“Fan, jaga bicaramu! Dosa memfitnah wanita baik-baik dengan tuduhan kayak gitu!” Nur memukul pelan lengan sang putra.
“Lalu apa lagi, Bu? Wanita sakit sendirian di rumah sakit, lalu nangis nggak jelas.”
Alula terkekeh, tetapi air matanya terjatuh.
“Apa saya terlihat seperti wanita serendah itu, Pak? Apa wanita sakit, sendirian di rumah sakit, lalu menangis, itu semua wanita nggak bener seperti yang Bapak pikirkan?”
“Alula, jangan–“
“Apa bagi Bapak wanita sakit itu selalu hamil? Apa rumah sakit hanya untuk wanita hamil? Orang selain hamil nggak boleh ke rumah sakit?" Alula tersenyum kecut. "Nggak nyangka, orang berpendidikan seperti Bapak punya pemikiran begitu picik,” ujar Alula lemah, memotong perkataan Nur.
“Fan! Pergi kamu dari sini kalau cuma bikin suasana hati orang buruk!” usir Nur.
Lutfan terdiam. Ia sadar telah salah bicara. Yang ada di pikiran pria itu, sekarang sedang marak wanita hamil duluan dan entah mengapa ia merasa Alula salah satunya.
Alula menatap dosen buruk rupa itu sendu. Di saat terpuruk, harusnya penguatan yang didapat. Namun, Lutfan justru memberikan racun berupa fitnah yang membuat hatinya makin sekarat.
“Ternyata beralasan cara anak-anak memandang Bapak di kampus selama ini. Kalau Bapak itu ...!”
... Bapak itu pria galak, jelek, menyebalkan, dan perjaka tua. Namun, kalimat itu hanya diucapkan Alula dalam hati.
“Bapak itu apa, La?” tanya Nur.
“Ah, enggak, Bu," jawab Alula.
“Kamu juga, Fan. Mbok ya kalau ngomong itu disaring dulu, diucapkan yang baik, buang yang buruk! Nggak asal nyablak. Pergi dari sini! Biar Ibu pulang sendiri sama ngantar Alula."
"Fan, Ibu nggak pernah, loh, mengajarimu bersikap kurang ajar kayak gini sama wanita. Wanita baik-baik kamu tuduh hamil, itu sangat menyakitkan!”
“Bu, aku hanya tanya,” kilah Lutfan.
“Tapi pertanyaanmu timing-nya nggak pas!”
“Maaf kalau saya salah paham.” Lutfan merasa bersalah.
Alula diam. Ia yang biasanya punya rasa hormat tinggi, mendadak berani dengan dosen tonggos itu. Selain tonggos, Lutfan ternyata berhati keruh yang selalu berpikiran buruk pada orang lain.
“Ya sudah, ayo saya antar kembali ke kosanmu.” Nur membantu Alula bangkit.
“Bu, ayo aku antar,” tawar Lutfan.
“Nggak usah! Kamu membuat situasi hati Alula buruk! Ibu bisa naik taksi online!”
“Alula, saya benar-benar minta maaf. Sebagai wujud permintaan maaf, saya akan mengantarmu.” Lutfan kembali bersuara.
“Tadi saya sebenarnya hanya ingin bercanda, tapi kamu tanggapi sungguh-sungguh.” Lutfan kembali membela diri.
Alula diam, tetapi pandangannya menghunus tajam ke arah Lutfan. Pria itu mengatupkan kedua tangan di depan d**a, syarat penyesalan.
“Yakin nggak bicara pedas lagi?” tanya Nur. “Kalau masih menyerang Alula, pergi aja sana.”
Lutfan mengangguk sepenuh hati. “Yakin. Tadi aku beneran nggak sengaja berkata kayak gitu, Bu.”
“Nggak usah. Merepotkan, Bu. Saya bisa pulang sendiri.” Alula berusaha menolak.
“Ayo!” Nur membantu Alula berdiri, lalu memaksa, dan menuntun Alula menuju mobil.
Alula yang tidak enak terus menolak, akhirnya menurut sebagai wujud rasa hormat.
Tiba di mobil, Alula dan Nur duduk di kursi belakang. Dua wanita itu berbincang-bincang hal ringan sampai Alula sedikit lupa dengan dukanya.
“Kamu semester berapa, La?” tanya Nur.
“Semester akhir, Bu. Habis liburan ini mau garap skripsi.”
Saat ini memang sedang libur. Itulah sengaja Alula menikah agar tidak perlu cuti dan nanti ada yang membantunya
menggarap skripsi, Yongki. Namun, semuanya sudah berantakan. Yongki tidak jadi menjadi suaminya.
“Wah, sebentar lagi lulus. Sudah ada tempat buat nanti rencana mau ngajar di mana?”
“Sudah, Bu. Selain buruh nyuci dan ngasih les, kadang saya juga ngajar di MI swasta."
“Masyaallah. Padat sekali jadwalmu. Nggak capek?”
“Capek, sih. Hanya saja harus saya lakukan. Daripada tiduran saja malah malas nanti.”
Padahal alasan utamanya bukan itu. Melainkan ia butuh banyak uang untuk biaya hidup dan kuliah.
“Semoga dilancarkan semuanya. Apalagi pas skripsi nanti.” Nur membelai kepala Alula yang terbungkus hijab. Entah mengapa, meski baru bertemu, ia merasa Alula itu gadis baik, tidak seperti yang dituduhkan putranya tadi.
Beberapa saat kemudian, mobil yang mereka tumpangi sampai dikos-kosan Alula.
“Saya ngekos di sini, Bu. Mari mampir dulu.” Alula mempersilakan.
“Nggak usah, saya langsung pulang saja.”
“Saya turun. Sekali lagi terima kasih, Bu, Pak Lutfan.” Bergantian Alula menatap Nur dan sang dosen.
“Hm.” Hanya itu sahutan Lutfan.
Alula turun setelah mengucapkan salam. Mobil Lutfan langsung melaju. Alula masih mengantar kepergiannya dengan pandangan. Ia lalu memasuki pelataran kos-kosan. Matanya membola kala melihat pemilik kos-kosan tengah mengeluarkan semua barangnya.
“Bu, kenapa barangku dikeluarkan semua?” teriak Alula sambil berjalan mendekat.
“Aku nggak mau kamu menjadi pengaruh buruk buat penghuni lain yang kebanyakan dari mereka juga mahasiswa sepertimu. Kamu kabur dari pernikahan karena di-booking orang. Iya, kan?”
Alula terdiam. Mungkin fitnah itu sengaja diembuskan oleh Aruni atau Adi.
“Tapi aku bukan wanita seperti itu,” gumam Alula.
“Aku nggak peduli, La. Ini, aku kembalikan uang kosmu bulan ini. Cari kos-kosan lain.” Pemilik kos-kosan itu memberikan uang kepada Alula, lalu mengunci pintu.
“Sudah tidak ada lagi barangmu di dalam. Sudah aku keluarkan semua nggak ada yang tersisa. Terserah mau kamu bawa ke mana.” Lepas itu, pemilik kos-kosan meninggalkan Alula sendiri.
Alula terduduk lemas. Sudah jatuh, tertimpa tangga, dan dunia runtuh menindih. Sempurna. Ia kini sadar, keluarga tirinya seperti sengaja mempersiapkan kehancuran untuknya.
Satu kesalahan sang ibu, harus dibayar seumur hidupnya. Terdengar tidak adil, tetapi itulah kenyataan yang diterima.
Alula menghapus kasar air matanya. Percuma hanya menangis. Air matanya tidak akan berubah jadi permata dan mengubah hidupnya menjadi kaya. Namun, kebangkitanlah yang akan membuatnya jaya.
Alula mencari barang dan berkas penting. Berkas, uang, dan kartu-kartu aman, tetapi ponsel tidak ada.
“Di mana ponselku?” gumam Alula sambil mengobrak-abrik barang berharganya.
Barang-barang di kos-kosan Alula tidak terlalu banyak. Kebanyakan hanya buku. Ia memasukkan ke dalam koper semuatnya saja sambil mencari ponsel.
Ketika sedang sibuk menata, sebuah sepeda motor terdengar. Seorang pria turun dan menghampiri Alula.
“Alula,” panggil pria itu.