“Mami bilang, kamu mau menikah?” Arxen datang membawa dua minuman ringan dari dalam kulkas lalu memberikannya satu kepada Ghazanvar.
Arxen adalah anak pertama tante Bunga dan Om Angga yang berprofesi sebagai dokter.
“Hem ….” Ghazanvar mendengung sebagai respon.
Arxen duduk di day bed di samping Ghazanvar, mereka berdua tengah merokok di halaman belakang rumah di pinggir kolam renang.
Tante Bunga dan om Angga pergi untuk menghadiri sebuah pesta saat tadi Ghazanvar tiba di sini.
“Aku pikir kamu enggak akan pernah nikah.” Arxen mengungkapkan pendapatnya.
“Kenapa? Bukannya di antara kalian, cuma aku yang paling banyak ceweknya.” Ghazanvar terlihat bangga sekali.
“Justru itu, yang kaya gitu enggak akan bisa serius.” Arxen mematahkan ucapan Ghazanvar dan pria itu malah tertawa alih-alih marah.
“Aku serius ….” Ghazanvar menjeda kalimatnya.
“Suka sama istri orang sih bukan serius, tapi nekat! Gila!” seru Arxen dan keduanya tertawa bersama, mengingat kelakuan Ghazanvar yang terang-terangan meminta Svarga untuk menceraikan Zaviya agar bisa dinikahinya.
Meski Arxen tinggal di Bandung dan tidak masuk dalam circle Gunadhya tapi dia mendapat cerita dari maminya yang merupakan sahabat dekat mami Zara.
Dan Arxen tidak heran mendengar cerita tentang Ghazanvar tersebit karena menurutnya di antara anak-anaknya mami Zara dan papi Arkana hanya Ghazanvar yang paling badung.
Berbeda dengan para sepupu Ghazanvar yang lain yang memiliki karakter dingin dan jutek, anak-anaknya mami Zara dan papi Arkana lebih ramah dan bersahabat tapi paling nyeleneh mirip papi Arkana semasa muda.
Hanya Aruna yang normal, mungkin karena anak perempuan satu-satunya.
“Terus kenapa kamu udah tua belum nikah?” Ghazanvar membuat Arxen menjadi topik pembicaraan.
“Nikah itu enggak gampang, Ghaza … menyatukan dua pikiran menjadi harmonis dan sejalan itu enggak mudah … butuh cinta yang besar untuk bisa memaklumi kekurangan pasangan—“
“Jangan ngomong yang berat-berat coba, puyeng kepala aku kalau didoktrin begituan ….” sela Ghazanvar mengerutkan wajahnya.
Arxen tergelak karena merasa berhasil membuat Ghazanvar kesal, dia juga sebenarnya tidak suka ditanya kapan nikah dan akan menjawab setiap pertanyaannya tersebut dengan kalimat panjang lebar yang malas untuk didengar.
“By The way, Ana apa kabar?” Arxen kembali bertanya.
“Belum baikan sama Ana?” singgung Ghazanvar mengenai hubungan kakak adik yang tidak akur setelah Anasera memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan membuat Bar and Lounge.
Arxen menggelengkan kepalanya. “Kalau dalam keluarga kamu, kamu yang paling badung … di keluarga kita, Ana yang paling susah diatur.” Terselip kesal dalam nada bicara Arxen yang kini pandangannya kosong ke arah kolam renang.
“Ana aman kok, dia baik-baik aja … kita sekeluarga lagi mengupayakan agar Ana mau membuka hati untuk Nawa … tapi ya itu, si Ana kan batu … hatinya juga keras, jadi sulit dideketin.”
Hening selama beberapa saat usai Ghazanvar bicara demikian sampai akhirnya pria itu bicara kembali.
“Tenang aja, aku akan pastikan Ana baik-baik aja …,” kata Ghazanvar berjanji.
***
Naraya keluar dari kamarnya setelah bicara dengan mami Zara dalam sambungan telepon.
“Nay … duduk dulu di sini, Paman mau bicara sama kamu.” Paman Eka meminta baik-baik.
Kebetulan, Naraya memang juga ingin bicara dengan kedua pamannya itu.
Ruang televisi yang menjadi tempat bersarang kedua pamannya selama beberapa hari tampak berantakan.
Naraya tidak mau membereskan atau membersihkan, dia biarkan rumahnya kotor agar kedua paman beserta istrinya juga tidak betah tinggal berlama-lama di rumah ini.
Gadis cantik berambut panjang itu mengambil duduk di sebuah single sofa yang sering diduduki mendiang bapak Agus.
“Jadi gimana, Nay? Apa kamu sudah selesai berpikir?” Paman Eka bertanya merujuk pada berakhirnya pembicaraan mereka tempo hari sewaktu Surawijaya dan orang Jakarta berkunjung dikarenakan Naraya meminta waktu untuk berpikir.
“Apa kamu akan menerima lamaran pak Surawijaya?” sambung paman Eka melayangkan pertanyaan ke dua.
“Kalau kamu nikah sama Surawijaya, hidup kamu akan terjamin.” Paman Cecep buka suara, beliau memang jago kandang. Tidak berani bicara di depan banyak orang.
“Udah lah Nay, nikah aja kamu sama Surawijaya … enggak ada pilihan lain.” Istri dari paman Eka ikut-ikutan bicara.
Dia memang yang paling frontal bicara di depan keluarga dari pihak suaminya sedangkan istri dari paman Cecep hobinya ghibah membicarakan keluarga Naraya di belakang.
“Rumah ini dijual aja, Paman Eka sama Paman Cecep butuh berapa?” Tampang Naraya terlihat sombong, dingin dan penuh kebencian.
“Paman mah butuhnya banyak … tapi itung-itungan warisan aja … Paman enggak akan ngambil hak anak yatim piatu,” kata paman Eka bicara seolah dirinya malaikat.
Namun ucapannya barusan sampai membuat Naraya refleks merotasi bola matanya.
“Iya, jadi menurut Paman … hak Paman itu berapa?” Naraya bertanya lagi, kali ini meninggikan suaranya.
“Kenapa kamu jadi ngegas gitu?” Paman Eka naik pitam. Paman Eka seumur hidupnya susah tapi yang paling tinggi ego dan harga dirinya jadi tidak akan terima dilecehkan seperti ini.
“Terus Nay harus gimana? Nay tahu percis kalian berbohong dan Nay harus menjual rumah ini agar kalian berhenti merongrong Nay … sekarang enggak usah banyak ngomong, kalian mau berapa?” Intonasi Naraya meninggi, entah memiliki kekuatan dari mana karena dia merasa yang bicara tadi bukan dirinya.
Naraya sampai terkejut setelahnya, lalu terdiam dengan napas memburu.
“Nay menjual rumah ini sama Ghazanvar … sekarang Nay bisa langsung transfer ke rekening kalian lalu kalian pergi malam ini juga dari rumah ini karena besok rumah ini bukan milik Nay lagi,” kata Naraya dengan nada suara lebih rendah mengatakan sebuah drama yang disutradarai oleh mami.
Paman Eka dan paman Cecep saling menatap dengan roman bahagia di wajah mereka.
Pria tua dan kurus bernama Eka itu lantas menyebutkan sejumlah uang yang harus ditransfer Naraya ke rekeningnya.
Katanya jumlah itu jadi sangat besar mengingat nilai jual tanah yang sudah naik dari tahun saat mendiang ibu Hernita menjualnya ke orang lain.
Naraya tidak ingin mendengar penjelasan paman Eka yang dia tahu percis semuanya adalah dusta.
Dia sedang mengirim pesan kepada Ghazanvar meminta pria itu mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya dan nanti akan dia transfer ke rekening paman Eka, biar nanti paman Eka yang membaginya dengan paman Cecep karena paman Cecep tidak memiliki rekening.
Naraya terus menundukan kepala menatap layar ponsel selama menunggu Ghazanvar membaca pesannya.
Dia tidak sudi mendengar ocehan paman Eka yang kalau bicara seperti orang baik-baik.
Tidak lama kemudian sebuah notif muncul dengan bukti transfer telah berhasil masuk ke rekeningnya.
Naraya lantas mentransfer semua uang itu ke rekening paman Eka.
“Udah ditransfer, pergi kalian dari sini.” Naraya mengusir dua paman beserta bibinya dengan nada suara dan sorot mata dingin sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya sambil menelungkup di atas ranjang.
Naraya tidak habis pikir, kedua pamannya tega merampas haknya dengan cara berdusta menjelekan adik kandungnya sendiri yang selama ini telah banyak membantu mereka.
Dia tidak peduli kalau paman dan bibinya harus kembali ke Sukabumi menggunakan motor malam-malam begini.
Tidak lama ponsel Naraya berdering memunculkan nama Ghazanvar.
Naraya langsung menggeser icon hijau pada ponselnya untuk menjawab panggilan tersebut.
“Hallo?” Naraya menjawab, suaranya serak karena sedang menangis.
“Nay? Kamu enggak apa-apa?” Pertanyaan yang terdengar penuh perhatian itu membuat hati Naraya menghangat.
“Enggak Bang, Nay … enggak apa-apa.” Naraya menjawab sambil berusaha menghentikan tangisnya.
“Kedua paman kamu udah pergi?”
“Nay, enggak tahu … tadi setelah Nay bilang kalau Nay udah transfer, Nay minta mereka pergi dari rumah terus masuk ke kamar … Nay enggak peduli lagi sama mereka.” Naraya berujar sambil menangis.
Tangisnya pilu dan dalam dampak dari sakit hati dikhianati keluarga sendiri.
“Ya udah, Nay … kamu tenang ya … jangan lupa kunci kamarnya, besok aku jemput … kita ke rumah Surawijaya dulu anter uang baru pulang ke Jakarta.”
Naraya mengangguk meski tahu Ghazanvar tidak bisa melihatnya.
“Iya ….” Naraya menjawab setelah tangisnya mereda.
“Sekarang kamu tidur ya, Nay.”
“Iya.” Naraya menjawab singkat.
“Sleep tight, Nay … percaya sama aku, besok semuanya akan baik-baik aja.”
Naraya menangis lagi sembari menganggukan kepalanya.
“Nay … kamu enggak apa-apa ‘kan? Apa perlu aku ke sana sekarang?” Ghazanvar jadi cemas karena Naraya tidak merespon selama beberapa saat.
Bagaimana Naraya tidak meleleh, terharu lantas berbunga-bunga kalau si pacar barunya ini begitu perhatian.
“Enggak usah, Abang … sampai ketemu besok ya.” Naraya mengakhiri panggilan telepon.
Dan di balkon kamar tamu rumah tante bunga dan om Angga tempat Ghazanvar berdiri saat ini, kegelisahan melanda Ghazanvar setelah mendengar tangis Naraya barusan.
Rasanya ingin segera hari berganti esok lalu datang ke rumah Naraya untuk mengecek keadaannya.
Ghazanvar tidak sadar kalau apa yang dia rasakan itu adalah sebuah perasaan bernama Sayang.