Sejak pagi, Khansa sudah menyiapkan segalanya. Beberapa hari yang lalu ia diberitahu oleh Faisal tentang pertemuan dengan narasumbernya.
Akhirnya sedikit masalahnya teratasi.
Sebuah tempat pertemuannya dengan wanita itu sudah ditentukan. Khansa keluar dari mobilnya. Hari ini dia datang sendiri ke tempat ini, karena Faisal sedang mendapat tugas di kantor Rayhan menggantikan supir kantor yang sedang sakit.
Ia mengenakan dres hitam selutut berlengan panjang, tapi bagian lengan dan pundaknya tampak transparan. Sehingga tetap memperlihatkan kulitnya yang putih bersih.
Rambutnya ia biarkan tergerai indah.
Khansa berulang kali memastikan ini hotel yang akan dijadikan tempat pertemuan dengan wanita bernama Meisya itu.
Ia diminta ke kamar 4105.
Entah mengapa jantung Khansa berdebar. Baru kali ini ia memakai nara sumber dari novelnya. Novel yang kemarin dia gak susah-susah mencari nara sumber. Suami dan kisah cinta mereka yang ia jadikan kisah.
Ini novel yang menurutnya sangat menantang. Ia bahkan sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang akan ia ajukan nanti.
Sepertinya hari ini hotel ini tidak begitu ramai. Khansa berjalan ke arah lobby. Ia bertanya pada receptionist dan diberi petunjuk arah ke kamar yang ia ingin tuju . Semua tampak biasa, ia pun berjalan sambil berpikir tentang wawancaranya nanti, hingga.
"Awas!"
Teriakan seseorang membuatnya tersentak luar biasa. Mungkin karena selanjutnya ia merasakan tubuhnya diterjang secara cepat berguling di lantai.
**
Setelah Meisya pergi, Arsel bertemu salah satu temannya yang mengajaknya joint dalam usaha pembukaan spa dan salon kecantikan.
"Sekali-sekali melirik bidang lain Sel. Jangan klub malam terus. Gak bosan apa?"
Arsel terdiam.
"Kamu bisa joint dengan membuka spa dan salon kecantikan."
Arsel terkekeh.
"Aku belum tahu berminat atau tidak, tapi kalau kamu mau joint membuka klub malam baru, aku pasti setuju."
"Hari gini spa dan salon kecantikan menjanjikan kok. Banyak wanita yang ingin tampil cantik."
"Iya, aku mengerti, tapi enaknya kalau yang urus perempuan juga. Mungkin next time kalau aku punya istri. Istri aku yang buka hal begituan."
"Perasaan kamu bicara istri, tapi pacar aja belum punya kan Sel?"
Keduanya terbahak.
Tak berapa lama mereka selesai berbincang. Dan Arsel sudah beranjak untuk keluar melewati lobi. Saat itu ia melihat ada beberapa pekerja tengah memperbaiki lampu gantung yang ada di tengah hotel. Mata Arsel menatap ke arah lobby. Keningnya melipat saat melihat sesosok wanita yang ia pernah lihat.
Itukan wanita yang malam itu datang ke klub? Mau apa dia kemari?
Arsel seolah tak percaya Tuhan kembali memberinya kesempatan bertemu wanita itu.
Yang pernah datang ke klub malam miliknya yang hampir menjadi korban pelecehan dari tamunya. Wanita yang sangat beruntung karena mendapatkan ciuman pertamanya, yang tanpa bisa Arsel hindari sudah mengganggu hari-harinya belakangan ini.
Kembali melihat ke atas, saat itulah ia melihat lampu itu bergoyang dan ia curiga ketika beberapa saat kemudian lampu itu seperti lepas dari tempatnya.
Khawatir melukai wanita yang ada di bawahnya yang tengah berjalan tanpa memperhatikan suasana sekitar, Arsel langsung berlari menyelamatkan wanita itu dengan menyambar tubuhnya dan membawa berguling ke pinggir.
Suara teriakan sudah membuat Khansa tersentak. Tapi tak lama, karena telinganya mendengar suara yang lebih keras lagi bersamaan dengan tubuhnya yang berguling.
PRANGG!!!
