BAB 13

2094 Words
" Jangan suka nangis. Ginjalmu butuh air minum bukan air mata." - Galuh Laksana Siswanto - Pagi ini aku sudah masuk sekolah lagi. Sesuai janjinya kemarin, Sota datang ngejemput. Sahabat baikku itu ingin meminta maaf karena nggak bisa ngejenguk aku. Sebagai permintaan maaf, hari ini dia akan mengantar dan menjemputku sekolah. "Jadi, kak Pascal tahu doang soal alergimu?" tanya Sota saat aku ceritakan tentang apa yang terjadi sehingga aku dilarikan ke rumah sakit. Aku mengangguk mengiyakan. "Yah, gimana dong? Kalian putus, dong?" tanya Sota lagi. Aku menggeleng tegas. "Nggak, kok," "Kak Pascal nggak bilang apapun?" tanya Sota kepo. Aku menggeleng lagi. "Nggak, dia cuma minta maaf," jawabku. "Wah, baik amat itu kak Pascal," ucap Sota rada kagum. "Dia udah mirip kotak pandora aja buat kamu, Val," nilai Sota. "Heh? Kok gitu?" tanyaku. "Ya, soalnya kalau disentuh bahaya. Dibiarin aja sayang," jawab Sota lalu terkikik pelan. "Aish, nyebelin amat sih Sot," kataku. Sota hanya nyengir. "Tapi aku bersyukur kamu nggak apa-apa. Sorry ya nggak bisa ngejenguk," kata Sota meminta maaf sekali lagi. "Apa sih. Nggak apa-apa, Sot," Sota tersenyum lega. "Aku sibuk banget kemarin, ngedukung yayang Anggor tanding basket! Trus ya tiap mau ke kamu, ada gitu halangannya," curhat Sota. "Ya, nyantai aja," sahutku. "Oh iya, soal kak Galaksi, apa kabar?" tanya Sota. Aku menautkan alis. "Maksudnya?" tanyaku. "Ah, kemarin ada yang nelpon aku. Aku kira siapa ya kan? Ternyata kak Galaksi, dia nanyain keadaanmu sama aku!" jelas Sota. "Heh? Kok nanya kamu? Dia kan bisa nanya mas Atom?" Sota mengedikkan bahunya. "Mungkin dia nggak nanya mas Atom soalnya mas-mu itu ngejaga perasaan kak Pascal,” kata Sota berpraduga. "Ngejaga? Aku sama kak Galaksi nggak ada apa-apa, kok," sahutku merasa heran. "Nah itu kan menurutmu. Kalau menurut mas Atommu nggak gitu, gimana hayo?" sergah Sota. Aku diam, berpikir sejenak. "Mas Atom  ngerasa khawatir kali, Val! Dia kan lebih tahu soal kak Galaksi, jadi ya jaga-jaga aja maybe," kata Sota berpraduga lagi. "Tauk ah. Pusing," kataku malas. "Ngomong-ngomong, kamu jadi belajar sama Mas-ku Fisika?" tanyaku. Sota menggeleng. "Nggak jadi, yayang Anggor yang mau ngajarin," jawab Sota sambil nyengir. "Anggor tahu Fisika gitu?" tanyaku ragu. Sota mendengus. "Aih, tahu, dong. Dia gitu-gitu bisa diandalkan," kata Sota yakin. "Oh gitu, syukur deh," sahutku merasa lega. Sota mengangguk pelan. "Oh ya, Mas Atom ngasih aku informasi menyebalkan kemarin," curhatku. "Informasi apaan?" tanya Sota penasaran. "Kamu tahu, Sot? Si Pluto ke rumah sakit. Tapi pas ketemu mas Atom, dia nggak berani masuk," jawabku. "Hah? Nekat amat itu bocah." pekik Sota rada kaget. "Ya kan? Berani amat dia masih mau jenguk aku. Urat malunya udah putus kali ya," cibirku. Sota menaik-turunkan kepalanya. "Bener tuh, atau emang dia nggak punya malu lagi," komentar Sota. "Tapi nih, kok dia berani gitu? Dia udah putus dari Alka?" tanya Sota yang aku balas dengan mengedikkan bahu. "Entah," sahutku. Alka Mulyani adalah nama pelancong eh pepacor ( perebut pacar orang ), mantan sahabat yang telah merebut si Pluto dariku. Keduanya telah melakukan KMB ( kesepakatan Menikung Bersama ) sehingga terjadilah perselingkuhan yang baru ketahuan setelah dua bulan jadian. k*****t sekali memang. Namun mengingat lagi yang Nagara bilang, pengkhianat cocoknya dengan pengkhianat pula. “Tapi mas Atom bilang, sepertinya dia mau ketemu aku,” gumamku. "Nggak usah dimaafin. Jangan mau juga kalau diajak ketemuan! Kamu harus strong, Val," nasehat Sota. "Tapi kata mas Atom harus dimaafin, Sot. Kita nggak boleh memelihara kebencian dalam hati, bikin rugi diri sendiri," sahutku kurang setuju. Sota menaikkan satu alisnya. "Mas Atom bilang gitu?" tanya Sota agak heran mas Atom berkata seperti itu. "Bijak amat Mas-mu, Val? Dia habis nonton drama Korea penuh air mata?" tanya Sota berpraduga. Aku mengangkat kedua bahu. "Nggak, deh. Setahuku dia ngoceh lagi nonton Drama ala salah satu TV Swasta di Indonesia," sanggahku. "Heh? Kenapa? Apaan?" "Drama percintaan dan perbutan warisan yang alay dan lebay, dimana anak SMA songongnya setengah mampus," jelasku mengulang perkataan mas Atom waktu itu. "Hah? Haha, kayaknya aku tahu itu drama," kata Sota sembari terkekeh. Aku hanya mengedik, enggan membahas sesuatu yang begitu. Aku lebih suka membaca komik dibanding nonton. "Oh iya, kelanjutannya gimana? Si Pluto nggak ke rumahmu kan?" tanya Sota kembali ke topik utama. Aku mengangguk. "Iya, dia nggak ke rumahku, kok," jawabku. "Kalau dia ke rumahmu bilang aja sama aku, biar aku seret dia pulang. Kalau perlu, aku panggilin polisi," kata Sota dengan antusias. "Aih, yang sakit hati aku atau kamu sih Sot? Kamu nafsu amat balas dendam sama dia," sindirku. Sota hanya nyengir. "Aku nggak suka sama cowok yang nyakitin hati perempuan, Val! Belum jadi apapun aja udah gitu, apalagi kalau dia jadi orang besar? Bisa kawin-cerai sepuluh kali tuh cowok kayak gitu," oceh Sota yang membuatku terkikik. "Mikirmu s***s amat, Sot," dengusku. Sota hanya menggaruk-garuk tengkuknya yang nggak gatal. "Valenci," Sapaan itu membuatku dan Sota menoleh ke sumber suara. Di dekat pintu kelasku, kak Galaksi sudah berdiri sambil melambaikan satu tangannya. "Sini bentar," panggilnya. Aku menoleh ke arah Sota yang sedang tersenyum jail. "Gebetan datang tuh," godanya. "Ish, apa sih," kataku sembari mengibaskan tangan. Sota hanya cekikikan. “Sana!” "Bentar ya," pamitku. Sota mengangguk mengiyakan. Aku pun beranjak dari bangkuku untuk menghampiri kak Galaksi yang sudah menungguku. "Ada apa, Kak?" tanyaku saat sudah berada di depan kak Galaksi. Kak Galaksi nggak menjawab, hanya meletakkan satu tangannya di keningku. Aku yang merasa kaget dengan apa yang dilakukannya hendak mundur kalau saja kak Galaksi nggak segera menarik tangannya dari keningku. "Udah nggak panas, nggak merah juga, Valenci sudah sembuh!" katanya sambil mengulas senyuman manis. Aku yang diperlakukan begitu hanya bisa tersipu. Pipiku rada panas. Entah kenapa aku mudah sekali merona hanya karena hal kecil. Ingin aku merutuki diriku karena sifatku yang seperti ini. Namun, aku nggak mungkin melakukannya di depan kak Galaksi. "I-iya, kak Valenci sudah sembuh," kataku rada gugup. Kak Galaksi mengangguk. Kakak kelasku itu kemudian merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebungkus cokelat. "Ini!" katanya sambil meletakkan cokelat itu di tanganku. "Heh? Buat apa Kak?" tanyaku. "Hadiah," jawab kak Galaksi singkat. "Tapi aku nggak lagi ulang tahun, Kak," sanggahku. Kak Galaksi tergelak pelan. "Untuk Valenci yang cantik, tiap hari pun aku nggak keberatan ngasih cokelat," katanya sambil memaksaku menggenggam cokelat darinya. "Udah ya, aku ke kelas dulu," pamitnya tiba-tiba. "Tapi kak, Valenci nggak bisa ngasih apa-apa," kataku merasa nggak enak. "Hm," gumam kak Galaksi seolah sedang berpikir sebentar. "Kalau gitu, traktir aku siomay besok," katanya. "Kenapa nggak nanti aja Kak?" tawarku. "Besok aja ya. Nanti aku dispen buat bimbingan TIK," katanya. "Kak Galaksi lomba?" tanyaku. Kak Galaksi mengangguk mengiyakan. "Iya, doakan juara ya. Nanti aku kasih cinta yang banyak buat Valenci," jawabnya dengan senyuman khas yang berefek aneh itu. "Eh?" "Kenapa?" tanya kak Galaksi dengan wajah santai. "Kakak bilang apa?" tanyaku. "Bilang apa emang?" jawab kak Galaksi balik nanya. "Itu tadi bilang kakak mau ngasih cinta yang banyak kalau juara," kataku. "Ciyee, ngarep ya?" ledeknya. "Hah?” "Udah ya, byeValenci," katanya lalu berjalan pergi meninggalkan aku yang hanya terbengong-bengong dengan apa yang dilakukan kakak kelasku itu barusan. Kak Galaksi nggak serius ngomong gitu'kan? Aku udah punya pacar lho. *** Menyebalkan. Aku mengumpat pelan dalam hati saat melihat si Pluto sudah berdiri di depan gerbang sekolahku. Dia sengaja datang untuk menemuiku. Apes karena Sota masih ada di parkiran, mengantre untuk bisa mengeluarkan sepeda motornya. Menyesal rasanya aku lebih memilih menunggu di gerbang sekolah daripada menemani Sota ke parkiran. "Val," sapanya. Aku memalingkan wajah, rasanya jika bibirku terbuka sedikit saja, aku akan mulai mengumpat dan mencaci maki dirinya. Aku nggak mau membuang-buang energiku untuk manusia sepertinya. Walau mas Atom bilang kalau aku nggak boleh menyimpan benci atau dendam, menerapkannya dalam situasi ini sangat sulit dilakukan.   Aku nggak bisa berpura-pura lupa tentang perselingkuhannya dengan Alka. Melupakan p**********n perasaan yang dia lakukan padaku secara sadar nggak semudah membalikkan telapak tangan. Aku butuh waktu, bukan sekadar untuk memaafkan kesalahannya tetapi juga mengikhlaskan segala tindakan buruk yang dia lakukan. "Val," panggilnya lagi. Aku bergeming, mengepalkan kedua telapak tanganku hanyalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini. "Aku dengar kamu sakit," ucapnya. "Kamu sudah nggak apa-apa?" tanyanya. Aku hanya diam saja. Walau tenggorokanku terasa sakit, aku tetap bertahan. Aku pasti bisa melalui ini. Anggap saja ini sama dengan aku yang lagi berhadapan dengan hantu. Ya, anggap saja begitu. "Jangan sakit, Val! Kan udah punya pacar baru, masak masih menderita begitu?" Hah? "Aku tahu bahwa melupakanku pasti susah untukmu," What? Aku udah lupa, kecuali semua perbuatan busukmu padaku. "Aku juga nggak bahagia dengan Alka, Val!" Rasakan! "Jika kamu juga nggak bahagia dengan pacarmu yang sekarang, mau nggak kamu kembali sama aku lagi?" "b******k!" Pluto membulatkan matanya. "Maksudmu?" Aku menatap tajam ke arah Pluto yang berdiri di depanku dengan wajah tanpa dosa. Aku nggak menyangka ada manusia nggak tahu diri semacam ini. Sudah menyakiti hati orang lain, pas giliran disakiti seenak jidat minta kembali. "Aku nggak ada perasaan sama kamu lagi," kataku dengan bibir yang bergetar. Aku memang sudah nggak mencintainya lagi, bahkan sudah lupa tentang bagaimana bisa aku jatuh cinta padanya dulu. Hanya saja, aku belum bisa mengikhlaskan segala perbuatan buruknya padaku. Aku ingin dia juga merasakannya, dibuang saat sayang-sayangnya. "Kamu mencintaiku, Val. Aku cinta pertamamu. Bagaimana bisa kamu melupakanku dalam beberapa bulan?" tanyanya nggak percaya. "Hah? Emangnya kamu pikir aku selemah itu? Kamu aja dalam sehari bisa membuangku, kenapa aku nggak bisa?" dengusku sebal. Si Pluto tercekat. "Val, aku memang salah. Aku khilaf," katanya. Aku tergelak tanpa sadar. "Khilaf? Nggak ada perselingkuhan yang dilakukan tanpa kesadaran. Orang mabuk saja, dia hanya nggak sadar sampai pengaruh alkoholnya habis. Nah ini, kamu bilang khilaf setelah beberapa bulan? Kamu pikir aku sebego apa sampai mau percaya alasanmu?" delikku. Si Pluto menghela napas panjang. "Aku tahu, aku salah!" "Tahu? Kalau kamu tahu, bagaimana bisa kamu berani menemuiku dan memintaku kembali? Kamu nggak malu?" omelku. Si Pluto menggeleng. "Demi kamu, Val! Aku akan berjuang agar kamu maafin aku dan mau kembali padaku!" tegasnya. "Jangan ngayal! Aku nggak akan pernah mau kembali padamu!" sergahku. "Tapi, siapa yang tahu? Bisa saja kamu berubah pikiran kan?" katanya bersikukuh. "Nggak akan! Lihat mukamu aja aku udah mual!" cercahku. "Tapi, Val, aku pernah menjadi cowok yang sangat kamu cintai," katanya ngotot. "Ya," kataku mengakui. "Tapi itu dulu, sebelum kamu mencampakkan aku demi Alka!" Si Pluto menunduk dalam. "Maafkan aku," "Telat! Pergi kamu!" usirku dengan suara serak. Jengah, hatiku jengah. Aku merasa akan meledak jika dia tetap berada di dalam jangkauanku lebih lama lagi. Aku mohon pergilah! "Val, aku masih mencintaimu," katanya masih berusaha membujukku. Si Pluto maju, hendak meraih tanganku tetapi aku segera berjalan mundur. "Pergi!" teriakku keras sampai beberapa murid yang masih berada di lingkungan sekolah melihat ke arah kami berdua. "Pergi Juniar! Pergi!" usirku dengan napas yang mulai menderu karena emosi. Bisa aku rasakan mataku juga mulai memanas. Aku bukan bersedih, hanya merasa akan gila dengan situasi yang menyebalkan ini. "Val, please kasih aku kesempatan kedua," mohon Juniar—nama asli Pluto, yang masih memaksa. Kini aku nggak hanya sekadar mengingat kejahatannya, tetapi juga namanya.   Aku memegangi kepalaku, pusing. Aku nggak tahu bahwa mengingat masa lalu akan membutuhkan banyak tenaga seperti ini. Hatiku kembali terluka. Perih. Tolong aku! Aku duduk berjongkok, terkulai lemas dengan napas terengah-engah. Saraf-saraf kakiku terasa lepas. Aku nggak lagi memiliki tenaga yang tersisa. Dadaku terasa sesak tatkala air mataku menetes tanpa izin. Aku muak dengan keadaan ini. Aku benci menjadi lemah! "Pergi! Pergi! Pergi!" usirku lagi dengan kepala tertunduk. Aku bahkan bisa merasakan betapa sakitnya jantungku saat ini. Bertahanlah Valenci! "Val, Val, ak-." "Berhenti, Bung! Dia sudah memintamu mundur!" Suara itu membuatku sedikit tercenung. Walau begitu, aku sudah nggak punya tenaga untuk sekadar mengangkat kepalaku. Malu rasanya untuk menegakkan punggung di situasi kacau ini. "Kamu siapa?" Aku dengar si Pluto bertanya. "Aku? Pangerannya Valenci," jawabnya sambil tertawa cengengesan. "Jangan bercanda kamu-," "Pergi!" Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi perintah penuh penekanan itu mampu membuat si Pluto pergi. Aku mendengar derap langkahnya yang menjauh. Syukurlah. "Hei," Sapaan dan tepukan lembut itu membuatku berani mengangkat kepalaku. Aku mendapati senyuman dari kak Galaksi setelahnya. Walau cukup lama untuk tahu itu dia. Air mata telah mengaburkan penglihatanku untuk beberapa saat sebelum air mata itu berjatuhan seperti hujan. "Jangan suka nangis, Valenci. Ginjalmu butuh air minum, bukan air mata," katanya sembari mengusap lembut air mataku. "Kakak," panggilku. Kak Galaksi tersenyum manis. "Aku antar ya," katanya menawarkan. Tangisku pecah, tanpa sadar memeluknya. "Kakak, kakak, kakak!" Aku terus memanggilnya, bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi sekadar menghilangkan sakit yang sedang aku rasakan. Kak Galaksi nggak mengatakan apapun. Dia hanya menepuk-nepuk kecil punggungku seolah memintaku untuk tegar. Anehnya, hatiku mulai terasa hangat bahkan tanpa dihibur sekalipun. Terima kasih sudah datang menyelamatkan aku, Kak Galaksi. Aku sangat berhutang budi atas kebaikanmu tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD