"Memang benar adanya, berharap pada manusia kebanyakan berakhir dengan luka,"
- Milki Aditya -
Aku menangis sesenggukan di trotoar. Kalaupun ada orang lewat dan menertawakanku, aku nggak peduli. Biarlah orang lain mencelaku, mengomentariku, asal sakit di ulu hati yang sedang aku rasakan saat ini, berkurang walau hanya sedikit. Aku kecewa.
Aku menghela napas, mencoba nggak bernapas beberapa detik saat sebuah getaran di handphone milikku terasa lagi. Aku terlalu takut untuk sekadar memeriksanya. Bagaimana jika itu mas Atom? Aku nggak mau dia melihatku dalam keadaan kacau begini. Terlebih jika dia tahu kalau aku begini karena kak Pascal, mas Atom pasti akan menyuruhku putus darinya. Aku nggak mau itu terjadi.
"Valenci," sebuah sapaan itu terdengar bersamaan dengan berhentinya sebuah sepeda motor di depanku.
Aku mendongak dan mendapati kak Milki di depanku, duduk di sepeda motor besarnya. Dia memberikan senyuman manis.
"Butuh tumpangan?" tanyanya menawarkan.
"Kok di sini Kak?" tanyaku balik, mengabaikan tawaran darinya.
"Ini kan jalan menuju rumahku, trus ngeliat seorang cewek mirip kamu. Aku samperin, eh beneran kamu," jelasnya.
"Lagi apa di sini? Belajar jadi anak jalanan?" guraunya.
Aku hanya diam, mencoba menenangkan diriku lebih dulu sebelum merespon gurauan darinya.
"Mau pulang bareng nggak nih? Kalau kelamaan ntar argonya naik trus lho," guraunya lagi.
Aku akhirnya tersenyum, geli. Kak Milki memang lucu.
"Emangnya Kakak supir taxi?" balasku.
Kak Milki ketawa.
"Pengennya sih, tapi sama Papa nggak boleh beli taxi," jawabnya.
“Mungkin aku lebih cocok jadi ojek, ya nggak?”
Aku cekikikan.
"Dasar!"
Kak Milki ketawa lagi.
"Ayo," ajaknya.
Aku mengangguk lalu segera naik ke sepeda motornya. Kak Milki kemudian memberikan aku helm. Dia bawa dua helm. Aneh, kayak niat amat nyamperin akunya.
"Biar nggak ditilang," katanya.
Aku hanya tersenyum geli lalu memakai helm yang kak Milki kasih padaku.
Setelahnya kak Milki mulai melajukan sepeda motornya. Di sepanjang jalan, aku hanya diam. Air mataku memang sudah kering tetapi lukanya masih ada. Aku tahu, ini kekanakan. Harusnya aku paham bahwa tindakan kak Pascal hari ini pasti ada alasannya. Hanya saja, hatiku sudah terlanjur sakit. Apa aku yang terlalu rapuh, atau dia yang terlalu nggak peduli dengan perasaanku? Entahlah, aku nggak ngerti.
Sepeda motor yang kami kendarai tiba-tiba berhenti di depan sebuah supermarket. Aku yang tersadar ketika kak Milki memintaku untuk turun, segera turun. Dahiku mengernyit menatap supermarket yang sebelumnya belum pernah aku lewati. Aku menoleh kiri-kanan, jalanannya terasa asing. Ini dimana?
"Kak ini di-."
"Beli minum dulu ya," kata kak Milki memotong pembicaraanku.
Aku mengangguk, batal bertanya. Mungkin kak Milki memang haus.
Kami berdua lalu masuk ke supermarket tersebut. Kak Milki segera menuju ke tempat minuman berada setelah bertanya pada pelayan supermarket, aku pun mengikutinya.
"Pilih aja yang Valenci mau, aku yang bayar," katanya.
Aku mengangguk.
