Setelah selesai, Naraya mendapat pengecekan lagi dari sang MUA.
Diperiksa seluruh aksesories yang melekat di tubuhnya untuk memastikan tidak ada yang terlepas saat menari nanti.
Naraya beserta tiga mahasiswi lainnya akan membawakan tarian tradisional adat Sunda.
Mojang Bandung cantik itu semakin cantik dibalut kebaya yang membentuk tubuh moleknya secara sempurna dengan selendang atau dinamakan Sampur yang akan dia gunakan sebagai properti menari.
Panitia acara sudah memanggil mereka bertiga untuk stay di belakang tirai.
Khafi sudah lebih dulu ada di sana padahal dia mendapat giliran menari setelah Naraya dan kedua temannya.
“Nay …,” tegur Khafi yang sorot matanya seolah berkata, “Kamu cantik banget.”
“Mas Khafi ….” Naraya membalas sembari tersenyum kaku.
Tatapan Khafi kepada Naraya itu langsung bisa diartikan sebagai ketertarikan oleh teman-teman mereka yang ada di sana.
Namun tidak sedikitpun Naraya canggung malah terlihat santai saja ketika pria tampan anak Rektor itu menatapnya sedemikian rupa yang menandakan kalau Naraya tidak memiliki perasaan khusus kepada Khafi.
“Ayo bersiap,” kata wanita panitia acara berseragam blazer dan celana panjang warna hitam.
Naraya dan kedua temannya mengambil posisi untuk keluar dari balik tirai.
MC memanggil mereka disertai musik intro dan satu persatu penari cantik itu keluar dari balik tirai.
Tepuk tangan membahana membuat tingkat kepercayaan diri Naraya naik berkali-kali lipat.
Tarian yang memiliki ciri khas humanism, keceriaan, semangat, kesederhanaan, spontanitas dan erotisme itu menghipnotis setiap pasang mata yang menyaksikan.
Ketiga penari cantik kompak di beberapa gerakan sampai pada suatu pola yang dinamakan ibing pola, Naraya harus menari sendirian sementara dua diantaranya berhenti sejenak.
Tepuk tangan kembali Naraya dapatkan mencetuskan sebuah senyum di bibir yang membuatnya terlihat semakin cantik.
Beberapa menit berlalu, orang-orang yang ada di sana terpana pada ketiga penari sampai akhirnya musik berhenti dan tarian pun selesai.
Tepuk tangan kembali membahana kali ini lebih meriah.
Masih dalam posisi ending dari tarian yang baru saja ditampilkan, pandangan Naraya menangkap sosok pria sedang tersenyum lebar menatapnya dengan sorot mata penuh takjub.
Naraya sampai melongo tidak percaya, pria yang baru dua hari lalu menjadi kekasihnya ada di antara orang penting yang menyaksikan pertunjukannya.
Beruntung Naraya berhasil menguasai diri jadi tidak terlambat saat kedua temannya sudah mengambil posisi di samping kiri dan kanannya untuk membungkuk memberikan penghormatan sebelum akhirnya kembali ke balik tirai.
Naraya masih belum percaya Ghazanvar ada di sana, jantung Naraya berdetak tidak biasa setelah menyadari keberadaan Ghazanvar.
Dia pergi ke ruang ganti mencari ponselnya untuk menghubungi Ghazanvar dan bertanya apakah pria itu memang sedang berada di Istana Negara menyaksikan penampilannya.
Namun belum sempat langkahnya sampai ke sana, tangan Naraya ditarik ke sebuah lorong yang gelap.
Lorong itu menuju sebuah gudang sehingga tidak dilalui orang.
Dan siapa lagi yang berani menarik tangannya kalau bukan Ghazanvar.
Ghazanvar mendesak tubuh Naraya ke dinding dengan satu tangan dia tempelkan pada dinding.
“Abang ….” Naraya bergumam sembari mendongak.
Selama beberapa saat Ghazanvar tidak bersuara, hanya menatap Naraya lekat namun satu tangan yang tidak menempel di dinding terangkat mengusap pipi Naraya.
“Nay ….” Suara sengau Ghazanvar mengabarkan sejuta hasrat seksual namun belum bisa dimengerti Naraya yang polos.
Demi apapun di muka bumi ini, Ghazanvar ingin menyeret Naraya ke atas ranjang lalu merobek kebayanya dan terbenam di dalam sang kekasih yang menurut Ghazanvar kelewat cantik itu.
Ghazanvar berjanji akan menghentaknya dengan pelan, memagut bibirnya penuh damba dan mengecup setiap jengkal kulit di tubuh Naraya dengan cara paling lembut.
“Abang … Nay pikir salah liat tadi.”
Hembusan napas Naraya sampai menerpa wajah Ghazanvar karena jarak mereka sangat dekat.
Ghazanvar merespon dengan senyum smirk.
“Abang kok bisa ada di sini?”
“Aku ‘kan udah bilang mau liat kamu perform.”
“Tapi ini acara Kenegaraan, Bang … kok Abang bisa masuk sini?”
“Aku kenal sama anaknya bapak Presiden.” Ghazanvar menjawab singkat tapi masih bisa dimengerti oleh Naraya.
Semestinya dia tidak perlu bertanya, apa yang tidak bisa Gunadhya lakukan?
Naraya terkekeh yang sebenarnya untuk menutupi canggung karena posisi meresahkan ini.
“Nay ….” Ghazanvar meraih dagu Naraya, mengusap ibu jarinya di sana.
Mata Ghazanvar beralih dari d**a Naraya yang menyembul ke bibirnya yang berwarna merah.
Ingin rasanya Ghazanvar lumat bibir tipis itu sampai bengkak.
“Iya Bang ….” Naraya menelan saliva, debar jantungnya kembali berdetak membabi buta.
“Pulang sama aku ya?”
“Iya ….”
Lalu hening, Ghazanvar kehabisan topik pembicaraan.
Janji Ghazanvar yang tidak akan menyentuh Naraya kecuali Naraya ijinkan sangat menyiksanya.
“Nay ganti baju dulu ya, Bang … masih ada satu kali perform ….”
Ghazanvar bergerak menjauh, dia jadi salah tingkah menahan sakit di antara pangkal paha karena tidak tersalurkan.
Naraya melangkah pelan meninggalkan Ghazanvar yang masih berdiri di sana.
Sesekali Naraya akan menoleh ke belakang lalu melambaikan tangan kaku, manis sekali.
“Dari mana, Nay? Ini minum dulu.” Ibu Veronika memberikan satu botol air mineral begitu Naraya sampai di ruang ganti.
Naraya hanya tersenyum sebagai jawaban lalu meraih air minum dan menghabiskannya setengah.
Tarian ke tiga sedang berlangsung dibalik tirai.
“Ayo ganti baju, Nay … tarian keempat cuma sebentar durasinya dan setelah itu kamu sama Khafi.” Ibu Veronica berpesan.
“Iya Bu.” Naraya bergegas berganti baju dibantu bagian weardrobe lalu pergi ke tempat tadi mereka berkumpul.
Sebelum tarian keempat selesai, Naraya dan Khafi sudah berdiri di belakang tirai kemudian keluar setelah intro mulai dimainkan.
Sekarang Naraya merasa gugup karena tahu sang kekasih menonton penampilannya.
Mata Naraya tidak berani menatap mencari Ghazanvar di antara para orang penting pemerintahan.
Meski begitu Naraya berusaha profesional, gerakannya tidak ada yang salah karena lupa.
Chemistry di antara Naraya dan Khafi juga cukup baik.
Naraya tidak tahu saja di kursi paling belakang, Ghazanvar mengetatkan rahangnya dengan tangan mengepal di atas paha.
Ghazanvar tidak terima kekasihnya disentuh oleh pria lain.
Pria itu sedang menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya ke wajah pria yang sedang menari bersama Naraya lalu menyeret Naraya pergi dari sana.
Di antara amarah yang menggebu itu, pertanyaan demi pertanyaan melintas dalam benak Ghazanvar.
“Kenapa kamu marah?”
“Kamu cemburu?”
“Kamu mencintai Naraya?”
Sesaat kemudian Ghazanvar tersadar, raut wajahnya melembut, tangannya sudah tidak terkepal lagi.
Ghazanvar seperti orang bingung lantaran dia tidak bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang tercetus di benaknya.
Tidak mungkin semudah ini dia jatuh cinta, dia marah pasti karena Ghazanvar tidak suka miliknya disentuh.
Iya, kan?
Ghazanvar mengusap wajahnya kasar, dia tidak fokus menyaksikan tarian Naraya sampai akhir.