Pacar

1104 Words
Kakek Narendra tercenung di kursi kebesarannya setelah mendengar berita tentang apa yang terjadi dengan Ghazanvar sampai akhirnya sang menantu-maminya Ghazanvar mengajak Ghazanvar ke Bandung menemui Naraya dan tanpa direncanakan sebelumnya tercetus lah ide menikahkan Ghazanvar dengan Naraya. Papi Arkana masih duduk di kursi di depan meja ayahnya, menunggu beliau mengemukakan pendapat. “Kalian gegabah, bagaimana kalau Ghazanvar enggak bisa mencintai Nay?” Alasan menantunya yang disampaikan sang putra mengenai Naraya bisa membuat Ghazanvar melupakan Zaviya justru menjadi kekhawatiran sendiri bagi kakek. “Enggak mungkin Yah, Nay cantik … lama-lama Ghaza pasti kepincut … dulu juga Svarga sama Zaviya ‘kan dijodohin … Svarga yang cuek banget jadi bucin, apalagi Ghaza yang bersedia nikah sama Nay karena ada perasaan bersalah … akan mudah untuk jadi sayang dan lama-lama jatuh cinta.” Kakek mengembuskan napas panjang, beliau membuka map berisi semua tentang Naraya yang diberikan papi Arkana barusan. Bibir kakek Narendra perlahan membentuk sebuah lengkung senyum disertai kepala yang mengangguk-angguk. Sekarang dia percaya ucapan putranya barusan, dengan wajah secantik ini pasti sang cucu akan cepat melupakan Zaviya. “Wah … ada artis di keluarga kita.” Kakek Narendra bergumam sambil membaca kertas di tangannya. “Suaranya bagus … Nay juga jago menari semua tarian daerah dan modern … minggu ini dia dipercaya menari tarian daerah menyambut PM Jepang di Istana Negara.” Papi Arkana sudah tamat membaca data tentang Naraya saat perjalanan ke sini. “Jadi … sudah sampai mana persiapan pernikahan mereka?” Pertanyaan kakek Narendra itu adalah kode kalau beliau setuju dengan pernikahan Ghazanvar dengan Naraya. Papi Arkana mengembuskan napas lega. “Urusan Zara itu, Yah … dia excited banget mau punya mantu.” Kakek Narendra tertawa renyah mendengarnya. Merasa tidak ada yang perlu disampaikan lagi, papi Arkana bangkit dari kursi. “Kana balik ke kantor ya, Yah.” “Kana ….” Kalimat kakek Narendra menggantung membuat gerakan papi yang hendak membalikan badan pun terhenti seketika. “Iya Yah?” “Apa kamu yakin, Ghaza enggak ikut andil dalam kecelakaan itu?” Papi Arkana menggelengkan kepala. “Ghaza enggak akan merasa bersalah kalau dia enggak mengemudi sambil melamun, Yah … tapi dia ikut andil atau enggak, Ghaza anak Kana, Yah … dia enggak boleh masuk penjara.” Mata papi berkilat menatap kakek Narendra lekat, memberitahu kalau ucapannya sungguh-sungguh. Kakek mengangguk mengerti dan setelahnya papi Arkana meninggalkan ruangan pimpinan tertinggi perusahaan AG Group di Indonesia. *** “Turunin Nay di sini aja, Bang … rumah kontrakan Nay di dalam, enggak masuk mobil.” “Bentar, aku parkir dulu.” “Enggak usah parkir, Abang enggak usah turun.” “Aku juga ingin tahu rumah kamu, Nay … masa pacarnya Nay enggak tahu rumahnya Nay.” Status sebagai kekasihnya yang sering diakui oleh Ghazanvar itu selalu membuat Naraya tersipu. “Tuuuh … Bang, ngalangin jalan … mobilnya besar, besok-besok pake motor kalau ke sini.” Naraya menggerutu. “Enggak apa-apa gitu kalau aku jemput kamu pakai motor?” Ghazanvar turun setelah memarkirkan mobilnya. “Enggak apa-apa, memang kenapa?” Naraya menjawab saat Ghazanvar membuka pintu mobil untuk membantunya turun. “Biasanya cewek enggak mau diajak nge-date pakai motor.” Ghazanvar menggenggam tangan Naraya saat mereka berjalan beriringan masuk ke dalam gang. Duuuh, jantung Naraya dag dig dug lagi, rasanya seperti ada sengatan listrik berdaya rendah mengalir di telapak tangannya. “Abang pacarannya sama anak Konglomerat, ya mana mau diajak naik motor … Nay ‘kan bukan anak Konglomerat, waktu kecil Nay biasa ke mana-mana naik motor … setelah Nay besar, bapak maksain beli mobil katanya Nay udah enggak bisa dibonceng di depan lagi.” Naraya menoleh dan mendapati Ghazanvar sedang menatapnya lekat. “Sekarang aku yang akan bonceng kamu, Nay.” Ghazanvar membatin. “Aku enggak pernah pacaran, Nay.” Pada kenyataannya Ghazanvar menyahut demikian. “Terus cewek-cewek yang tadi Abang maksud, siapa?” “Teman ….” Ghazanvar menggantung kalimatnya. “Teman tidur,” sambung Ghazanvar di dalam hati. “Halaaah … bohong!” Naraya mengibaskan tangannya. Ghazanvar tertawa melihat Naraya menjulurkan lidah lalu tanpa sadar tangan Ghazanvar terangkat mengusak kepala Naraya. Kemudian Naraya tersenyum, netra mereka bertemu dan selama beberapa saat memaku tatap. “Ini perasaan aja atau memang dia ganteng banget?” Naraya membatin. Ghazanvar terlihat sangat tampan dengan senyum tipis sisa tawa tadi dan sorot mata teduh di bawah pancaran sinar bulan. Naraya langsung memutus tatap untuk menyelamatkan jantungnya dan kebetulan mereka telah sampai. “Ini rumah kontrakan, Nay.” Naraya membuka pagarnya yang tidak dikunci. “Abang mau masuk dulu?” Naraya sedang berbasa-basi seraya merogoh tas mencari kunci rumah. “Boleh.” Ghazanvar menjawab datar. Naraya yang berdiri membelakangi Ghazanvar sedang membuka pintu pun melipat bibirnya ke dalam menyesali tawaran basa-basinya. Ceklek … Pintu terbuka. “Bentar ya, Bang … Nay bawain minum dulu.” Tapi Ghazanvar malah ikut masuk lebih jauh ke dalam rumah. Netra Ghazanvar memindai sekitar, rumah kontrakan Naraya kecil sederhana tapi rapih dan bersih. Masih ada minuman kotak berasa teh di dalam kulkas, Naraya memberikannya kepada Ghazanvar. “Buat kamu mana?” Ghazanvar bertanya sembari menerima minuman dalam kemasan tersebut. “Nay minum air putih aja.” Naraya mengambil gelas yang kemudian dia isi dengan air dari water dispenser. “Duduk di depan yuk, Bang.” Naraya pergi duluan ke ruang tamu. Ghazanvar menjatuhkan bokongnya di samping Naraya yang sedang menyalakan televisi. Naraya jadi salah tingkah karena debar jantungnya kembali ribut di dalam sana. “Kenapa mami mau Nay jadi menantunya ya? Kan Nay bukan orang kaya seperti kalian.” Naraya bergumam dengan mata menatap televisi yang sedang memutar iklan. “Syarat untuk menikah sama aku enggak muluk- muluk kok, yang penting manusia dan perempuan … apalagi kamu cantik, itu bonus banget buat mami.” Naraya menyerongkan posisi duduknya membuat tatap mereka kembali bertemu. “Dari tadi Abang ngomongin mami terus, memangnya Abang enggak punya keinginan untuk cari istri sendiri.” “Enggak … terakhir aku ngajuin cewek buat jadi istri aku malah disuruh pesantren sama kakek.” Yang hanya bisa Ghazanvar ungkapkan di dalam hati. “Ingin … dan kriterianya ada di kamu jadi aku enggak nolak.” Ghazanvar menjawab tenang. Perempuan mana yang tidak jumpalitan mendengar ucapan Ghazanvar barusan. “Anggap aja Nay percaya.” Naraya sedang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. “Harus percaya donk, aku ‘kan pacar kamu.” Ghazanvar mengusap-ngusap kepala Naraya lagi. Ghazanvar suka mengusap-ngusap kepala Naraya seperti mengusap-ngusap kepala Chiko-kucing peliharaannya. “Katanya Abang mau ke kantor … nanti keburu bubaran kantornya.” Naraya yang jadi gugup dan canggung tanpa sadar mengusir Ghazanvar. “Kamu ngusir pacar kamu?” “Eh … bukan gitu ….” Naraya menghentikan kalimatnya. Ghazanvar pun tertawa melihat Naraya panik dan serba salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD