kalau dibatalin.”
Agastya tersenyum segaris. “Semoga semua baik-baik saja, Sayang.”
“Semoga.”
Keduanya sampai di teras, saling berpelukan dan berciuman sebelum berpisah.
Agastya sudah dalam perjalanan, bukan menuju kantornya melainkan ke hotel di mana dia meninggalkan Aleena tadi malam.
Sesampainya di hotel, Agastya langsung menuju lift yang akan membawanya ke lantai lima di mana kamar gadis itu berada. Dia tampak tenang dan tidak memikirkan sesuatu yang negatif. Ketika dia membuka pintu kamar hotel dengan kunci yang dia bawa, Agastya tidak mendapati Aleena di sana. Ruangan kamar itu kosong, tetapi selimut di atas ranjang tampak berantakan.
Pria itu menutup pintu kamar hotelnya dan melangkah ke arah jendela. Agastya menatap pada pemandangan di luar sana sembari memasukan kedua tangannya pada saku celananya masing-masing. Dia yakin Aleena pasti sudah memikirkan keputusannya dan menanggung resikonya sendiri. Jadi, gadis itu sudah bukan kekhawatirannya lagi.
Tiba-tiba saja, pintu kamar mandi terbuka dan membuat Agastya menoleh, Aleena muncul di sana.
Seketika sudut bibir pria itu terangkat, membentuk sebuah senyuman penuh kemenangan.