BAB 05 - DANCE OF LOVE

2200 Words
DOL.05 JAM 12 MENIT 12 TIFFANY SHERIA  "Coba jelaskan, apa definisi musik menurut kalian?" Mister Leon yang sedang berdiri di depan kelas bertanya pada para mahasiswanya. "Bunyi atau kesan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indra pendengar." Salah seorang temanku yang duduk di kursi belakang mengangkat tangannya dan menjawab pertanyaan dari Mister Leon. "Oke. Ada yang lain?" Temanku Shella mengangkat tagannya dan menjawab, "Musik adalah suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya." "Apa ada lagi yang ingin menambahkan?" Aku yang memiliki jawabanku sendiri pun mengangkat tanganku lalu menjawab, "Musik adalah seni merangkai bunyi dalam waktu  untuk menghasilkan komposisi memlalui unsur melodi, harmoni, ritme dan timbre." "Oke, Tiffany. Terima kasih atas jawaban kalian semua. Ada banyak definisi tentang musik. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dalam musik, misalnya teori, suara, nada, notasi, ritme, melodi, harmoni, bentuk musik, dan teori menciptakan lagu. Karena musik sangat kuat hubungannya dengan tari atau dance, pertemuan kali ini kita akan membahas tentang teori musik yang merupakan cabang ilmu yang menjelaskan unsur-unsur musik. Cabang ini mencakup pengembangan dan penerapan metode untuk menganalisis maupun mengubah musik, serta keterkaitan  antara notasi musik dan pembawaan musik." Pagi ini aku mengikuti mata kuliah lokakarya kreatif sebagai seorang mahasiswa pemula di NYU Tisch School of the Arts. Yaitu kelas teori musik untuk memperoleh keterampilan dalam bermusik, membaca skor dan elemen komposisi musik. Dalam kelas ini kami di ajar oleh seorang dosen muda dan tampan, yaitu Mister Leon. Semua mahasiswi yang ada di NYU Tisch School of the Art sangat mengenal Mister Leon sebagai dosen tertampan. Ditambah lagi dengan mahasiswa yang ada di Tisch Dance pada umumnya adalah wanita, membuat dosen satu ini menjadi dosen terfavorit mereka, termasuk diriku. Awalnya aku berpikir bahwa Mister Leon lah pria tertampan yang ada di kampus Tisch Dance ini. Namun setelah bertemu dengan ciptaan Tuhan yang begitu sempurna kemarin yang bernama Rei atau Rai Maxwell itu, pandanganku terhadap ketampanan seseorang langsung berubah. Dan Rei Maxwell adalah pria tertampan yang pernah aku lihat seumur hidupku yang mampu membuatku jatuh cinta. Hanya dengan lirikan matanya, ia mampu membuat hatiku bergetar. Pria tampan itu selalu muncul dalam pikiranku dari pertama kali bertemu kemarin hingga saat ini. Bahkan mengingat lirikannya saja membuatku melamunkannya cukup lama dan ingin melihat wajahnya secara dekat dan lebih jelas. "Tiffany... Tiffany..." Brenda teman sekelasku yang duduk di sampingku, memanggil namaku sambil menggoyangkan tubuhku. Aku yang baru saja tersadarkan dari lamunanku yang panjang pun menoleh ke arahnya dengan wajah kebingungan. "Ha? Ada apa Brenda?" "Apa yang kamu lamunkan?" Aku menoleh ke sekitar. Terlihat semua kursi yang ada di dalam kelas yang tadinya penuh, kini sudah kosong menyisakan kami berdua. Dengan perasaan masih kebingungan aku kembali bertanya, "Brenda, kenapa sudah sepi? Apa kelas Teori Musik sudah selesai?" "Apa yang kamu lamunkan selama itu, Tiffany? Tubuhmu ada di dalam ruangan ini, namun pikiranmu melayang entah kemana. Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu baik-baik saja?" Brenda mengangkat salah satu tangannya dan menempelkannya pada dahiku. Kemudian ia kembali berkata, "Sepertinya kamu baik-baik saja." Sambil mengemasi semua buku dan alat tulisku yang ada di atas meja, aku pun menjawab, "Aku baik-baik saja, Brenda. Aku tidak demam." "Oke. Baiklah. Setelah ini kita akan kemana?" Brenda melirik arloji yang ada di tangannya dan menjawab, "Kelas ballet masih lama, tapi aku tidak ingin pulang ke apartemen. Bagaimana kalau kita pergi ke NYU Bookstore saja? Kita mendapatkan tugas dari Mister Leon membuat paper tentang hubungan musik dengan tari yang akan dikumpulkan lusa di pertemuan berikutnya." "Baiklah. Kalau begitu siang ini kita menghabiskan waktu di NYU Bookstore saja." aku menjawab sambil berjalan keluar ruang kelas bersama Brenda. Brenda adalah satu-satunya teman dekatku di antara begitu banyak teman sekelasku yang lainnya. Kami tidak hanya teman sekelas di kampus, namun juga teman se-apartemenku meski berbeda kamar. Kami menyewa apartemen yang sama, makan bersama dan kemana-mana sering bersama. Awalnya kami hanyalah teman biasa, yaitu teman sekelas saat mengikuti kelas ballet di Singapore. Namun hubungan kami semakin lama semakin dekat hingga menjadi teman seatap setelah sama-sama mengecap pendidikan di NYU Tisch School of the Arts di New York ini. Dan selama berteman dengannya, aku merasa begitu nyaman dan sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Setelah kelas Teori Musik berakhir dan kami keluar dari gedung Tisch School of the Arts yang ada di Broadway, aku dan Brenda berjalan ke arah zebra cross yang berjarak beberapa meter dari pintu masuk gedung NYU Tisch menuju NYU Bookstore yang ada di seberang jalan. Kami menyeberangi zebra cross saat lampu merah menyala, lalu berjalan bersama menuju NYU Bookstore tersebut melewati sebuah gerai fast food yang selalu ramai oleh pengunjung dari kalangan mahasiswa dan para pekerja kantor yang ingin menyantap hidangannya yang khas. Saat ini hari sudah menujukan pukul 12 siang waktu New York. Aku yang sudah merasakan sedikit lapar, merasa tergoda ingin membeli beberapa menu makanan dan minuman yang ada di McD yang baru saja kami lewati. Sehingga aku pun menghentikan langkahku saat kami telah berjalan beberapa meter dari pintu masuk McD dan berkata, "Brenda, aku merasa sedikit lapar. Aku ingin membeli seporsi burger dan segelas minuman soda. Apa kamu juga ingin membelinya?" Brenda terdiam sejenak sambil memiringkan kepalanya melihat ke arah pintu masuk McD. Kemudian ia pun menjawab sambil mengusap perutnya yang mungkin juga sudah merasa lapar. "Ya, aku juga sudah merasa sedikit lapar. Tapi di dalam McD saat ini cukup ramai karena sekarang adalah jam makan siang. Pasti cukup sesak di dalam sana. Aku malas mengantri, Tiffany." "Kalau begitu kamu tunggu di sini saja. Biar aku yang mengantri. Aku rasa antriannya juga tidak terlalu lama." "Apa kamu yakin?" "Tentu saja. Jika tidak di beli dan makan sekarang, kita bisa mati kelaparan terlalu lama berada di dalam NYU Bookstore yang sangat luas itu." "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." Sambil berjalan menuju McD yang tidak jauh dari tempat kami berdiri aku pun menjawab, "Oke. Aku akan segera kembali." Saat aku telah berada di dalam gerai McD tersebut, aku melihat begitu banyak orang di dalamnya. Terlihat banyak orang yang sedang makan siang di meja yang telah disediakan dengan posisi duduk sendirian ataupun berkelompok. Selain itu ada beberapa orang yang sedang memesan makanan di mesin pemesanan, dan beberapa orang lainya juga ada yang sedang mengantri untuk mengambil pesanan mereka. Gerai McD ini selalu ramai saat jam makan siang dan makan malam karena buka 24 jam. Namun aku yakin ini tidak akan memakan waktu lama mengantri untuk memesan makanannya. Karena selama berbelanja di sini, aku tidak pernah menunggu terlalu lama. Dan lama waktu menunggunya terbilang wajar dengan begitu banyaknya pembeli yang makan di tempat atau take away. Aku yang sudah berada di dalam gerai, memesan beberapa menu terlebih dahulu pada mesin pemesanan. Setelah nomor pesananku keluar dari mesin pemesanan, aku pun berdiri tidak jauh dari meja cashier menunggu pesananku disiapkan. Beberapa menit kemudian nomor pesananku muncul di layar monitor yang menempel di dinding dalam McD. Melihat pesananku telah siap, dengan segera aku berjalan menuju meja cashier untuk mengambil pesananku dan membayarnya. Setelah aku membayar dan mengambil pesananku di meja cashier, ponsel yang ada di dalam tasku berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Aku yang ingin segera menjawab panggilan masuk itu, memegang semua pesanan makananku dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya sibuk meraba isi dalam tas mencari ponselku yang tertimpa oleh buku dan benda lainnya. Saat aku sedang sibuk mencari ponselku sambil berjalan dengan kepala menunduk, tanpa sengaja aku menabrak sebuah benda yang tinggi dan keras. Sehingga aku yang sedang berjalan dengan tidak fokus menjatuhkan tasku dan kantong makananku setelah aku menemukan ponselku. Dan tabrakan ini pun membuatku merasa sedikit pusing. Saat aku merasa sedikit pusing, tanpa sengaja aku melihat angka 12:12 pada jam yang ada di layar ponsel yang kini ada di tanganku. Tanpa berpikir panjang dengan segera aku berjongkok hendak mengemasi tas dan kantong belanjaanku yang terjatuh ke lantai. Tidak banyak barang-barangku yang keluar dari tasku. Burger dan kentang goreng yang aku beli masih ada di dalam kemasannya. Namun sayangnya salah satu minuman soda yang baru saja aku beli telah tumpah di lantai. Melihat minuman soda yang telah tumpah dan mengotori lantai membuatku langsung panik. Aku yang telah berjongkok dengan segera mengemasi barang-barangku yang keluar dari tasku dan menyimpan makananku ke dalam kantongnya. Kemudian aku kembali membuka tasku mencari tissue  untuk menghapus air soda yang beserakan di lantai. Dalam waktu bersamaan sebuah tangan terulur dengan beberapa lembar tissue di hadapanku. Membuatku yang masih merasa pusing karena tabrakan tadi langsung mengambilnya. Saat aku sedang menghapus bekas minuman soda yang ada di lantai itu dengan tissue, aku melihat sebuah tangan lain juga ikut melakukannya. Membuatku yang merasa kebingungan, mengangkat wajahku dengan perlahan mencari tahu siapa yang melakukannya. Saat wajahku telah terangkat, aku melihat makhluk Tuhan yang paling sempurna sedang berjongkok di hadapanku. Ia yang berjongkok di hadapanku saat ini sedang ikut membersihkan lantai dengan tissue di salah satu tangannya, sedangkan tangan lainnya sedang memegang ponsel yang menempel di telinganya. Aku sempat tertegun dengan tubuh mematung melihatnya dari dekat. Wajah tampannya yang kemarin tertutupi oleh setengah topinya, kini terlihat begitu jelas karena bagian topi yang menutupi wajahnya kemarin ada di posisi belakang. "Maaf aku telah menumpah minumanmu." aku yang tadinya tertegun melihat wajahnya, kini terlena mendengar suaranya yang sangat enak di dengar. Baru saja Senior Rei selesai berbicara, petugas kebersihan dari McD pun datang menghampiri kami dan berkata, "Permisi Tuan dan Nona. Biar aku saja yang membersihkannya." Aku dan Senior Rei mengangguk dengan serentak, lalu bangkit meluruskan punggung kami bersamaan. Aku masih saja menatap wajahnya yang tampan saat kami telah berdiri saling berhadapan. Dan saat kami saling menatap satu sama lain, ia pun kembali bersuara, "Apa kamu baik-baik saja?" Aku yang tiba-tiba merasa gugup, ingin segera melarikan diri dari hadapannya. Dengan jantung yang berdegup kencang aku pun menjawab, "Ya, aku baik-baik saja, Senior. Terima kasih." Belum sempat Senior Rei menanggapi ucapanku, Brenda yang dari tadi menunggu di luar sana pun menghampiriku. Ia yang baru saja datang langsung menarik tanganku keluar dari McD hingga aku tidak sempat berpamitan pada pria itu. Ia menarikku dengan cepat sembari bertanya, "Tiffany, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sangat lapar." "Maaf, Brenda. Aku..." Saat kami telah berada di luar McD, Brenda yang baru menyadari ada orang lain yang sedang berbicara denganku tadi, kembali bertanya dengan wajah penasaran, "Tiffany, apa yang sedang berbicara denganmu tadi adalah Senior Rei?" Aku menganggukan kepala mengiyakannya sambil mengingat angka 12:12 yang ada pada layar ponselku tadi. Ya, sepertinya angka yang cantik itu adalah angka keberuntungan untukku. Jam 12 menit 12 adalah waktu dimana pertama kalinya aku melihat pria tampan itu dengan jelas dari jarak yang dekat. Waktu dimana aku menyadari bahwa aku benar-benar telah jatuh hati kepada seniorku, Rei.  **** Sore hari aku akan mengikuti kelas ballet bersama Madam Jean di studio ballet yang ada di gedung Tisch Dance. Seperti biasanya, aku dan teman-temanku telah berada di studio ballet minimal 5 menit sebelum kelas dimulai. Di menit keenam, tepatnya lewat satu menit dari jam masuk kelas, Shella yang baru saja memasuki studio pun melangkah dengan cepat sembari berkata, "Teman-teman, ada info yang ingin aku sampaikan kepada kalian." "Apa?"  "Ada apa?"  "Info apa, Shella." teman-temanku bertanya. Saat ia telah berdiri di tengah-tengah kami, Shella pun menjawab, "Informasi pertama, Miss Jean saat ini tengah hamil anak ketiga sehingga beliau tidak bisa melatih kita lagi di semester ini. Informasi kedua, beliau akan digantikan oleh dosen pengganti atau asisten dosen." "Apa?" aku yang sangat menyukai teknik ballet dari Madam Jean merasa sedikit ecewa karena tidak bisa lagi latihan bersamanya di semester ini. Namun di balik itu aku merasa bahagia mendengar berita kehamilannya. "Tiffany, jangan dramatis seperti itu. Meski Madam Jean tidak bisa melatih kita di semester ini, tapi di semester berikutnya kita bisa bertemu kembali dengan beliau. Selain itu pihak kampus pasti memberikan pembimbing yang terbaik untuk kita." "Hmmm... Aku menjadi penasaran siapa yang akan menggantikan Madam Jean nantinya." Brenda berbicara dengan wajah yang sedikit muram. Beberapa saat kemudian, seorang pria berpakaian casual berwarna hitam dan topi di kepala yang menutupi setengah wajahnya memasuki ruang studio dengan sebuah ransel di tangannya. Membuat semua mahasiswa yang mengikuti kelas ballet yang ada di dalam studio merasa kaget saat melihatnya.  "OMG! Apakah itu Senior Rai?" "Apa Senior Rei yang akan menggantikan Madam Jean?" "Ya, Tuhan. Aku tidak menyangka akan berada dalam satu studio dengan pria tampan ini." Aku hanya diam mendengar berbagai ucapan temanku yang sedang membicarakan Senior Rei sambil memperhatikan setiap gerakannya dengan jantung yang berdebar. Pria itu meletakan ransel yang ada di tangannya di sudut studio. Kemudian ia melangkah ke hadapan kami yang sedang berada di tengah studio dan mengangkat wajahnya sembari berkata, "Selamat sore semuanya. Aku adalah asisten dari Madam Jean yang akan ada di beberapa  kelas dance menggantikan beliau. Namaku Rei Maxwell, mahasiswa semester akhir dari Tisch Dance. Hobby ku adalah belajar dan berlatih. So, semoga kedepannya aku dapat memberikan pelatihan dan pengalaman baru kepada kalian dalam hal menari dan seni lainnya." Senior Rei terdiam sejenak dan berkata, "Oh iya, aku orangnya tidak banyak bicara dan tidak suka marah. Namun tetap saja aku minta kalian semua untuk serius dalam belajar dan berlatih agar menjadi penari profesional yang handal. Jadi kedepannya, kalian semua sudah harus siap denganku yang disiplin dalam berbagai hal." "Baik, kami mengerti Senior." Kami semua bicara serentak. Setelah berbicara panjang lebar di hadapan kami semua, Senior Rei menatapku beberaoa saat hingga perasaanku menjadi tidak karuan. Saat ini aku benar-benar merasa canggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD