BAB 6

2043 Words
"Seperti buah yang memiliki biji di dalamnya, manusia juga memiliki suatu rahasia yang ingin disembunyikan dan nggak ingin diketahui orang lain." - Pascal Ramadhan - Aku nyaris terlelap kalau saja pintu kamarku nggak dibuka paksa dengan cara ditendang. Aku yang setengah sadar segera meloncat dari tempat tidur dan memasang kuda-kuda Pencak Silat yang sempat aku pelajari di SMP. "Wuih, gerak reflekmu keren amat Val," puji mas Atom yang masuk ke kamarku dengan kedua tangan memegang handphone. "Aih, Mas Atom! Ngangetin tauk," protesku lalu kembali bersikap normal. "Iyalah, emang kamu kira apa? Zombie? Hantu? Maling?" tanya mas Atom dengan wajah santai. "Angin," sahutku lalu duduk di kasurku, kepalaku pusing karena bangun mendadak. "Elah sensi amat," "Apa? Ngapain Mas Atom ke sini?" tanyaku. Mas Atom hanya nyengir memamerkan barisan giginya yang untungnya putih. Kalau kuning, kadar kegantengan mas-ku pasti menurun hingga bernilai minus. "Val, kamu adikku kan ya?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku. "Iyalah, kenapa? Mau bilang kalau aku hanya bayi yang ditemukan Mama ditempat s****h?" tanyaku dengan jengkel. Mas Atom nyengir lagi. "Dendam amat, Val," katanya. "Salah siapa emangnya sampe aku dendam kesumat?" sahutku sewot. "Hehe. Mian ( maaf )," kata Mas Atom yang kembali menggunakan bahasa Korea. Mas Atom itu, walau juara olimpiade Fisika, jomblo dan sempat aku sangka homo, gitu-gitu adalah fansboy dari aktor dan member girl grup Korea. Kalau nggak salah ingat berdasarkan nama di poster-poster yang tertempel di dinding kamar mas Atom, biasnya mas Atom adalah Sojin Girls day dan Lee Sang Yoon. Saat aku tanya kenapa bisa ngefans, mas Atom bilang Lee Sang Yoon itu adalah sarjana ilmu Fisika sementara Sojin adalah Sarjana teknik mesin makanya dia jadi suka. Mas-ku itu berniat masuk ke salah satu dari dua jurusan itu pas kuliah. Jadi wajar saja jika dia itu ngefans sama kedua orang itu. MV, comeback stage sampaidance practice dari girls day, Mas Atom download semua. Drama atau film yang ada biasnya itu juga. Padahal, saat aku search karena penasaran, kedua orang itu jarang jadi pemeran utama. "Udah dong lupain masa lalu, Val! Waktu itu aku cuma bercanda," katanya sambil memasang senyuman manis untuk membujukku agar nggak ngambek lagi. Aku hanya diam, mengamati Mas Atom yang kadang baik dan menyebalkan itu. Dulu, pas kelas 8, aku pernah dikerjain Mas Atom. Aku yang merasa Mama dan Papa lebih sayang sama Mas Atom akhirnya meledak. Muncul pemikiran dimana aku merasa bukan anak kandung mereka. Parahnya, mas-ku itu malah mengatakan kalau aku hanya anak pungut. Dia bilang aku adalah bayi yang dipungut mama di tong s****h. Aku yang percaya begitu saja dengan cerita itu sangat terpukul. Aku nangis bahkan sampai kabur dari rumah. Untungnya kaburnya cuma sampai depan komplek. Aku balik lagi ke rumah karena nggak punya uang. Pulangnya, aku dimarahin Mama dan Papa karena udah mikir kayak gitu. Sejak itu, mama dan papa berusaha bersikap adil. Walau tetep aja, Mas Atom yang kebanyakan dimanja dan dibanggain mereka. Yah, Mas Atom memang pinter. Jadi, nggak ada gunanya membenci CIE ( Cause I Envy ). "Oi, Val. Malah bengong. Denger nggak aku ngomong?" kata Mas Atom sambil ngibasin tangannya depan mukaku. "Ih apa sih, Mas. Denger kok aku," kataku sambil mencoba menyingkirkan tangan mas Atom dari wajahku. "Oalaah gitu, nyahut dong. Aku kira kamu kesambet, Val," katanya tampak cemas. Aku memanyunkan bibirku, kesel. Mas Atom memang menyebalkan. Salah satunya, karena dia begitu perhatian sehingga aku jadi nggak bisa marah atau membencinya. "Ada apa kok Mas kesini?" tanyaku kembali mengulang pertanyaanku tadi. "Oh, iya sampe lupa. kamu punya kuota, Val?" tanyanya. "Hah?" "Kuota Mas habis nih, padahal lagi seru nih streaming youtube!" katanya sambil menunjukkan layar handphonenya yang lagi nonton drama Korea. "Ogah," sahutku. Mas Atom mencebikkan bibirnya. "Ish, lagi seru-serunya nih Val! Mas pasti nggak bisa tidur kalau penasaran sama sesuatu! Ayolah," katanya rada mengiba. "Kuota Valenci tinggal dikit, Mas," kataku beralasan. "Ish, bokis ( bo'ong )," cibir Mas Atom nggak percaya. "Sapa yang bokis sih, Mas? Beneran, kuota Valensi tinggal 200 MB doang," kataku mencoba meyakinkan. Mas Atom menyipitkan matanya, masih rada nggak percaya. "Ya ampun Mas Atom!" kataku nahan kesel. Aku cek kuota di handphoneku lalu menunjukkannya ke Mas Atom. "See?" kataku sambil menunjuk layar handphoneku. Mas Atom hanya menaik-turunkan kepalanya setelah melihat sendiri sisa kuotaku. "Miskin amat sih Val," ejeknya. "Dih, sendirinya nggak punya kuota," balasku. "Biarin! Yaudah aku hotspot Mama aja," katanya lalu keluar dari kamarku dengan setengah berlari. "Ma, Mama, Atom mau numpang hotspot dong, Ma!" teriak Mas Atom yang suaranya keras banget sampe kedengeran ke kamarku. "Apa sih Atom, kok teriak-teriak? Hotspot buat apa?" tanya Mama. Aku pun mendekat ke arah pintu kamar lalu melongok ke ruang keluarga dimana mas Atom sedang ngerayu mama buat dizinkan numpang hotspot. "Buat apa?" tanya Mama yang maybe lagi lihat i********:. "Tugas, Ma," jawab mas Atom. "Jangan download lho," ancam Mama. "Ndak kok, Ma," sahut mas Atom lalu nyengir saat Mama menghidupkan hotspot wifinya. "Yeay, thanks Mama," kata Mas Atom lalu kembali ke kamarnya dengan bersiul bahagia. "Tugas? Tugas nonton Drakor?" dengusku lalu menutup pintu kamar. Aku pun membaringkan tubuhku di kasur, niatnya mau ngelanjutin tidur tetapi jadi segar lagi gara-gara Mas Atom. Drtt. . Drt.. Sebuah pesan mendarat di handphone milikku. Awalnya aku pikir grup kelas, ternyata bukan. Nomer baru dan melihat dari DP langit serta nama yang tertera di samping nomer yang belum aku save itu, sepertinya aku tahu itu siapa. ~Cowok Tampan dan menawan. Sore menjelang malam. Cuma mau nanya, ini pacarnya Pascal bukan ya? :)   Aku tersenyum geli membaca pesan dari kak Milki lalu mulai mengetikkan balasan.   Valenci Anggraini Wijaya Dih, apaan sih kak Milki. Ada apa?   ~Cowok tampan dan menawan Nggak apa-apa, ngecek doang masih napas apa ndak. Hehe.   Valenci Anggraini Wijaya Masih napas kok, Kak.   ~Cowok tampan dan menawan Thanks God. Okey than, bye. Sorry N2G ( Need to Go ).   Aku menautkan alisku ketika status kak Milki offline. Maksudnya apaan? Nggak jelas, deh! Aku pun menyimpan nomer kak Milki di kontakku dengan nama "Milkita IPA-1". Bukan bermaksud kurang sopan, cuma lucu aja.Aku menatap handphoneku, melihat history pesanku dengan kak Pascal yang hanya terdiri dari satu pesan darinya. Kak Pascal udah di rumah belum ya? Kok nggak ngabarin? Iseng, cuma pengen ngecek, aku pun mengirimkan pesan. Valenci Anggraini Wijaya Kak, udah nyampe rumah belum? Aku menahan napas sebentar ketika pesan yang aku kirimkan berubah dari D menjadi R, itu artinya pesanku sudah dibaca. Tak disangka, Kak Pascal malah memvideo call diriku. Dengan gugup aku segera mengangkat VC ( Video Call ) dari kak Pascal setelah memastikan rambut nggak berantakan dan mata nggak belekan.   "Hai, Kak," sapaku merasa canggung saat aku mulai melihat wajah kak Pascal di layar handphoneku. Pacarku yang memang tampan tanpa formalin itu tersenyum. Dia mengenakan baju kaos putih dengan celana kain berwarna navy. Rambutnya agak acak-acakan dan basah, sepertinya baru keramas. Melihat kak Pascal yang biasanya memakai baju seragam dengan baju rumahan memberikan kesan yang berbeda. "Ami, hei, denger nggak?" tanya kak Pascal. Aku yang setengah melamun segera berupaya bangun dari pesona kak Pascal. "Oh, maaf. Iya, apa kak?" tanyaku. "Lho? Kok apa kak? Ngelamunin apa hayo?" godanya. Aku hanya tersenyum malu. "Maaf, Kak.Habis penampilan kakak beda sih," jawabku jujur. "Oh, ini pertama kalinya lihat aku pake baju biasa ya?" tebaknya. Aku mengangguk.Kak Pascal kemudian menatapku tajam membuatku merasa aneh. "Kok natap gitu, Kak? Kenapa?" tanyaku. "Ami juga," katanya. "Kenapa?" "Baru pertama kali aku lihat Ami pake baju biasa," jawabnya sambil senyum. Aku pun melihat diriku yang memakai kaos besar bekas mas Atom dan celana kulot selutut. "Ah, hehe," kataku cengengesan, nggak tahu harus merespon bagaimana. "Ada apa nge-wa?" tanyanya. "Ndak, kok, Kak. Cuma pengen tahu kak Pascal udah nyampe rumah atau belum," jawabku. "Oh, udah, Kok. Baru selesai mandi juga," katanya sambil menunjuk ke rambutnya yang basah. "Oh gitu, pantesan tambah ganteng," pujiku. Kak Pascal tergelak pelan mendengar pujian dariku. "Bisa aja," sahutnya. "Ami juga," imbuhnya. "Kenapa? Tambah cantik ya?" tanyaku dengan percaya diri. "Nggak, tambah kelihatan kalau jelek!" jawab kak Pascal yang membuatku manyun. "Ih, kak Pascal bikes ( bikin kesel ),” kataku pura-pura ngambek. "Eh?Aku Bikes? Bukanlah, aku manusia bukan sepeda," sanggahnya dengan wajah polos. "Ih, bukan Kak, Bikes maksudnya bikin kesel," jelasku. "Haha." Tiba-tiba kak Pascal ketawa. "Iya, tahu, kok. Pengen ngegoda Ami aja," katanya. "Puas, Kak?" cibirku. "Banget," sahutnya lalu ketawa lagi. "Ngomong-ngomong, nge-wa cuma nanyain itu?" tanya kak Pascal setelah tawanya reda. "Iya, aku ganggu ya Kak?" tanyaku merasa nggak enak. "Nggak, bukan gitu. Si Milki bentar lagi mau kesini, belajar bareng," jelasnya. "Oh gitu, belajar apa Kak?" tanyaku. "Biologi, besok ulangan," jawabnya. "Lho? Kok ke kakak? Kakak juga bisa Biologi?" tanyaku heran. "Lumayan, cuma lebih pro si Harp. Bentar lagi Harp juga kesini, belajarnya di rumahku karena dua orang itu nggak mau ngeluarin uang buat beli cemilan," jelas kak Pascal. "Ah, haha, dasar kak Milki duafa," ledekku. "Haha, nggaklah, dia bahkan bisa dibilang paling kaya," sanggah kak Pascal. "Trus kok nggak di rumah kak Milki aja?" tanyaku. "Rumahnya kegedean, yang ninggalin dikit. Jadi daripada horor belajar di rumah sebesar itu, mending kan di rumahku," "Emang sebesar itu rumahnya?" tanyaku penasaran. "Yups, mau kesana bareng kapan-kapan?" tawar kak Pascal. "Boleh?" tanyaku ragu. "Boleh, eh tapi rumah Ami sama sih, kalian kan sama-sama dari kalangan atas!" kata Kak Pascal. Aku mendengus kasar mendengar pernyataan dari kak Pascal itu. "Nggak, kok. Aku juga dari kalangan biasa aja Kak! Buktinya, aku sepeda motor aja nggak punya," sanggahku. "Iya, tapi mobil ada dong ya?" sindir kak Pascal. "Ish, punya Mama dan Papa Kak," kataku meluruskan. "Iya, deh," kata kak Pascal. "Aku nggak suka lho kak digituin, kita ini sama aja, selevel," kataku merasa kurang nyaman dikatakan kalangan atas. Kak Pascal tersenyum. "Iya. Maaf ya," katanya merasa nggak enak. Aku mengangguk lalu tersenyum manis. Kak Pascal pun membalas senyumanku dengan senyuman manis juga. Untuk beberapa saat ada keheningan di antara kami yang entah kenapa tiba-tiba membuatku teringat tentang cewek yang tadi ketemu di kantin. "Kak, aku boleh tanya sesuatu nggak?" tanyaku. "Boleh, kalau bisa, pasti aku jawab," jawab kak Pascal mengizinkan. "Tadi pas aku dan Sota ke kantin karena diajak kak Milki, datang cewek yang tiba-tiba duduk dan bilang kalau dia cinta pertama kakak," kataku mulai cerita. Kak Pascal menaikkan satu alisnya. "Cinta pertamaku? Siapa?" tanyanya dengan santai, nggak ada perasaan terkejut atau panik di ekspresi wajahnya. Masih sama, dingin tapi manis. Nada suaranya juga nggak berubah seolah apa yang aku tanyakan bukan apa-apa. "Kak Milki manggil dia Septi," jawabku. "Kakak kenal?" tanyaku. "Oh, temen kelas sebelah. Dia IPA-3," jawab kak Pascal. "Cinta pertama kakak?" tanyaku. Kak Pascal hanya menggelengkan kepalanya. "Ya atau nggak Kak?" tanyaku. Kak Pascal tersenyum membuatku sebal. "Dia bilang kala Kakak naksir dia. Cuma nunggu dia membalas perasaan kakak aja buat kakak mutusin aku. Apa bener kak?" tanyaku dengan nada yang agak meninggi. "Ami," panggil kak Pascal lembut. "Ya?" sahutku. "Nanti, aku jelasin. Milki udah nyampe depan rumahku tuh. Kita bicara nanti ya," pintanya. "Nggak, apa susahnya sih jawab sekarang Kak!" kataku tambah BT. "Belum waktunya," jawabnya. "Ih kok main rahasia-rahasiaan gini sih? Katanya harus saling terbuka?" sahutku merasa jengkel luar biasa. Entah karena apa, aku juga nggak mengerti. "Bukan gitu, ribet jelasinnya," elak kak Pascal. "Ribet apanya? Alasan ah," sahutku sewot, sudah benar-benar nggak bisa nahan emosiku lagi. "Bukan beralasan cuma," "Ih, tauk ah! Malas! Bye," potongku lalu mengakhiri VC dari kak Pascal secara sepihak. Aku membanting pelan handphoneku ke kasur, nggak keras bantingnya biar nggak rusak. Pasti bakal dimarahin habis-habisan sama mamakalau ngerusakin handphone. Itu pun kalau beruntung. Kalau lagi s**l, pasti uang saku dipotong dan dilarang pegang handphone lagi. Drtt.. Drtt.. Sebuah pesan mendarat di handphoneku yang masih utuh walau dibanting pelan ke kasur pula.   My Orbital. Maaf ya, bukan bermaksud menyimpan rahasia. Cuma, seperti buah yang memiliki biji di dalamnya, setiap orang pasti memiliki suatu rahasia yang ingin disembunyikan dan nggak ingin diketahui orang lain. Kalau waktunya tepat, pasti aku jelasin. Sekarang, lagi mau belajar. Ami, met ngambek. :) Jangan lupa makan. Ngambek juga butuh tenaga ekstra lho. Aku tergelak pelan setelah membaca pesan dari kak Pascal itu. Entah kenapa kesalku pergi. Rasanya, marah padanya bukanlah sikap yang tepat. Jika aku pikir lagi, kami bahkan belum saling mengenal dengan baik satu sama lain. Oh ya, kenapa aku marah ya? Kalaupun kak Pascal naksir dia, bukankah aku nggak ada hak melarang? Ya ampun, kenapa sih aku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD