Hang's Party

1108 Words
                Amel menghempaskan diri ke atas ranjang kamar tamu rumah Hang. Ia gagal pulang setelah berdebat panjang mengenai lamaran bosnya itu. Menatap langit-langit, Amel lalu mendengus. Setelah merencanakan masa depan indah dengan standar laki-laki pilihan, angan-angan itu ternyata harus kandas. Oh, belum! Impiannya terganggu oleh aksi tak senonoh dan keinginan sesaat Hang.                 “Aha! Siapa tahu itu keinginan sesaat beneran! Rajin-rajin aja gue jauhin sambil nolak. Gue juga harus cari kerjaan baru nih biar cita-cita punya suami brondong kesampaian.” Ujar Amel bermonolog. Ia begitu semangat sampai-sampai merubah posisi menjadi duduk bersila.                 “Kan gue sukanya sama brondong-brondong emes kaya ala selebgram masa kini. Jadi gue harus berusaha lepas dari kegilaan Pak Hang. Syukur-syukur nih kalau nggak perlu keluar dari perusahaan.”                 Amel memberenggut. Sadar kalau selama ini dosanya terlalu banyak, ia menyatukan telapak tangan seperti orang meminta-minta lalu mengadah menatap plafon. “Ya Allah.. Hamba yang berlumuran dosa secara nggak sengaja ini memohon ampun. Mudahkan-lah hamba dalam mencari pasangan muda yang kaya. Bukan bangkotan macem bos hamba. Hamba nggak mau di cap jadi baby sugar Ya Allah.”                 “Eh.. Sugar baby.” Koreksi Amel dalam doanya mengingat kata Almarhumah sang mamah jika berdoa haruslah benar. Nanti salah alamat. Begitu yang Amel ingat ketika ibunya itu masih bernafas di dunia. Alias masih hidup.                 “Amin Ya Allah.” Amel menutup doa pagi hari ini dengah telapak tangan yang ia usapkan ke wajah dari atas ke bawah. Ia normal kok kalau urusan doa nggak kaya seperti kebiasannya sehari-hari yang aneh mengingat ini berhubungan langsung dengan sang pencipta.                 Dert.. Dertt…                 Amel segera mencari keberadaan ponsel pintarnya saat getaran ia rasakan merambat dari ranjang sampai ke kaki-kakinya. Ia menatap horror nama yang tertera di layar ponsel.                 Pak Direktur                 “Ya Allah Pak Hang. Baru juga dua jam nggak ketemu, udah kangen aja. Hih! Nih bandot tua kenapa gatel banget sih. Buka nggak ya?”                 Lama Amel berpikir hanya untuk pengambil keputusan. Ia menaruh curiga teramat besar pada diri lelaki itu. Bagaimana tidak! Dibandingkan mengirim pesan, Hang bisa menyuruh asisten rumah tangga untuk memanggil dirinya. Pastilah ini isinya tidak penting, pikir Amel.                 Dert..Dertt..                 “Ya Allah!” pekik Amel kaget ketika merasakan ponsel di genggamannya kembali bergetar.                 “Ini bandot!” tak mau uang gajinya terancam, karena Hang memang selalu menggunakan kartuajaib itu ketika marah. Amel buru-buru membuka pesan yang Hang kirim.                 Pak Direkrut : Kamu dimana?! Ini acara mau mulai. Kamu itu sekretaris saya. Jadi harus ada waktu saya keliling nyapa kolega.                 “Ya Allah! Hamba lupa sama pesta ulang tahun Pak Hang.” Amel bergerak cepat menuruni ranjang. Ia berlari untuk keluar dari kamar menuju lantai satu. Tempat dimana acara Hang diselenggarakan, melupakkan penampilannya saat ini yang baru saja bangun tidur.                 “Pak.. Pak.. Maaf saya telat.” Amel mencoba bernafas teratur mengingat ia sekarang sedang ngos-ngosan saking paniknya tadi menerima pesan dari Hang.                 Hang mengurut pelipis. Ia menatap Amel dari ujung rambut sampai bawah. Tepat pada sandal bulu-bulu motif Keropi milik Rara. ‘Astaga Amel!,’ geram Hang dalam hati. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Amel yang mengenakan piyama di pesta ulang tahunnya. Mana semua tamu kini terfokus pada wanita itu.                 “Amel kamu kenapa gini?” Tanya Rara kaget. Gadis yang sedari tadi menemani sang papah berkeliling menatap gemas dengan campuran emosi pada diri calon mamah tirinya. Kalau jadi.                 “Kenapa B-bu.. Loh kok pake piyama saya?!” kaget Amel malah mengajukan tanya setelah melihat penampilannya sendiri.                 “Ibu! Kok saya pakai piyama?!”                 Rara ikut mengurut pelipisnya. Sama persis dengan aksi sang papah. “Amel..” panggil Rara halus, “baju yang di ranjang kenapa nggak kamu pakai? Saya sudah siapin.” tanya Rara dengan senyum menahan gemas terselubungnya.                 “Loh nggak ada, Bu. Kan saya tadi dari atas ranjang. Saking paniknya karena acara mulai, saya lari nggak liat menampilan Bu.” Jujur Amel dengan wajah polosnya.                 Amel bergidik saat lengan seseorang melingkar di pinggang, lalu menarik tubuhnya untuk lebih merapat ke orang itu. Nyawa Amel seolah dicabut paksa oleh malaikat ketika adegan lanjutan dipertontonkan ke khalayak umum, terlebih ada anak-anak di bawah umur seperti Resti yang kini menatap dirinya dan Hang dengan mulut menganga lebar.                 “Bap-pak, kenapa cium ken-ning saya?” tanya Amel lirih dengan tubuh gemetaran.                 Hang menyengit lebar. Ia mengerjapkan mata saat Amel mendongakkan wajah, menatap dirinya yang baru saja mendaratkan ciuman. “Di ranjang kita, Sayang. Tadi aku minta Rara buat siapin. Maaf lupa bilang tadi.” Bisik-bisik tetangga langsung menyeruak. Membicarakan arti kalimat Hang yang teramat jelas masuk ke dalam gendang telinga mereka.                 ‘Eh, Jeng. Pak Hang abis dari model pindah ke sekretarisnya? Kok nggak ada wartawan ngeliput sih?!’                 ‘Duh! Pak Hang di pellet apa gimana kok mau banget sama wanita kaya gitu sih!’                 ‘Papah Ya Allah.’ Rara tak ketinggalan mengomentari aksi berani Hang.                 Amel membuka mulut, lalu menutupnya kembali saat merasa tidak ada kalimat yang mampu ia sampaikan untuk menjawab perkataan Hang. Tubuh Amel lemas seketika mendengar bisik-bisik yang cukup keras dalam penggunjingan dirinya.                 “Ah, Pak maaf.” Ucapan Hang tertuju pada kolega bisnis yang tadi tengah berbincang dengan dirinya. “Calon istri saya memang kemarin menyarankan tema piyama untuk pesta saya kali ini. Maklum  usianya masih sangat muda. Mungkin ini bentuk protes dia.” Terang Hang beralibi untuk menyelamatkan diri Amel. Siapa tahu Amel nanti luluh dan menerima pinangannya.                 “Tapi calon istri saya cantik kan meski terlihat akan tidur begini out fitnya?” Hang berkelakar membuat sang rekan bisnis tertawa.                 “Ah.. Pak Hang bisa saja. Tentu Pak. Pak Hang memang tidak pernah salah memilih wanita. Jadi akhirnya Ibu Amel yang menang ini Pak?”                 Hang tertawa renyah, berbanding terbalik dengan Amel yang menahan jari-jarinya agar tetap terkondisi untuk tidak menyentuh batang leher lelaki itu.                 “Dia pemenangnya kali ini Pak Hasan. Sekretaris saya sendiri.”                 Hasan, lelaki yang mengetahui posisi Amel mengangguk. Ia sudah lama bekerja sama dengan Hang, sehingga tahu persis siapa Amel sebelumnya. “Dekat sekali rupanya ya Pak. Sepertinya benar kalau jodoh kita kemungkinan orang terdekat.” Ujar Hasan sembari melirik Rara.                 “Hahaha.. Begitulah Pak Hasan. Hayo coba diingat, siapa yang paling dekat dengan Bapak? Masa saya sudah mau dua, Bapak yang masih sangat muda saya salip sih.”                 Pembicaraan patner bisnis beda usia itu terus berlanjut dengan Hang yang terus setia melingkarkan lengannya di pinggang Amel. Ia mengabaikan suara-suara gossip para tamu. Berpikir nanti juga akan reda sendiri.                 “Res.. Papah kayaknya beneran naksir Amel. Dia ngakuin di umum tuh.” Bisik Rara yang kini berada di samping Resti dan sang Oma.                 “Jadi kita kalah taruhan sama Oma Mbak?” Rara mengangguk lemah menjawab pertanyaan sang adik.                 “Oma bilang kan! Oma ini Ibunya itu bule m***m. Jadi kalian harus bayar ke Oma. Ingat tas yang tadi siang Oma kirim ke grup WhatsUp kita harus udah ada dalam satu minggu ya cucu-cucuku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD