"Naura sudah tidur, Tan?" Tanya Dimas ketika melihat kedatangan Ibunda Naura.
Dimas tak langsung pulang setelah mengantar Naura. Karena Pak Gio mengajaknya makan siang bersama. Kebetulan beliau juga terlambat makan siang lantaran keasikan ngobrol dengan mertuanya.
"Belum tidur, tapi perutnya sudah agak mendingan," jawab Bu Siva.
Eyang Hasan meminta Dimas melanjutkan makan siangnya. Soal, cucunya bisa dibicarakan nanti.
"Bapak bisa menginap malam ini?" Tanya Siva.
“Bisa— tapi Bapak pulang ke rumah dulu untuk menjemput Ibu,” jawab Eyang Hasan.
“Titip Kakak ya, Pak. Siva harus menemani Mas Gio ke Jakarta. Mungkin kami akan berada disana selama 2 hari.”
“Iya, biar kakak sama Bapak. Nikmati waktu berdua kalian. Kalau bisa buatkan cucu lagi.”
Pak Gio tergelak mendengar permintaan mertuanya. Sebenarnya dia juga ingin menambah anak namun belum diberi amanah lagi.
Rumahnya terasa sepi ketika Naura menginap di rumah Eyang atau Opa-nya. Sementara Nabila berada di pondok pesantren.
Maka dari itu, Gio tak pernah pulang terlambat karena kasihan istrinya kesepian di rumah.
“Sudah waktunya punya cucu bukannya malah tambah anak,” ungkap Siva.
“Siapa yang akan menikah?” Tanya Eyang Hasan.
“Pastinya Kakak. Kalau adik masih di pondok dan harus lulus dulu sebelum menikah,” jawab Siva.
Dimas memilih diam dan menjadi pendengar. Meski sudah kenal lama, posisinya saat ini hanyalah orang luar, tak sopan jika ikut menyahut obrolan si empunya rumah.
“Tanya saja sama yang dicintainya. Apa sudah ada rasa sama Kakak? Soalnya Papa sudah diancam gak boleh menjodohkannya. Kalau sampai itu terjadi mau kabur ke rumah Restu katanya,” terang Pak Gio.
Eyang Hasan terkekeh pelan sembari melihat ke arah Dimas. Orang yang dimaksud menantunya barusan ada didepannya. Dan kini sedang salah tingkah.
“Maaf ya Nak Dimas. Pasti hari-harimu sangat berat.” Pak Gio memasang wajah sungkan pada lelaki yang diidolakan putri sulungnya.
“Memangnya Nak Dimas sakit?” Tanya Siva.
“Bukan sakit tapi ketempelan Naura setiap hari. Itu yang membuat berat harinya,” jawab Pak Gio.
Bu Siva berdecak kesal, suaminya jika bicara suka sembarang. Putrinya yang cantik jelita disamakan dengan makhluk halus.
Sementara Dimas memasang wajah datar meski dalam hatinya ingin tertawa keras. Memang benar yang dikatakan oleh Pak Gio, Naura tak pernah membiarkan hidupnya tenang barang sedetik pun.
Setiap hari ada-ada saja ulah dari gadis itu. Tak jarang membuat kepala Dimas pening.
“Benar begitu Nak Dimas?” Tanya Eyang Hasan.
“Nggak bakalan mau bicara jujur dia, Pak.” Kata Pak Gio.
Eyang Hasan menepuk kepala Dimas dengan sayang. Lalu berkata, “Yang sabar ngadepin Kakak. Sejak kecil dia tinggal di pesantren. Setelah lulus SMA, teman-temannya melanjutkan kuliah ke luar negeri, hanya Kakak yang masih berada di Jogja,” ujarnya dengan tutur lembut.
“Misal Naura membuatmu kerepotan, tegur saja namun dengan suara pelan, meski cerewet dia mudah untuk dinasehati,” tambah Pak Gio.
Dimas menyunggingkan senyuman sebelum menjawab. Paham dengan kekhawatiran yang dirasakan oleh keluarga Naura. “Sebenarnya Saya tidak merasa terganggu dengan keberadaan Naura. Hanya saja saya takut meninggikan suara ketika lelah bekerja. Maka dari itu, saya sering mengusirnya saat menolak diantar pulang dari toko.”
Mendengar kata ‘Usir’ bukannya membuat Pak Gio marah, justru beliau malah tertawa pelan, membayangkan betapa pusingnya Dimas menghadapi putrinya yang sedang mode keras kepala.
“Kakak pernah cerita sama Eyang, dia tidak begitu suka bergaul dengan teman-teman yang suka nongkrong di tempat tak jelas. Dia lebih suka ngopi di cafe sambil membaca buku atau mengerjakan tugas kuliah. Jika sedang bosan dia lebih memilih membantu Nak Dimas di toko.”
“Bapak benar, Kakak memang tidak begitu banyak memiliki teman saat kuliah. Hanya ada satu orang, yaitu Najla. Dulu mereka satu pondok namun beda kamar,” tambah Bu Siva.
Naura berjasa besar pada usaha Dimas. Di awal buka belum banyak memiliki pelanggan, gadis itu memaksa Papa dan Bundanya merenovasi kantor agar Dimas mampu membayar karyawannya. Berkat kerjasama dengan Trisula Textile dan Hijab Asyva, usahanya berkembang pesat. Karena kedua orang tua Naura mengenalkannya pada para pengusaha besar.
“Om dan Eyang hanya menjelaskan jika Kakak tidak memiliki banyak teman. Bukan bermaksud memberimu beban,” jelas Bu Siva saat melihat Dimas kebingungan menjawab. “Tante pesan, sekesal-kesalnya Nak Dimas, tolong jangan bentak Naura. Kalau dia tidak mau pulang dari toko langsung hubungi Tante atau Om. Biar kami menjemputnya.”
“InsyaAllah, Dimas akan menambah stok kesabaran untuk menghadapi Naura.”
Pak Gio menganggukkan kepala, meski Dimas selalu menolak putrinya, tak menjadi masalah baginya, karena perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan.
***
Setelah makan malam, Naura mengajak Eyang Hasan pergi ke kosan baru Dimas. Menurut informan terpercaya, Ayang diam-diam pindahan tanpa memberitahunya.
Perutnya sudah sembuh seperti sedia kala. Kini Naura sudah bisa beraksi kembali. Beraksi merecoki kehidupan Si Ayang.
“Kakak sudah kasih kabar sama Nak Dimas?” Tanya Eyang.
“Ih— namanya kejutan ya nggak kasih kabar Eyang.”
“Kalau Nak Dimas tidak ada di kosan gimana?”
“Pasti ada. Dimas sedang menata bahan-bahan makanan ke dalam lemari es.”
“Sedetail itu Kakak bisa tahu. Wah, luar biasa sekali.”
Eyang Hasan takjub dengan kegigihan cucunya dalam mengejar Dimas. Beliau tidak suka ada orang yang berpacaran, maka dari itu meminta Naura langsung menikah jika berhasil mendapatkan hati lelaki yang dicintainya.
Mobil milik Naura terparkir di depan kosan. Temannya menghampirinya untuk memberikan informasi.
Najih adalah kembaran Najla. Meski tak satu fakultas, keduanya lumayan dekat Karena Najih sering menjemput Najla saat main ke rumah Naura.
“Kak Dimas belum pesan makanan,” ujar Najih setelah Naura turun dari mobil.
“Bagus, aku sudah membawakan makanan dari rumah,” jawab Naura.
“Kalau begitu aku pulang dulu ya. Sudah ditungguin sama Najla.”
“Kirain dia ikut membersihkan kosan.”
“Sedang kurang enak badan dia. Makanya malas ikut. Padahal dia penasaran dengan kamar yang ditempati oleh Dimas.”
“Bukannya semua kamar sama ya?” Naura bertanya karena bingung.
“Najla penasaran warna apa yang akan kamu pilih untuk merenovasi kamar Dimas,” terang Najih.
Ah, sahabat baiknya memang tahu isi pikirannya. Najla seperti Naura, jika pergi ke kampus menggunakan pakaian syar'i, bedanya Najla pendiam sementara Naura terlalu bar-bar.
Selepas Najih berpamitan pada Eyang, Naura bergegas mengajak Eyangnya masuk ke dalam kos. Privilege yang dimilikinya dimanfaatkan dengan baik, meski tidak ngekos di sana Naura tetap bebas keluar masuk tanpa izin dari satpam.
“Assalamualaikum, Ai—” ujar Naura ketika sampai di depan kamar kos Dimas.
Pintu kamar tidak ditutup karena Dimas sedang menyapu. Dia tidak terkejut dengan kedatangan Naura. Karena gadis itu berkata akan membantunya pindahan saat nyeri perutnya sembuh.
Jika ada penghargaan orang terkonsisten di dunia pasti Naura yang akan menjadi pemenang utamanya. Apa yang diucapkannya pasti akan dilakukan.
“Waalaikumsalam, tunggu sebentar, aku akan membuang sampahnya dulu,” jawabnya.
Eyang Hasan melihat-lihat sekeliling kos. Meski kos campur tak terlihat tamu keluar masuk dengan bebas. Semua tamu yang datang akan menunggu di pos satpam lebih dahulu, setelah yang dicari mengizinkan masuk, barulah tamu itu akan diantar ke ruang tamu.
“Eyang ayo masuk,” ajak Naura setelah Dimas selesai menyapu.
Tanpa menunggu Eyangnya, gadis itu sudah masuk terlebih dahulu. Tak ada rasa sungkan karena dia telah menganggap kamar kos itu miliknya.
“Ai, aku bawa makanan untuk mu,” ujar Naura.
“Aku baru mau masak nasi,” jawab Dimas sembari menunjuk rice cooker barunya.
“Nggak usah masak nasi karena aku bawa nasi beserta lauknya.”
“Siapa yang masak?”
Naura menyiapkan alat makan untuk Dimas. Lalu menjawab, “Pakai ditanya segala, ya pastinya Bunda lah—”
Eyang Hasan tak kunjung masuk. Naura ingin memanggilnya namun tak jadi. Ternyata beliau sedang berbincang dengan satpam kos.
“Kenapa nggak tungguin aku belanjanya?”
“Tadi toko tutup lebih awal, jadi aku punya waktu senggang untuk pindahan dan belanja.”
Dimas mulai menyantap makan malam. Sesekali menjawab pertanyaan dari Naura. Gadis itu saat ini sedang sibuk memeriksa bahan makanan yang telah tertata rapi di dalam lemari es dan rak.
“Besok pagi kamu ke kampus, Ai?”
“Hm, aku akan mengerjakan revisian di perpustakaan.”
“Nggak ada niatan untuk menjemput ku?”
“Bukannya kamu sudah diantar jemput sama sopir? Lagipula lebih nyaman naik mobil ketimbang naik motor. Cuaca Jogja sedang panas-panasnya nanti kulitmu gosong”
“Besok aku mau bawa motor. Kasihan si cantik nggak pernah diajak jalan-jalan. Selama musim penghujan kemarin dia kerjaannya nongkrong di garasi rumah.”
Si cantik yang dimaksud Naura adalah motor bebeknya. Kenapa dia menamakan si cantik? Karena motor bebek itu berwarna pink.
“Dikasih izin sama Om Gio?”
“Kalau nggak hujan ya boleh. Sekarang kan sudah musim kemarau jadi bebas naik si cantik kemanapun aku pergi.”
“Syukurlah, aku tidak perlu repot-repot menjemputmu saat tantrum tidak mau naik mobil.”
Naura duduk di sofa yang ada di sudut ruangan. Dari sana dia bisa melihat jalan raya. Saat malam hari, Dimas bisa nongkrong di balkon sambil minum teh atau coklat hangat.
Letak kamar Dimas paling pojok. Selain kamarnya paling luas, bonus balkon dan jauh dari tangga, jadi tak ada orang yang berlalu lalang.
“Jangan gitu dong, Ai! Aku tuh suka dibonceng pakai motor. Ya— meskipun ada tembok pemisah.”
“Ingat, kita bukan mahram jadi tidak boleh dekat-dekat atau berduaan.”
Naura mengerucutkan bibirnya. Senjata Dimas untuk mengusirnya selalu saja itu. Dan dia tidak bisa mendebat.
Lama tak kunjung mendapat jawaban. Dimas menoleh ke belakang. Bukan tidur tapi Naura sedang senyam-senyum sendiri sambil menggeser layar ponselnya.
Pasti gadis itu sedang membaca novel. Tebak Dimas. Selesai makan malam, dia mencuci rantang beserta alat makannya. Karena Dimas paling benci dengan yang namanya kotor dan berantakan.
“Eyang di mana?”
“Ada di luar. Sedang ngobrol sama Pak satpam.”
Naura menjawab tanpa melihat ke arah Dimas. Masih asik menatap layar ponselnya.
Dimas mengambil laptop, lalu duduk di atas karpet bulu, tepatnya di sebelah Naura berada. Bedanya dia di bawah dan gadis itu di atas.
Besok dia ada jadwal bimbingan siang. Rencananya pagi akan ke perpustakaan untuk mencari jurnal referensi. Dan sore hari baru ke toko.
“Ai— kok malah duduk di situ. Biar aku yang pindah.”
Naura bergegas meninggalkan sofa. Kaget saat melihat si empunya kamar duduk lesehan.
“Kamu saja yang di atas. Meski lantainya ada karpet, tetap saja hawanya masih dingin, nanti kamu bisa masuk angin.”
“Aku kesini mau bantuin pindahan. Malah semuanya sudah kamu tata sendiri.”
“Pulang saja. Perutnya pasti masih terasa nyeri. Lebih baik perbanyak istirahat.”
“Kamu ngusir aku?” tanya Naura kesal.
Dimas menghela nafas, kemudian mendongak ke atas, menatap manik indah Naura. “Aku hanya khawatir dengan keadaanmu, itu saja,” ujarnya kemudian.