Seharusnya saat tubuh jatuh ke lantai, pasti kepala terbentur bukan? Tapi yang kini Khansa alami tidak ada benturan apapun, tubuhnya justru jatuh ke sebuah benda yang bisa dibilang nyaman dan mengeluarkan aroma citrus.
"Kamu tidak apa-apa."
Bisikan yang hampir menyerupai erangan terdengar dekat di telinganya, membuat Khansa tersentak untuk kedua kalinya. Ia baru sadar ia jatuh di atas tubuh seseorang, tepatnya seorang laki-laki.
Saat ia mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata itu lagi. Sepasang mata yang beberapa minggu lalu melakukan perbuatan yang sungguh memalukan. Dan sesuatu menampar kesadarannya.
Ya Tuhan jangan katakan kini aku ada dipelukannya.
Masih shock dengan keadaan yang menimpa dirinya, hingga membuat Khansa mematung.
"Maaf, tapi bisakah kamu bangun?" Arsel kembali berbisik.
Tubuhnya jelas sakit, karena jatuh ke lantai, tapi saat melihat sosok di hadapannya, juga merasakan halus wajah wanita ini yang sempat bersentuhan dengan kulit wajahnya, Arsel ingin kembali mengulang kejadian kemarin, sayang suasana sekitar tidak mendukung.
Ya Tuhan, jangan salahkan aku karena parfumnya begitu menggoda. Salah, bukan hanya parfumnya saja, tapi semua tubuh wanita ini menggodanya. Andai bisa, ia ingin membalik posisi mereka.
Brengsek kamu Arsel! Sejak kapan kamu berubah m***m begini.
Pasalnya apa yang terjadi pada dirinya dan wanita yang entah siapa namanya membuat banyak perhatian pengunjung.
Khansa yang sadar segera bangkit. Pantas ia tidak merasakan sakit saat jatuh di lantai, tubuhnya berada di atas tubuh lelaki ini.
Ya Tuhan. Khansa jelas malu sekali.
Belum reda rasa malunya, tangannya digenggam erat lelaki tadi.
"Biar mereka menyangka kamu itu pacar aku."
Kembali bisikan terdengar. Dan bagai orang bodoh, Khansa mengangguk.
Posisi mereka tadi sangat tidak layak untuk dilihat. Khansa berharap tidak ada satupun yang mengenali dirinya di sini.
"Kamu gak apa-apa Sel?"
Seorang lelaki datang menghampiri.
Masih dengan menggenggam telapak tangan Khansa, Arsel membenahi pakaiannya.
"Aku gak apa."
"Maaf, tukangku teledor, mereka tak bisa menahan lampu yang terjatuh."
Ini adalah teman Arsel yang tadi bertemu di restoran. Yah, hotel ini adalah miliknya.
"Ini siapa?" tanyanya pada Khansa.
"Oh ini-" Mata Arsel melirik Khansa.
Sial! Dia tidak tahu nama wanita ini.
"Khansa, aku Khansa."
Entah mengapa mulut Khansa menjawab dengan jujur.
Biasa ia paling takut dikenali karena berhubungan dengan profesinya. Tapi tampaknya dua lelaki ini tak mengenali dirinya.
"Oh Khansa, kamu gak apa-apa? Maaf pegawaiku sedang bekerja dan mereka lalai."
Mendengar itu Khansa baru sadar apa yang hampir menimpanya. Ia melirik ke arah tengah. Tampak lampu yang lumayan besar hancur berantakan.
Ia bergidik, andai lampu itu meluncur ke arah tubuhnya, dapat dipastikan kepalanya bisa hancur. Lampu itu begitu besar, bagaimana bisa jatuh begitu.
"Sepertinya Khansa gak apa-apa."
Mendengar kembali suara yang familiar ditelinganya, Khansa menoleh. Sepertinya ia masih shock berat, akibat tragedi ini.
"Oke, atas nama karyawan aku, aku mohon maaf. Sel, kamu bisa ajak Khansa ke restoranku. Wajahnya teramat pucat."
"Cantik juga Sel. Kenapa gak diajak sejak tadi, takut kurebut heh!"
Arsel hanya tersenyum tipis mendengar bisikan temannya. Ia takut salah bicara.
