Ghazanvar tidak membawa Naraya ke restoran melainkan ke Bar and Lounge milik Anasera.
Dua sahabat kentalnya-Anasera dan Radeva berulang kali menghubunginya saat weekend kemarin di mana dunianya jadi berubah seratus delapan puluh derajat dari yang tadinya berstatus jomblo menjadi taken.
Ghazanvar sempat menceritakan sedikit tentang rencananya menikahi Naraya jadi mereka meminta Ghazanvar membawa Naraya ke sini.
“Kok … ke … sini ….” Suara Naraya mengecil diakhir kalimat.
“Ini resto punya Ana, anaknya sahabat mami yang punya rumah sakit di deket rumah kamu itu loh.” Ghazanvar berujar lalu turun dari mobil untuk membukakan pintu bagi Naraya.
Naraya diam saja menunggu Ghazanvar yang membuka pintu demi menghargai pria itu.
“Tapi ini bukan resto, Bang.” Raut wajah Naraya tampak was-was.
Ghazanvar tertawa, dia baru tahu kalau Naraya adalah gadis polos yang belum tersentuh dunia gemerlap.
“Nanti ada ruang VIP … kita makan di sana aja kalau kamu enggak nyaman,” bujuk Ghazanvar sembari menuntun Naraya masuk melalui pintu depan.
Seorang berseragam pelayan menyambut mereka.
“Ada room kosong?” Ghazanvar bertanya kepada sang pelayan.
“Ada Kak ….” Pelayan itu membawa mereka ke sana.
Pelayan memberikan buku menu kepada Ghazanvar dan Naraya setelah mereka duduk di sofa di sebuah ruangan yang nyaman.
Cukup lama Naraya membaca buku menu tapi belum juga bisa menentukan pilihan.
“Mau makan apa Nay?” Ghazanvar peka kalau Naraya sedang bingung.
“Sama aja kaya Abang.” Naraya memberikan buku menu kepada pelayan.
“Aku yang pilihkan ya.” Ghazanvar membuka lagi buku menu yang belum sempat dia kembalikan.
Beberapa saat kemudian seorang gadis cantik masuk ke dalam ruangan itu.
“Hai …,” sapanya mengulurkan tangan ke depan Naraya dengan ekspresi wajah dibuat ramah.
“Ana … temennya Ghaza,” kata Anasera membuat Naraya tahu kalau gadis yang mungkin seusianya itu adalah pemilik Bar and Lounge.
Naraya jadi takjub.
“Nay ….” Naraya balas memperkenalkan diri.
Anasera melirik Ghazanvar dengan tatapan mencela.
“Menang banyak kamu ….” Anasera mencibir lantas duduk di sofa lain.
Radeva tiba-tiba masuk ke ruangan itu belum sempat Anasera bicara banyak hal untuk mencari tahu tentang Naraya.
“Waaa … ada cewek cantik.” Radeva menatap Naraya penuh minat sembari mengulurkan tangan.
“Radeva,” katanya kemudian.
Dengan cepat Ghazanvar menyambar tangan Radeva.
“Naraya … panggil aja Nay,” kata Ghazanvar dan sikap over protective-nya itu membuat Radeva merotasi bola matanya.
“Nay udah pesen minum? Biar nanti Aa yang bayar,” ujar Radeva menepuk dadanya.
Naraya tersenyum menanggapi.
“Ya ampun, cantik banget sih senyumnya Nay … kamu adalah perempuan tercantik kedua setelah mama aku.”
Lidah Ghazanvar berdecak dengan ekspresi wajah tidak suka mendengar pujian Radeva pada kekasihnya.
“Apaan sih?!”
“Cieeee … pacarnya marah,” ledek Anasera menggoda Ghazanvar.
“Nay … jangan mau sama Ghaza, ceweknya banyak,” celetuk Radeva tanpa tedeng aling-aling dan segera saja dia mendapat tatapan penuh peringatan dari Ghazanvar.
“Ceweknya banyak tapi cuma satu yang dia cinta ….” Anasera menggantung kalimatnya malah mengulum senyum sembari melirik Ghazanvar.
Lagi-lagi Ghazanvar memberikan tatapan peringatan.
Entah kenapa Naraya merasa kalau gadis yang dimaksud Anasera bukan dirinya.
“Kalian enggak ada kerjaan? Balik sana Radeva, dicariin mama Gita tuh! Kamu juga Ana, di luar banyak pelanggan … sana-sana layanin.” Ghazanvar mengibaskan tangannya.
Radeva dan Anasera menatap malas Ghazanvar
“Mau latihan enggak?” Radeva bertanya seraya bangkit dari sofa, dia melinting lengan kemejanya hingga urat di bagian lengan pria itu terlihat jelas.
“Besok aja, setelah makan malam aku mau anter Nay pulang.”
“Nay, jangan bolehin Ghaza masuk ke rumah … nanti dia malah ngajak ke kamar terus enggak keluar sampe besok pagi.” Anasera berujar sembari berlari ke luar ruangan sehingga bantal sofa yang Ghazanvar lempar jadinya mengenai Radeva.
Masih bisa terdengar tawa Anasera memenuhi lorong padahal sosoknya sudah tidak ada di ruangan itu lagi.
Radeva melempar balik bantal sebelum keluar, bermaksud mengenai kepala Ghazanvar tapi refleks Ghazanvar terlalu cepat untuk menangkap bantal tersebut.
Detik berikutnya pelayan datang membawa menu makan malam pesanan mereka.
“Jadi Abang pacarnya banyak?” Naraya menyuarakan isi pikirannya dengan tatapan tertuju pada piring yang sedang dia berusaha habiskan isinya.
“Enggak, Nay … Radeva becanda.” Ghazanvar menyanggah tanpa berani menatap mata Naraya.
Naraya berusaha mempercayai Ghazanvar meskipun masih mengganjal di hati dan karena itu, Naraya menjadi pendiam dan hanya bicara seperlunya.
Tampaknya keputusan Ghazanvar membawa Naraya bertemu dua sahabat bangsulnya itu salah besar.
Setelah makan malam, Ghazanvar memenuhi janjinya untuk langsung mengantar Naraya pulang.
“Abang turunin Nay di depan gang aja ya,” pinta Naraya yang sepertinya masih merajuk.
“Udah malem, Nay … aku anterin sampe rumah ya.”
Naraya menganggukan kepala. “Tapi enggak usah masuk ya, Bang … tadi ‘kan Ana udah berpesan.” Naraya mengingatkan.
“Ah … sialan nih si Ana sama Radeva.” Ghazanvar mengumpat.
Ghazanvar sudah menduga kalau sikap Naraya yang tiba-tiba jadi pendiam itu karena ucapan Radeva.
“Iya … aku anter sampe depan pintu aja.”
Setelah memarkirkan mobil di tempat yang aman, Ghazanvar dan Naraya turun dari mobil.
Saat itu gerimis mulai turun, keduanya mempercepat langkah dengan kedua tangan saling menggenggam.
Lalu hujan semakin deras, mereka pun berlari hingga depan rumah Naraya.
Dan setibanya di teras rumah Naraya, hujan turun dengan sangat deras disertai petir yang kencang.
Tubuh Naraya sampai bergetar dan tidak berhasil memasukan kunci ke lubangnya.
Ghazanvar yang melihat getaran tangan Naraya itu langsung melapisi tangan Naraya, membantu memasukan kunci ke lubangnya agar Naraya bisa masuk.
Terkejut dengan apa yang dilakukan Ghazanvar, Naraya malah mendongak menatap Ghazanvar yang tengah fokus membantunya membuka kunci pintu.
“Masuk, Nay … aku pulang ya.” Ghazanvar mengusap kepala Naraya pelan lantas memutar badan hendak pergi.
“Eh … Bang,” panggil Naraya membuat langkah Ghazanvar berhenti lalu membalikan badan.
Tubuh pria itu mulai basah diguyur hujan badai.
Naraya menarik tangan Ghazanvar agar masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu.
“Tunggu sampai hujan reda, kebetulan Nay enggak punya payung.” Naraya berujar menjelaskan apa yang dia lakukan.
“Memang boleh?” Ghazanvar merujuk pada ucapan Naraya tentang pesan Anasera tadi.
“Boleh … asal Abang enggak ngajak Nay ke kamar.”
Ghazanvar tertawa. “Enggak akan Nay, bentar lagi kamu jadi istri aku … nanti aku bisa ajak kamu ke kamar kapanpun aku mau.”
Naraya mendelik lantas pergi ke dapur untuk membuat teh hangat sembari mengulum senyum.
Dia mesem-mesem sendiri membayangkan apa yang kali ini pria itu akan lakukan untuk mencuri kesempatan membuatnya melayang ke Nirwana.
Boleh tidak kalau Naraya berharap hujan jangan cepat berhenti?