Aku pun mulai memilih minuman mana yang aku mau. Ini akan memakan waktu cukup lama, bagaimanapun memilih minuman yang ingin aku minum di saat begini, sangat susah ditentukan.
"Udah milih, Val?" tanya kak Milki yang rupanya sudah menjatuhkan pilihannya pada yogurt.
"Hm," gumamku masih belum bisa memutuskan.
"Valenci bingung mau pilih yang mana aja?" tanya kak Milki lagi, mungkin dia mau membantuku untuk memutuskan.
"Aku bingung antara ini, ini dan ini Kak," jawabku pada tiga minuman yang sedang aku pertimbangkan.
"Oke, ambil aja semuanya," katanya santai lalu mengambil tiga minuman itu dan memberikannya dua di antaranya padaku.
"Tanganku nggak muat bawa semua," katanya. "Kasir Yuk!"
Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan berjalan mengikutinya yang sudah jalan lebih dulu.
Kak Milki nggak bohong, dia benar-benar mentraktirku tiga minuman sekaligus. Setelah membayar, kak Milki mengajakku untuk duduk di depan supermarket dulu.Sambil menikmati minuman yang kami beli, kami menatap jalanan yang hari ini begitu terik dan ramai.
"Val," panggilnya.
Aku menoleh ke Kak Milki.
"Ya Kak?" sahutku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
"Eh?"
"Kamu nggak apa-apa?" ulangnya.
"Nggak apa-apa, kok," sahutku. "Kenapa?"
"Aku minta maaf ya," katanya lagi.
"Eh? Buat apa Kak?" tanyaku nggak paham dengan pembicaraan tentang apa yang sedang kami bicarakan sekarang hingga kak Milki harus minta maaf.
"Aku udah bikin dua kebohongan hari ini padamu," jawabnya.
Dahiku mengernyit lagi.
"Ah, kebohongan kalau kak Milki sebenarnya nggak tahu jalan menuju rumahku?" tebakku.
Kak Milki menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Ketahuan banget ya?" tanyanya merasa malu.
Aku mengangguk.
"Banget," jawabku. "Kita tersesat Kak?"
Kak Milki hanya nyengir.
"Ya, jujur aja, aku nggak tahu ini dimana,” aku-nya.
Aku tertawa, sedetik kemudian kak Milki juga tertawa. Lucu.
"Jadi, kak Milki disuruh siapa ke aku?" tanyaku.
"Pascal," jawabnya mengaku.
"Kak Pascal kemana? Kok aku ditinggal?" tanyaku.
Kak Milki mengangkat kedua bahunya.
"Kalau itu, aku juga nggak tahu, Val! Dia hanya minta tolong padaku," jawabnya.
Aku mendesah pelan. Kecewa.
"Maaf ya," kata kak Milki merasa bersalah.
Aku menggeleng pelan.
"Kak Milki nggak salah, kok. Makasih udah datang," kataku tulus.
Kak Milki tersenyum senang.
"Yaudah, minum minumannya!" suruh kak Milki.
Aku mengangguk.
Saat handphoneku bergetar lagi, aku sudah berani mengangkatnya. Bener dugaanku, mas Atom yang menelpon. Sudah ada dua belas panggilan nggak terjawab. Aku pun mengangkat telpon ke tiga belas darinya.
"Halo, Mas?" kataku begitu telpon tersambung.
"Val, kamu dimana?" tanya mas Atom dengan suara cemas.
"Di jalan, Mas," jawabku.
"Jangan marah ya, Valenci, itu...kamu sama Pascal nggak?"
"Nggak, Mas. Sama kak Milki, kenapa?" tanyaku.
Terdengar Mas Atom menghela napas lega.
"Ya udah, kamu langsung pulang sekarang," katanya.
"Eh?"
Klik.
Panggilan diakhiri.
Gitu doang? Mas Atom nggak marah? Dia cuma pengen tahu aku sama kak Pascal atau nggak? Kenapa?
"Val, Val!"
Panggilan dari kak Milki membuatku menoleh ke arahnya.
"Ah, maaf Kak," kataku merasa nggak enak.
Kak Milki tersenyum tipis.
"Nggak apa-apa, dimarahin ya kok sampai bengong gitu?" tanya kak Milki.
Aku menggeleng.
"Nggak, Kak," sanggahku. "Oh ya, kakak tahu Indira?" tanyaku.
Kak Milki tampak terkejut mendengar pertanyaan dariku.
"Hm," gumamnya.
"Aku tahu kok kalau dia itu cinta pertamanya kak Pascal," lanjutku.
"Oh," gumam kak Milki pelan.
"Jadi, apa dia kembali?" tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar, rasanya aku belum siap menerima kenyataan.
Kalau indira kembali, artinya aku harus bersaing dengan cewek yang bahkan sekilas saja sudah membuat kak Pascal meninggalkan aku. Rasanya, aku seperti bayangan bagi kak Pascal. Dimana dia bisa meninggalkan aku kapan saja saat mataharinya datang.
"Kamu sudah sesuka itu sama Pascal, Val?" tanya kak Milki.
"Eh?"
"Memang benar adanya, berharap pada manusia kebanyakan hanya memberikan luka. Karena terkadang mencintai seseorang, akan terasa menyebalkan saat dia mencintai orang lain," kata Kak Milki seolah dia sedang bicara pada dirinya sendiri.
"Eh? Maksud kakak?" tanyaku.
"Ah, nggak-nggak," kata kak Milki sambil cengengesan.
"Udah yuk pulang," ajaknya. "Tapi kamu jadi petunjuk arahnya ya, aku belum tahu rumahmu dimana.”
Aku mengangguk mengiyakan.
Kak Milki pun mengantarkan aku pulang, tentu saja kami harus bertanya sana-sini dulu karena sudah terlanjur tersesat. Setelah kembali ke jalan yang benar, aku mulai menjadi navigator. Bersama kak Milki, luka itu sedikit nggak terasa sakit.
***
Aku melambaikan tangan pada kak Milki begitu teman dari pacarku itu mulai berlalu pergi. Aku pun berbalik, masuk ke rumahku. Aku tertegun, menatap mas Atom yang sepertinya sedang berdebat dengan kak Galaksi.
Aku berjalan mendekat dan mas Atom segera menghentikan perdebatannya dengan kak Galaksi begitu melihat aku mendekat. Mencurigakan.
"Kak Galaksi ngapain di sini?" tanyaku.
Kak Galaksi terlihat salah tingkah.
"Oh, hai Val," sapanya dengan canggung.
"Hai?" ulangku penuh rasa heran.
"Masuk sana," suruh Mas Atom.
"Heh? Lah Mas sendiri ngapain? Kok masih pake seragam?" tanyaku heran.
Mas Atom masih mengenakan seragam, cuma kakinya saja yang sudah memakai sandal bukan sepatu.
"Bukan urusanmu," sergah mas Atom.
"Urusanku, dong! Ini soal Indira kan?" tebakku.
Raut wajah mas Atom berubah menjadi masam.
"Kamu kok tahu Val? Kamu ketemu Indira?" tanya kak Galaksi yang tiba-tiba saja mencengkram kuat kedua bahuku.
"Aw, sakit Kak," rintihku.
Mas Atom menepis tangan kak Galaksi dariku.
"Jangan kasar sama adikku, dong," protes mas Atom.
"Maaf, Tom! Aku terlalu panik," kata kak Galaksi merasa bersalah.
"Kamu kok tahu soal Indira, Val? Kamu lihat dimana?" tanya mas Atom kemudian.
"Aku nggak lihat, Mas. Cuma sepertinya kak Pascal lihat," jelasku.
"s**t, Pascal lagi. Indira pasti ketemu dia," geram kak Galaksi.
"Jangan emosi dulu, siapa tahu mereka cuma nggak sengaja ketemu," kata mas Atom mencoba menenangkan kak Galaksi.
"Jadi, gimana ceritanya Val?" tanya mas Atom.
"Tadi Valenci diajak kak Pascal beli es krim, Mas. Trus kak Pascal bersikap aneh, dia mengumankan kata Indira lalu pamit pulang!" jelasku mencoba menyembunyikan fakta bahwa kak Pascal meninggalkan aku tanpa berkata apa-apa.
"Lah, kalau kamu sama Pascal, trus kamu sama siapa pulangnya? Tadi kamu bilang sama Milki, kok bisa?" tanya mas Atom heran.
"Iya, kak Milki juga ikut. Karena kak Pascal pulang duluan, aku jadi sama kak Milki deh," kataku berbohong.
"Bener gitu kejadiannya?" tanya mas Atom nggak percaya.
Aku mengangguk.
"Ada apa sih Mas?" tanyaku.
Mas Atom menatap kak Galaksi. Sepertinya dia tengah meminta izin untuk cerita. Kak Galaksi mengangguk setelah berpikir cukup lama.
"Indira, adiknya Galaksi datang. Dia kabur dari rumah eyangnya. Sepertinya dia mau ketemu Pascal," jelas mas Atom.
"Datang?"
Kak Galaksi mengangguk.
"Dia pindah sekolah karena rasa sakit hatinya sama Pascal. Tapi aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dia ingin ketemu Pascal lagi, bahkan nekat kabur dari rumah," jelas kak Galaksi.
"Jadi terakhir kamu ketemu di toko es krim?" tanya kak Galaksi.
Aku mengangguk.
"Kita cari sekitar sana aja, Tom," usul Kak Galaksi.
"Oke," kata mas Atom setuju.
"Aku ikut, Kak," mohonku.
Kak Galaksi menoleh ke mas Atom dan mas-ku itu menggelengkan kepalanya. Dia nggak mau aku ikut.
"Mas, please," mohonku.
Mas Atom tampak ragu.
"Aku nggak akan ganggu," janjiku.
"Tapi Val-."
"Mas, aku mau ikut!”
"Nggak boleh, kamu di rumah aja," kata mas Atom nggak mau mengalah.
Mereka berdua pun pergi, meninggalkan aku. Aku tetep harus ikut. Jadi, aku telpon Sota, aku memintanya segera datang dan membantuku untuk mencari kak Pascal dan Indira.
Cukup lama aku menunggu Sota, sekitar sepuluh sampai lima belas menit sebelum akhirnya sahabatku itu datang. Tanpa banyak bicara bahkan belum mengganti baju, aku segera naik ke sepeda motor Sota. Aku katakan kemana kami harus pergi dan sahabatku itu nggak banyak bertanya. Ini adalah sikap Sota yang paling aku suka, nggak akan banyak bicara saat melihatku enggan ngejelasin.
Kami tiba di toko es krim. Sota memarkirkan sepeda motornya sementara aku masuk ke dalam, mencari siapapun yang bisa ditemui. Tapi nggak ada siapapun yang aku kenal disana. Kak Pascal nggak ada, kak Galaksi nggak ada, demikian pula mas Atom.
Aku pun kembali ke Sota yang masih di atas sepeda motornya.
"Mau kemana lagi nih?" tanya Sota menanyakan tujuan kami selanjutnya. Sepertinya dia tahu kalau apa yang aku cari nggak ada di sini.
"Sot, kamu tahu rumah kak Pascal?" tanyaku.
Sota menggeleng.
"Nggak tahu," katanya.
"Kenapa?" tanya Sota.
"Nggak apa-apa, aku mau kesana," sahutku.
"Kenapa nggak nanya kak Milki aja?" usul Sota.
"Benar juga," gumamku.
Aku pun segera menelpon kak Milki.
"Halo?" kataku begitu telpon tersambung.
"Halo?"
"Kak Milki ya?"
"Ya? Ada apa Val? Kangen ya?" goda kak Milki.
"Kakak tahu rumah kak Pascal dimana nggak?" tanyaku to the point.
"Heh? Ya tahulah, kan deket rumahku. Tapi harus masuk g**g dulu sih, ke rumahku aja sini. Nanti aku antar, kalau pakai mobil nggak bisa masuk. Nggak muat!" jawab kak Milki setengah bergurau.
"Oke, aku segera otw kak," kataku setuju.
"Huum, aku tunggu," sahut kak Milki.
"Oh ya, rumah kakak dimana?" tanyaku kemudian.
Kak Milki cekikikan.
"Mau ke rumah tapi nggak tahu dimana, lucunya Valenci," ledeknya.
"Serius, Kak! Rumah kakak dimana?" tanyaku.
"Sorry,"
Kak Milki pun memberikan alamatnya. Setelah mengucapkannya keras-keras pada Sota dan memastikan Sota tahu tujuan kami, aku pun menutup telpon.
Kami berdua segera meluncur ke rumah kak Milki. Rumahnya cukup jauh dari tempat kami berada bahkan harus putar balik dulu.
Setelah menempuh perjalanan yang terbilang nggak singkat, kami tiba di depan rumah kak Milki. Rumahnya besar, bahkan lebih besar dari rumahku. Aku menelpon kak Milki dan memintanya keluar rumah. Aku bilang, jika masuk, aku takut tersesat di rumahnya. Kak Milki hanya tertawa mendengar gurauanku tetapi kakak kelasku itu mau keluar menemui kami. Dia meminta Sota memasukkan sepeda motornya sebelum mengantarku ke rumah kak Pascal.
Rumahnya cukup jauh, tapi bisa ditempuh dengan jalan kaki. Apalagi harus masuk g**g sempit. Sepeda motor memang bisa lewat tapi kak Milki bilang dia malas ngeluarin sepeda motornya lagi. Jadi, kami jalan kaki saja.
"Masih jauh, Kak?" tanyaku saat kami sudah memasuki g**g sempit tapi belum juga nyampe rumah kak Pascal.
"Nggak kok,, sabar, dong," sahutnya.
"Bukannya rumah kak Pascal pinggir jalan? Kok harus masuk g**g sih?" gerutuku.
"Itu rumah ayahnya, sekarang Pascal di rumah ibunya," jelas kak Milki.
"Heh?"
"Ayah dan ibunya Pascal bercerai, mereka nggak serumah. Tapi Pascal tinggal dengan mereka berdua, terpisah! Sebulan sekali selama dua hari, dia akan tinggal di rumah ibunya," jelas kak Milki.
"Heh?"
"Hak asuh jatuh ke tangan ayahnya. Ayahnya menikah lagi!" lanjut kak Milki.
Aku hanya diam, nggak menyangka kalau kak Pascal yang terkenal pintar, tampan dan tajir, ternyata nggak sesuai dengan apa yang orang-orang bilang tentangnya. Aku jadi ngerasa kalau aku nggak tahu apapun tentang pacarku itu.
"Nah, itu rumah Pas-."
Kak Milki terdiam. Aku juga. Bahkan kami bertiga kompak menghentikan langkah kami.
Di sana—aku melihat pacarku itu tengah duduk berdua sambil merangkul seorang cewek dengan rambut pendek sebahu. Aku nggak bisa melihat wajah dari cewek itu, tapi melihat betapa kak Pascal mencemaskan nya, raut wajah itu, sama sekali belum pernah aku lihat.
"Ayo pulang, Sot," ajakku lalu berbalik badan dan berjalan pergi.
"Heh?"
Aku terus berjalan meski Sota dan kak Milki memanggilku. Aku nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku berlari. Hatiku sakit.
Bohong. Dia bilang akan menyembuhkanku, tapi kenapa aku semakin sakit? Ini bahkan lebih sakit dari saat melihat Pluto selingkuh.
Usotsuki[1].
[1]Pembohong ( bahasa Jepang )