Khansa memang merasakan tubuhnya dingin, dan dia bagai robot ketika tangannya ditarik begitu saja. Matanya bahkan masih menatap pecahan lampu hotel itu. Dua kali lelaki ini menyelamatkan dirinya.
"Minumlah."
Mata Khansa mengerjap. Kini mereka berdua sudah duduk berhadapan.
"Wajahmu masih terlihat pucat."
Dengan mengangguk, ia memegang gelas dan meminumnya hingga habis.
"Kamu sudah selamat, dan baik-baik saja."
Seolah sadar ia ada dimana, dengan tergesa Khansa berdiri.
"Kamu mau kemana?"
Seharusnya Arsel tidak bertanya. Yah, ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan wanita ini. Tapi entah mengapa ia justru penasaran. Merasa tak rela ditinggalkan begitu saja.
"A-aku mau pergi, aku ada urusan."
"Tapi, aku mau tentangmu."
Katakanlah Arsel teramat lancang, hingga Khansa mengeryit heran.
Pasalnya lelaki ini ikutan berdiri bersamaan dengan gerak tubuhnya.
"Maksudnya?"
"Namamu-"
"Khansa, itu namaku."
"Aku mau tahu tentangmu semua," paksa Arsel tanpa tahu malu.
Kapan lagi ia bisa bertemu wanita ini.
Jadi saat kesempatan itu ada, ia tak akan sia-siakan bukan?
Keduanya saling berpandangan. Ada alarm dalam kepala Khansa yang mengingatkan jika ini tidak boleh terjadi.
"Sebagai ucapan terima kasihmu karena aku sudah menyelamatkan nyawamu. Dua kali aku membantumu. Aku gak bermaksud pamrih, tapi bisakah kita bertemu lagi?"
Memaksa, itu yang kini Arsel lakukan. Melupakan jika ini untuk pertama kalinya ia melakukan hal itu sepanjang hidupnya. Jangan salahkan matanya yang sejak tadi tak berkedip menatap wajah ayu Khansa.
Baginya wajah itu terlalu sejuk untuk dipandang. Tak bosan rasanya matanya untuk terus memusatkan perhatian. Sekalipun wanita yang dipandangnya ini tampak tak nyaman, Arsel tidak perduli.
Senyum Khansa terbit, bagai tersambung ke dalam aliran tak kasat mata, senyum itu mampu menembus jantung Arsel.
Ia semakin yakin sudah jatuh cinta pada wanita ini.
"Terima kasih atas pertolonganmu, tapi maaf sebaiknya kita tak perlu bertemu lagi."
Kekecewaan jelas terpancar di mata lelaki yang bisa dibilang tampan untuk ukuran Khansa. Tapi, setampan apapun lelaki di depannya, baginya Rayhan tetap yang utama. Rayhan suaminya.
"Mengapa? Mengapa kita tak bisa bertemu lagi."
Anggap Arsel berubah menjadi kekanak-kanakan. Sorot matanya bak anak kecil yang tak mau ditinggal. Dan itu sungguh menggelikan bagi Khansa.
"Karena aku sudah bersuami, permisi."
Arsel mematung.
Tak mampu berkata-kata. Bahkan membiarkan wanita di depannya berlalu begitu saja.
Mengenaskan, saat untuk pertama kalinya hatinya terketuk, saat itu pula harus dijatuhkan ke dasar jurang.
Bersuami? Jadi wanita itu memiliki suami? Dia pasti berbohong supaya aku gak nemuin dia lagi.
Ketika Arsel masih termangu, maka Khansa berjalan dengan bergegas ke tempat yang sudah ditunggu seseorang.
Langkahnya sampai di kamar yang dituju. Kamar dengan nomor 4105.
Ia sudah tersenyum dan sudah mengangkat tangannya untuk mengetuk, ketika secara tiba-tiba pintu itu terbuka. Menampilkan sesosok wanita yang menurut Khansa teramat cantik. Rambutnya yang panjang dibiarkan bergelombang. Tinggi tubuhnya tak beda jauh dengan dirinya, hanya bedanya kulit wanita ini sedikit lebih gelap dari kulitnya.
Walau begitu, Khansa yakin wanita ini telah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kulit seindah ini.
"Mbak Khansa."
"Iya saya Khansa, ini dengan Mbak Meisya?"
Mereka berjabat tangan. Dua wanita yang mungkin menganggap pertemuan ini hanya sebentar saja. Mereka tidak tahu jika nasib justru akan terus mempertemukan keduanya dalam kisah memilukan ke depannya.
"Silahkan masuk."
Senyum ramah Meisya membuat Khansa sedikit tenang. Jantungnya masih berdebar mengingat kejadian tadi.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin ada seorang lelaki berterus terang seperti tadi? Apakah tidak terlihat jika ia wanita yang sudah berumah tangga, bukan seorang abege yang bisa digoda?
Dan seharusnya tadi dirinya tidak usah bersikap baik pada lelaki itu, mengingat kejadian di klub malam tempo hari. Tapi tidak mungkin juga dia bersikap jutek, apalagi lelaki itu telah menyelamatkan nyawanya.
Mendengar permintaan lelaki itu tadi, bagaimana mungkin lelaki itu menyangka ia masih lajang.
Sepertinya Khansa bingung sendiri.
"Silahkan duduk," pinta Meisya saat mereka sudah di dalam ruangan.
Khansa menurut. Ia duduk tak jauh dari Meisya. Matanya menjelajah kamar yang kini ia tempati. Ini hotel bintang lima. Dan harga sewa kamar ini pasti mahal. Jadi kalau wanita ini berani bertemu dengan menyewa sebuah kamar di sini hanya untuk bicara, sepertinya Faisal benar.
Dia wanita malam kelas kakap.
Baguslah, jadi aku bisa kupas semua tentangnya.
Jika Khansa memindai ruangan, berbeda dengan Meisya. Ia memindai wajah wanita di depannya.
Inilah wanita yang penuh keberuntungan dalam hidupnya. Sudah memiliki garis emas sejak lahir. Mungkin hidupnya pun tak pernah ada air mata.
"Bisa kita mulai?" tanya Meisya.
Khansa tersenyum.
"Tentu saja."
Ia membuka tasnya dan mempersiapkan catatannya. Ponsel di meja milik Meisya berbunyi.
"Sebentar ya."
Khansa melihat wanita di depannya mengangkat telepon.
"Ya Sel."
"Meisya, aku di depan kamar kamu nih."
"Oh, oke. Tunggu sebentar."
Meisya tampak bangkit dari duduk. Melangkah ke arah pintu. Dan ketika melihat orang yang baru saja menelponnya, ia tersenyum.
"Aku kira kamu gak jadi kemari, masuklah. Acaranya baru mulai," ajak Meisya.
"Aku cuma mau lihat wawancara kamu." Arsel melangkah masuk ke dalam kamar.
"Lebih juga gak apa kok Sel." Meisya masih berusaha menggoda.
Khansa mendengar Meisya bercakap-cakap dengan seseorang di luar sana. Ia pikir mereka hanya berdua saja di ruangan ini. Mungkin Meisya membawa teman. Ia langsung memposisikan mencari duduk yang nyaman, karena bisa saja wawancara ini berlangsung lama.
"Mbak Khansa, teman aku boleh ikut dengar kan di sini?"
Semula tangan Khansa yang sudah menulis di buku, menjadi terhenti. Ia mengangkat wajah. Sesaat ia terpaku.
Mengapa semesta seolah bercanda, mempertemukan dirinya dengan lelaki yang tadi menuntutnya untuk bertemu kembali. Sepertinya yang terpaku bukan hanya Khansa, Arsel pun sama. Sama-sama tak menyadari akan pertemuan yang tak pernah diduga ini.
Tiga kali mereka bertemu di tempat yang sama sekali tidak direncanakan dengan dua kali penyelamatan.
Jangan katakan jika ini takdir!
Meisya yang menyadari keadaan di ruangannya, menjadi heran. Pasalnya baik Khansa dan Arsel sama mematung.
"Sel, ini orang yang akan wawancarai aku. Kenalkan namanya-"
"Aku sudah kenal Meiy." Mata Arsel yang memutus terlebih dahulu, karena ia menoleh pada Meisya, pun dengan memutus ucapan Meisya.
"Khansa kan namanya."
Arsel kembali memusatkan perhatian pada wanita tamunya Meisya yang masih memandangnya dengan shock.
"Hay Khansa, kita ketemu lagi."