Pianis dengan Tatapan Mata Dingin

1126 Words
Tidak semua orang bisa menemukan apa yang dia suka dan apa yang dia impikan begitu saja.  Tidak semua orang bisa menjawab dengan lugas apa yang dia impikan saat orang lain bertanya tentang apa yang dia inginkan di masa depan. Begitu juga dengan Kim Ilsung. Anak itu menyukai piano, namun dia belum yakin bahwa dirinya menyukai piano hanya kerena sekadar suka atau memang dia ingin menjadikan piano sebagai cita-citanya. Untuk pertama kalinya Ilsung datang ke festival, Kim Hayoon adalah seorang pianis terkenal dia sering diundang ke festival untuk menampilkan penampilan solonya. Ilsung tampak mengamati orang-orang yang tengah sibuk berlalu-lalang di depannya. Orang-orang tampak keren dengan membawa gitar atau bass di balik gitar case yang mereka bawa. “Wah, keren sekali,” gumam Ilsung dengan pandangan mata kagum. Ha Yoon yang tengah berdiri di sampingnya tampak tersenyum melihat anaknya yang kini tengah melihat ke arah kerumunan tanpa berkedip. Ilsung tidak tahu bahwa festival pertamanya akan sekeren ini. “Apa kau suka?” Tanya Ha Yoon membuyarkan lamunan Ilsung. Anak itu menatap sang ayah dan mengangguk dengan tatapan polos. Sebenarnya Ha Yoon ingin sekali mengajak seluruh keluarganya ke festival, tapi semuanya tengah sibuk. Harin tidak begitu suka datang ke festival karena dia lebih suka di rumah dan malas untuk jalan-jalan. Ilsung sebenarnya juga tidak suka berada di tengah kerumunan namun karena Ilsung menyukai musik jadi dia sangat tertarik dengan yang namanya Festival. “Aku suka sekali, Pa,” gumam Ilsung sambil tersenyum secerah matahari, “Pa, apa boleh aku keliling sebentar, aku ingin melihat-lihat festival. Boleh ya Pa?” gumam Ilsung. Sebenarnya Ha Yoon sedikit khawatir jika Ilsung harus keliling festival sendiri namun dia tidak ingin khawatir sendirian. Ilsung sudah besar, dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri. “Baiklah, kau boleh berkeliling sendiri. Tapi bali ke sini sebelum jam 4 sore, kau tidak akan melewatkan penampilanku kan?” Gumam Ha Yoon. Ilsung tersenyum senang. Dia tidak menyangkan bahwa Kim Hayoon akan mengizinkannya. “Tentu saja tidak, Pa. Makasih udah ngasih aku izin,” ujar Ilsung girang. Anak itu berbalik badan, namun belum sempat dia  beranjak, Ha Yoon menarik tangannya, “Ada apa, Pa?” tanya Ilsung. Ha Yoon merogoh kantongnya dan mengambil domper dari dalam kantongnya. Dia memberikan uang lembaran pada Ha Yoon. “Belilah sesuatu, kau belum makan dari tadi,” tukas Ha Yoon perhatian. Ilsung memandang uang dua puluh ribu won yang diberikan sang ayah, “Appa,  ini terlalu banyak,” tukas Ilsung. Ha Yoon menggeleng, “Kau harus makan enak ketika datang ke festival. Selamat jalan-jalan,” ujar Ha Yoon sambil tersenyum. Ilsung sangat bersyukur memiliki ayah seperti Ha Yoon, Ha Yoon baik dan sangat mendukung mimpi anak-anaknya. Meski dia sangat sukses sebagai pemain piano namun dia tidak pernah memaksa Harin maupun Ilsung untuk menjadi seorang pianis. Ilsung sendiri cukup tertarik dengan piano namun dia tidak yakin alasannya untuk bermain pioano hanya karena dia suka atau memang dia ingin menjadi seorang pianis. Karena itu dia tidak memberitahu Ha Yoon bahwa diam-diam Ilsung mulai bermain piano. Ilsung pergi dengan langkah ringan, anak itu merapikan hoodie yang dipakainya. Dia berjalan dengan santai karena tidak ingin melewatkan momen di sekitarnya. Meskipun Ha Yoon memberinya uang yang cukup banyak namun dia tidak ingin menghamburkannya. Langkah Ilsung terhenti ketika sebuah suara piano menginterupsi indera pendengarnya. Setiap kali mendengar suara piano kaki Ilsung seperti tersihir untuk mendekat. Tak jauh dari tempat Ilsung berdiri orang-orang tengah berkumpul sambil menikmati musik. Beberapa diantara mereka ada yang tengah merekam dengan ponsel miliknya. “Suaranya indah sekali,” Ilsung bergumam sambil berjalan mendekat.Ilsung belum pernah mendengar melodi seindah ini dan rasanya Ilsung belum pernah mendengar lagu yang dimainkan.Langkah kecil Ilsung kini telah berdiri di depan kerumunan namun dia tidak bis amelihat apa-apa. Seseorang yang berbadan besar kini tengah berdiri di hadapannya sehingga Ilsung yang berdiri di belakang tidak bisa melihat apa-apa. “Permisi,” Ilsung berusaha untuk menyibak kerumunan dan berusaha maju ke depan, namun kerumunan itu terlalu padat. Ilsung terus terdorong ke belakang. Namun anak itu tidak menyerah. Suara merdu tuts yang ditekan membuatnya sangat tertarik siapa orang dibalik kerumunan. “Adakah yang mau berduet denganku,” tukas seorang penyanyi yang kini mengisi panggung. Ilsung terlambat, pianis yang dia ingin lihat sudah meninggalkan kursinya, padahal Ilsung sekarang tengah berada di barisan paling depan. Ilsung sempat melihat wajahnya dan bermaksud mengejarnya. Ilsung berbalik badan, namun belum sempat dia berbalik seseoang yang berada di sampingnya berteriak. “Aaaa! Ada kecoa di bajumu,” teriak seorang gadis di samping Ilsung. Ilsung panik dan memeriks bajunya. Pandangannya melebar ketika mendapati kecoa tengah hingga di bagian perutnya. Tanpa sadar Ilsung mengangkat tangannya dan berusaha untuk menghilangkan kecoa tersebut. “AAA!!! Mama tolong!” Ilsung ingin mengusir sang kecoa namun dia tidak sanggup untuk menyentuhnya. Dia terus bertiak dengan geli sambil mengangkat tangannya ke atas. Sementara itu smeua perhatian kini tertuju padanya. Sebenarnya Ilsung tidak ingin mencari perhatian tapi teriakannya mampu membuat orang-orang memperhatikannya. “Tolong! Seseorang tolong aku,” teriak Ilsung dengan panik. Namun tak ada satu pun yang berani menolongnya. Semua orang jijik dengan kecoa. Ilsung bergidik ngeri ketika kecoa itu terus merambat dan kini hampir menuju area ketiaknya. Demi Tuhan, Ilsung lebih baik pingsan saja sekarang. Dia menyesal jalan-jalan sendirian. Keringat dingin membasahi keningnya. Ilsung akan sangat berterima kasih jika seseorang menyelamatkannya sekarang. Dia rela memberikan dua puluh ribu won yang dia punya pada orang tersebut. Di saat Ilsung merasa bahwa nyawanya akan segera melayang seseorang mendekatinya. Ilsung mungkin tidak mengenalnya tapi dia orang yang Ilsung cari sang pianis, Ilsung sempat menyaksikan penampilannya beberapa menit sebelum dia turun panggung. Lelaki itu sepertinya seumuran Ilsung. Penampilannya sangat tenang. Dia berjalan ke arahnya dan terikan Ilsung mendadak berhenti. Matanya begitu tenang dan dengan gerakan yang sangat santai , lelaki itu mengambil kecoa yang menempel di baju Ilsung dengan tenang. Lalu dengan tenang dia bertanya kepada Ilsung, “Apa kau baik-baik saja?” Tanyanya dengan nada dingin. Ilsung mengangguk masih dengan tubuh gemetar. Pucuk dicinta ulam pun tiba memang. Lelaki itu kembali diam lalu berbalik badan. Lidah Ilsung terasa kelu. Dia ingin mengucapkan terima kasih namun sulit baginya. Lelaki itu berjalan ke arah tempat sampah dan membuang kecoa itu di sana. Ilsung tertegun, sebelum lelaki itu terlalu jauh Ilsung berniat untuk mengejarnya. “Iya kamu yang tadi dihinggapi kecoa, apa kau bisa main piano?” Langkah kaki Ilsung terhenti ketika suara seseorang yang kini tengah berada di panggung memanggilnya. Ilsung membeku di tempat. Dia tanpa sadar mengangkat tangan saat sang penyanyi bertanya di panggung tadi. “Maukah kau memainkan piano di panggung ini dan mengiringiku bernyanyi?” Tanya lelaki dengan baju biru itu. Harusnya Ilsung menggeleng tapi anak itu memang selalu tidak bisa mengelak jadi tanpa sadar dia mengangguk. Gagal sudah rencana Ilsung mengejar sang pianis dan kini dia terjebak diantara pilihan yang sulit dia harus bermain piano untuk pertama kali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD