"Cinta itu, bukan cuma dari pandangan pertama atau dari terbiasa bersama. Tapi, adanya kesempatan untuk bersama, juga bisa ngebuat jatuh cinta."
- Galuh Laksana Siswanto -
Aku lagi tiduran di sofa ketika mas Atom tiba-tiba masuk kamar.
"Oi, Val! Kamu lagi mager dan nggak ada kerjaan kan?" tanyanya tanpa basi-basi ngebuat aku yang lagi tepar hanya mengangkat sedikit kepalaku.
"Apa sih, Mas? Nggak lihat Valensi lagi melakukan peregangan otak habis digunain seharian di sekolah?" omelku kesal.
Mas Atom hanya tersenyum tipis.
"Mau ikut mas main futsal nggak? Pulangnya mas ajak makan gratis," ajak mas Atom yang tentu saja ngebuat aku yang emang suka makan ini tergiur.
Aku bangun dari tidurku, duduk di tepi kasur.
"Valenci nonton aja ya, nggak mau main," ujarku ngasih syarat.
Mas Atom tergelak pelan.
"Yang mau nyuruh kamu main siapa? Mas ngajak kamu biar dibolehin Mama aja," sanggahnya.
"Oh," sahutku singkat.
Mas Atom itu kesayangan Mama, jadi jarang boleh keluar malam kecuali binjar, les atau keluar sama Mama. Buat les aja, Mama suka ngontrol ke tempat les, seolah Mas Atom adalah anak yang bakal bolos kalau nggak dicek.
Buat kerja kelompok, Mama sukanya mas Atom kerja kelompok di rumah. Dijagain banget. Cuma, Mama suka nge-iyain kalau aku ikut. Jadilah aku seperti baby sister dari mas Atom sejak SMP. Nyebelin tapi kadang ada gunanya, terlebih jika udah disogok sama makanan.
"Valenci memang cantik sih, kayak Mama. Cuma, yakin ikut mas pake baju rumahan gitu?" tanya mas Atom yang ngebuat aku segera mengibaskan tanganku buat ngusir mas Atom pergi.
"Mas tunggu lima menit lagi di luar! Jangan kelamaan," katanya ngasih ultimatum.
"Oke," sahutku.
Pintu kamarku ditutup. Aku pun segera mengganti baju rumahanku dengan baju yang lebih layak untuk dipakai buat pergi.
Selesai ganti baju dan dandan seadanya, pake bedak sama handbody doang, aku menemui mas Atom yang udah nunggu di depan rumah.
"Mas, ayo berangkat," ajakku.
Mas Atom mengangguk.
"Yuk," katanya lalu berjalan menuju garasi mobil.
"Lah, pake mobil Mas?" tanyaku heran.
"Iya, sepeda motor Mas lagi diservis," jawab Mas Atom lalu masuk ke dalam mobil.
Aku pun segera masuk dan duduk di kursi penumpang yang bersebelahan dengan mas Atom.
"Udah pamit Mama, Mas?' tanyaku karena pas aku keluar dari kamar sampai depan rumah, Mama nggak kelihatan.
"Udah, mama lagi pergi barusan sama Papa saat kamu ganti baju," jawab mas Atom ngejelasin.
Aku hanya manggut-manggut.
"SIM A-nya dibawa, Mas?" tanyaku lagi sambil memasang seatbelt.
Mas Atom mengangguk.
"Udah," sahutnya.
"Baju ganti? Handuk? Dompet?" tanyaku lagi memastikan mas Atom nggak melupakan benda-benda yang memang harus dibawa.
"Udah, Val. Kamu ini, udah oon, bawel pula," decak mas Atom sebal.
Aku hanya diam sambil melihat ke depan, ngeliat mang Ujang, satpam rumah kami yang lagi ngebukain gerbang begitu mas Atom nyalahin mesin mobil.
Mobil pun mulai beranjak meninggalkan rumah. Aku yang benci keheningan, memutuskan untuk nyalain radio dimana sebuah lagu dari Isyana Saraswati berjudul lembaran buku mulai mengisi rongga telingaku.
Aku mulai bersiul-siul riang, menikmati alunan melodi sedih yang aku dengar.
"Reaksimu sama melodi lagunya nggak singkron, Val," protes mas Atom.
"Suka-suka Valenci doang, mas! Cara orang menikmati musik itu adalah hak segala rakyat!" ucapku yang langsung ngebuat mas Atom mengacak-acak rambutku gemas.
"Ih jangan dong, Mas. Berantakan nih rambut Valenci," protesku.
Mas Atom terkekeh.
"Cara kakak memperlakukan adiknya adalah hak segala rakyat," sahutnya yang membuatku berdecak pelan.
Aku menatap Mas Atom sinis, kesel. Sementara Mas-ku yang menyebalkan itu tersenyum penuh kemenangan.
Sampai di tempat main futsal, Mas Atom menyuruhku duduk di pinggir lapangan dengan menitipkan tas-nya yang berisi segala perlengkapannya.
Aku meneliti satu-satu teman main futsal Mas Atom. Kebanyakan nggak aku kenal karena dari SMANSA. Ada beberapa yang aku tahu, tetapi hanya tahu. Dari SMADA, hanya dua orang yang aku kenal, kak Andi dan Izul.
"Wah, Valenci ikut,"
Suara teguran penuh ketakjuban itu membuatku menoleh. Kak Galaksi sudah berdiri dengan baju futsal. Dari tempat dimana aku duduk, kak Galaksi terlihat mirip model baju bola. Aku bahkan sampai ternganga melihatnya.
"Hati-hati ilernya netes lho," guraunya yang seketika membuatku menutup mulutku.
"Ya ampun, aku nggak tahu kalau Valenci tipe yang ngiler lihat cowok pakai baju futsal," godanya.
"Hah? Nggak kok, Kak," sanggahku cepat.
"Jadi maksudnya Valenci ngiler-nya pas liat aku doang nih?" godanya lagi.
Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Nggak gitu juga, Kak. Valenci lagi laper aja pas kakak nyapa," kataku berdalih, malu kalau sampai ketahuan ngiler karena melihat betapa cocoknya kak Galaksi memakai baju bola.
"Beneran?" goda kak Galaksi dengan mengedipkan sebelah matanya untuk menggodaku.
Pipiku seketika memanas dengan perlakuannya itu.
"Dih, baperya," kata kak Galaksi lalu terbahak.
"Oi, Galaksi. Malah gangguin Valenci, buruan lakuin pemanasan. Jangan gangguin adikku, udah taken dia," tegur mas Atom setengah berteriak dari dalam lapangan.
"Wah, Valenci udah punya pacar?" tanya kak Galaksi.
Aku mengangguk.
"Yah, gitu ya. Jadi tambah suka," katanya yang membuatku terperangah.
"Hah? Jangan, Kak. Kakak nggak boleh jatuh cinta sama aku," larangku.
"Nah itu," katanya sambil menjentikkan jari.
"Aku udah jatuh cinta," katanya.
"Hah? Kok bisa kak? Cinta pandangan pertama?" tanyaku kepo.
Kak Galaksi tergelak mendengar pertanyaan bodohku.
"Bukanlah. Cinta itu bukan cuma dari pandangan pertama atau terbiasa bersama, Val! Tapi adanya kesempatan untuk bersama juga bisa ngebuat jatuh cinta!" jelasnya.
"Heh? Maksud kakak?" tanyaku bingung.
"Nah, menurutmu kenapa perselingkuhan dan cinlok itu ada?" tanyanya.
"Karena kebiasaan?" tebakku.
Kak Galaksi menggeleng dengan menggoyangkan satu jarinya.
"Bukan, girl," elaknya.
"Karena ada kesempatan untuk bersama, makanya mereka saling jatuh cinta! Perasaan saling dimengerti, sudah menyatukan dua hati," jelasnya kemudian.
"Hm," gumamku.
"Jadi gimana? Mau sama aku aja?" tanya kak Galaksi kemudian.
Aku mencebikkan bibirku.
"Nggak," tolakku.
Kak Galaksi terkekeh.
"Sekarang nggak, besok bisa iya lho," sahutnya lalu melambaikan tangan dan segera menemui mas Atom yang udah marah-marah karena kak Galaksi nggak segera masuk ke lapangan.
Aku hanya mengamati mereka yang memulai pertandingan begitu selesai melakukan pemanasan dan pembagian tim.
Entah kenapa aku nggak bisa melenyapkan begitu aja ucapan kak Galaksi dari otakku. Aku jadi merasa sudah berselingkuh karena ekor mataku jadi terus menatap kak Galaksi dari tadi. Aku pun bangun dari dudukku lalu mulai mencari spot-spot foto terbaik untuk melakukan selfie.
Cara ini cukup berhasil. Setidaknya, aku jadi nggak harus terus ngeliatin atau mikirin kak Galaksi yang memang ganteng dan pandai bicara itu.
***
"Mau pesen apa, Val?" tanya Mas Atom ketika kami sudah di tempat makan di salah satu Mall.
"Hm," ujarku sembari masih melihat menu.
"Beef steak aja, Mas," kataku setelah berpikir sejenak.
"Oke, minumnya?" tanya Mas Atom.
"Jus jambu aja," jawabku.
"Oke, bentar ya," ujar kak Atom lalu memanggil pelayan
Selesai memesan, aku membuka handphoneku, melihat hasil fotoku tadi di tempat futsal.
"Dapet banyak?" tanya mas Atom yang membuatku ngerutin kening.
"Fotonya," tunjuk mas Atom ke handphoneku.
"Oh," kataku lantas nyengir.
"Lumayan, Mas!"
"Hati-hati sama Galaksi, Val," ujarnya yang membuatku menatap heran ke mas Atom.
"Dia kalau naksir sama cewek harus dapat," kata mas Atom ngasih info.
"Kenapa emangnya kok harus dapat?" tanyaku penasaran.
"Biar nggak ada penyesalan dia bilang," jawab mas Atom santai.
"Emang boleh aku sama dia?" tanyaku yang membuat mas Atom menatapku sinis.
"Trus Pascal mau kamu kemanain? Karma itu ada lho Valenci. Kelak yang melukai akan terlukai," nasehat mas Atom.
"Ih, Valenci nggak maksud gitu, Mas," bantahku.
"Aku cuma nanya, emang boleh Valenci sama temen Mas? Kan mas Atom biasanya suka ngelarang kalau aku kepo sama temen Mas," jelasku.
"Kalau Galaksi sih, meski dilarang dia tetep bakal maju. Apalagi dia satu sekolah sama kamu," kata Mas Atom santai.
"Lah trus?" tanyaku.
"Iya hati-hati aja," jawab mas Atom.
"Tapi kan bentar lagi kelas 12 lulus, Mas. Tenang aja tinggal beberapa bulan," jawabku santai.
Mas Atom terkekeh pelan.
"Dia itu, jangankan beberapa bulan, kalau mau ya, jentikan jari aja langsung terpikat itu cewek-cewek,"
"Segitunya?" tanyaku rada nggak percaya.
Mas Atom ngangguk.
"Kalau Mas?" tanyaku.
"Apanya?" tanya mas Atom balik.
"Nggak mau jentikin jari juga biar dapat cewek?" tanyaku setengah menggodanya.
Mas Atom menggeleng tegas.
"Aku masih terlalu sibuk buat urusan cewek," jawabnya.
"Alasan macam apa itu?" delikku sebal.
Mas Atom terkekeh.
"Alasan seorang Alamsyah Tomas Wijaya kenapa masih jomblo dari lahir sampai sekarang," jawabnya yang semakin membuatku sebal.
"Tauk ah!"
Mas Atom ketawa geli.
"Tapi Mas kok nggak pernah ngelarang aku pacaran sih? Biasanya kan saudara laki-laki gitu, protektif," tanyaku heran.
Mas Atom cuma nyengir, memamerkan barisan giginya yang putih.
"Males. Biasanya makin dilarang makin ngelanggar. Daripada Mas larang trus kamu jadi tukang bohong, kan mending dibolehin tapi bisa diawasin," jelasnya.
Aku manggut-manggut.
"Tapi kok Mas kok nggak ngelanggar kalau mama yang larang?" tanyaku.
"Itu beda, durhaka sama orang tua dosa. Selain itu, ngibullin orang tua sama kayak nyari tiket gratis ke neraka," terangnya.
Aku bergidik ngeri.
"Waduh, Mas kok mandadak religius?" tanyaku sedikit merasa merinding.
Mas Atom tersenyum tipis.
"Menurutmu otak Mas-mu yang cerdas itu dari mana? Gini-gini, kita harus bersyukur Valenci bisa hidup dari keluarga kaya, banyak uang, mau apa tinggal bilang, serba kecukupan. Orang lain belum tentu bisa gitu, bahkan makan saja susah, makanya, pandai bersyukur," ceramah mas Atom.
"Iya, iya," jawabku.
"Eh, kamu sih anak pungut ya?" godanya yang ngebuat aku manyun.
Mas Atom terbahak, puas ngerjain akunya.
"Ih Mas, kok suka banget bilang Valenci anak pungut sih?" gerutuku sebal.
"Soalnya kamu Oon," jawabnya yang ngebuat aku pengen nimpuk dia.
Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Untuk sementara, aku dan mas Atom nggak bicara. Terlalu asyik dengan makanan sendiri. Lagipula mas-ku itu selalu ngelarang aku bicara kalau makan. Katanya, setan numpang makan kalau kita ngomong pas makan.
Selesai makan, Mas Atom ngajak aku pulang. Aku sempat merengek untuk nonton bioskop dulu tetapi mas Atom bilang udah lelah, jadi aku terpaksa mengalah.
"Jangan cemberut, dong," katanya sambil ngebukain pintu mobil saat kami sudah di parkiran.
Aku hanya diam lalu masuk ke dalam mobil. Mas Atom menutup pintu mobil lalu masuk dan duduk di kursi pengemudi.
"Valenci cantik mau es krim?" tanyanya yang langsung aku balas dengan anggukan cepat.
"Haha, lagi ngambek cepet juga refleknya," katanya lalu ketawa.
Aku jadi tersenyum kecil mendengar mas Atom ketawa. Dia memang menyebalkan tapi selalu ada cara untuk ngebuat aku luluh.
"No PHP lho Mas," ancamku.
Mas Atom tertawa ringan.
"Siap," sahutnya.
"Oh ya, Mas aku mau nanya sesuatu, dong," kataku yang teringat lagi soal tadi pagi.
"Nanya apa?" tanya mas Atom sambil mulai melajukan mobil meninggalkan parkiran mall.
"Benda yang tadi pagi Mas kasih ke kak Galaksi apa sih?" tanyaku masih penasaran.
"Oh," sahutnya.
:Oh doang nih? Nggak mau dijawab gitu?”
Mas Atom cuma nyengir.
"Apa sih, Mas?" tanyaku lagi setelah beberapa saat berlalu tapi Mas Atom belum ngejawab juga.
"Tanya sendiri, deh," putusnya kemudian.
"Ih, udah ditungguin juga! Udah nanya, tapi nggak dijawab," sahutku.
Mas Atom terkekeh pelan.
"Ya udah, berarti Galaksi pikir ini rahasia,"
Aku menghela napas panjang, kecewa.
"Jangan kecewa gitu, dong. Coba desak dia lagi, trus janjiin buat traktir siomay pasti luluh," saran Mas Atom.
"Beneran?" tanyaku ragu.
"Beneranlah," jawab mas Atom menegaskan.
"Kok Mas Atom bisa kenal kak Galaksi sih? Akrab banget lagi. Padahal di sekolah terkenal cuek lho," kataku.
Mas Atom tersenyum tipis.
"Itu kan buat yang nggak kenal. Kalau udah kenal Galaksi, dia mah nggak cuek. Lebay malah," kata mas Atom.
"Heh?" Aku sedikit terkejut.
"Kenalnya dulu pas ketemu di lomba. Dia ikut Biologi, Mas Fisika," jelas mas Atom saat melihatku agak linglung.
"Kan beda mapel tuh, kok bisa kenal?" tanyaku penasaran.
"Pas hari H, Mas lupa bawa alat tulis. Lagi bingung, sempet mau nangis pula, dia nongol ngasih pinjem alat tulis. Katanya dia punya dua. Mas tanya, kenapa nggak dijadiin cadangan aja takut alat tulismu habis? Dia cuma ketawa, trus dia bilang, kalau takdirnya gitu, beruntunglah orang yang bisa jawab. Dia bisa ngalahin Galaksi yang super jenius itu!" curhat mas Atom panjang lebar.
"Narsis amat itu mah, bukan lebay,” sanggahku.
Mas Atom tergelak.
"Lucunya nih, pas kita sama-sama masuk final, dia jadi suporter mas! Kan dari sekolah nggak ada yang masuk tuh di Fisika selain mas di tiga besar. Padahal dari sekolahnya dia ada yang masuk juga. Eh dia malah nyorakin sampe bikin ricuh! Lebay dah!" kenang mas Atom.
"Segitunya ya, padahal baru kenal. Beda sekolah pula," kataku rada kagum.
Mas Atom mengangguk.
"Iya, dia bilan aku dan dia bisa jadi kuartet yang menguntungkan kami berdua. Sejak itu, Mas berteman akrab sama dia," jelas mas Atom mengakhiri ceritanya.
"Kok, nggak pernah diajak ke rumah, Mas?" tanyaku kepo.
"Dia nggak mau," jawab mas Atom.
"Kenapa?" tanyaku lagi, maksa ingin dijelasin.
Mas Atom hanya tersenyum.
"Rahasia," katanya yang bener-bener ngebuat aku bisa mati penasaran. Dia itu memang nggak bisa dipaksa. Tukang ngotot sepertinya memang susah untuk digoda. Mungkin itu sebabnya masku tidak pernah punya pacar sampai sekarang. Dia terlalu alot untuk diluluhkan. Meskipun batu pasti akan hancur kalau terus-menerus kena air, butuh waktu untuk hal itu bisa terjadi. Ratusan bahkan jutaan tahun sepertinya. Entahlah, aku tidak bisa memprediksi sama sekali. Sulit.
Mas Atom menghentikan mobilnya.
"Bentar, beli es krim dulu," katanya lalu turun dari mobil dan masuk ke salah satu supermarket.
Aku menghela napas panjang. Kecewa tapi nggak mau maksa.
Kak Galaksi ya.. Jadi penasaran, dia cowok model apa ya?