Hidup Baru dan Bos Baru

2054 Words
Beberapa bulan sudah berlalu sejak perceraiannya bersama Herdian. Nara hidup seorang diri di sebuah apartemen sederhana yang ia beli satu bulan yang lalu. Menyandang status sebagai seorang janda, tidak membuat Nara berkecil hati. Wanita itu malah sangat bersemangat untuk memulai kembali hidupnya. Pagi ini, Nara terbangun sebab suara alarm yang sudah ia atur berbunyi menjalankan tugasnya. Dengan mata yang masih mengantuk, wanita itu meraih handphone miliknya kemudian mematikan alarm yang sedari tadi berseru menyuruhnya untuk bangun. Terpampang jelas di layar jika waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat dua menit. Nara beranjak bangun kemudian turun dari kasur. Mengucek kedua mata yang terasa sedikit sipit dari biasanya, Nara berjalan menuju meja rias. Mendapati jika kedua matanya sedikit sembap dan menyipit, Nara hanya bisa menghela napas pelan. “Astaga, ada apa dengan pemandangan ini?” ujar Nara ketika melihat pantulan dirinya sendiri. Detik kemudian matanya beralih menatap benda pipih yang ia letakkan di atas nakas. Sebuah pesan singkat masuk di sana. Segera Nara memeriksa. Ternyata sebuah pesan dari Sita, rekan sekantornya. ‘Nara, kamu hari ini masuk kantor, ‘kan? Katanya Bos baru kita mulai bekerja hari ini. Semua diwajibkan untuk berhadir.’ Begitulah pesan singkat yang Sita kirimkan kepada Nara. Tentu saja Nara ingat tentang perihal itu. Tidak mungkin ia melupakan hari yang begitu dinantikan oleh teman-temannya di kantor. “Katanya Bos baru sangat tampan, pasti mereka akan heboh sekali hari ini,” gumam Nara bermonolog sendiri. Tentu saja ‘mereka’ yang Nara maksud adalah teman-teman wanita di kantornya. Belum juga Bos baru tersebut bekerja, Pria yang katanya sangat tampan itu sudah menjadi bahan gosip di kantornya beberapa hari ini. Namun hal itu tidak cukup untuk menggerakkan hati Nara. Sejak perceraiannya bersama sang mantan suami, Nara menjadi tidak percaya dengan yang namanya cinta. Menutup pesan singkat dari Sita, Nara bergegas menuju kamar mandi. Wanita itu tidak ingin terlambat dan membuat dirinya dimarahi. 25 menit waktu yang Nara perlukan untuk membersihkan diri kemudian bersiap-siap ke kantor. Sarapan pagi akan Nara lewatkan seperti biasanya. Entah kenapa, kebiasaan baru itu muncul setelah dirinya menjanda. Nara tidak pernah lagi sarapan setiap pagi nya. *** Sedangkan di suatu tempat yang lain, seorang Pria berdiri tepat di depan sebuah lemari berbentuk huruf ‘L’. Lemari itu terbuka penuh, menampilkan semua pakaian miliknya. Pria itu mengambil sebuah kemeja berwarna putih lalu celana bahan berwarna navy. Sebuah perpaduan yang sempurna untuk Pria itu pergi bekerja hari ini. Masih di depan kaca berhiaskan lampu yang mampu menghasilkan cahaya yang terlihat alami, Pria itu berdiri sembari memasang sebuah dasi di lehernya. Usai berpakaian, Pria itu segera keluar dari ruang pakaian mewah miliknya kemudian berjalan menuju ruang makan. “Morning, Princess,” sapa Damar kepada Kalia—putrinya. Mengecup lembut puncak kepala anak gadis berusia lima tahun itu. Tersenyum lebar menampilkan giginya yang ompong, Kalia menjawab, “Morning too, Papa,” ujarnya. Damar Pramudya Bayanaka, seorang Pria berusia 35 tahun yang memiliki wajah begitu rupawan. Di balik wajahnya yang nyaris sempurna, Damar adalah seorang pekerja keras. Terlahir dari lingkup keluarga yang begitu kaya raya. Meskipun terlahir dari keluarga konglomerat, tidak membuat Damar terlena dan menjadi orang yang pemalas. Di usianya yang terbilang matang, Damar telah menyandang status sebagai duda beranak satu. Damar sudah menyandang status tersebut bertahun-tahun lamanya. Yaitu sejak putrinya masih berusia dua tahun. Dan hingga sekarang Damar masih belum memiliki niat untuk kembali berumah tangga dan mencari Ibu sambung untuk anaknya. Kalia Asyifa Putri, seorang bocah perempuan yang merupakan anak dari pasangan Damar dengan mendiang istrinya—Kania. Anak kecil yang begitu ceria. Selalu tersenyum dan menjadi dunia untuk seorang Damar. Memposisikan diri di samping Ibunda tercinta, tak lupa Damar menyapa wanita paruh baya itu, “Selamat Pagi, Bunda kesayanganku,” ujarnya. Meraih tangan sang Bunda kemudian mengecup lembut punggung tangan wanita itu. “Ya, Pagi juga, Sayang,” sahut Arni—Ibunda Damar—seraya tersenyum lebar. Sejak Kania pergi menghadap sang maha kuasa, Arni memilih untuk tinggal bersama dengan Damar dan juga putrinya di kediaman mereka. Karena kebetulan, Wanita paruh baya itu juga telah kehilangan suami tercinta tepat beberapa bulan setelah Kania meninggal. Seperti biasa, setiap hari mereka akan menyempatkan untuk makan pagi bersama. Hal itu dilakukan guna menjaga hubungan mereka agar tetap erat dan terjaga. Juga agar Kalia tidak merasakan kesepian karena Damar yang selalu sibuk bekerja. “Damar, hari ini Kalia libur sekolah,” ujar Arni memberi tahu. “Oh ya? Kenapa?” tanya Damar dengan kedua alis yang saling bertaut. “Hari ini sekolah Kalia akan melakukan wisata, kamu kan tidak mengizinkan dia untuk hal semacam itu,” balas Arni lagi. Damar mengangguk. “Benar, Damar tidak akan memberi izin,” ujarnya sungguh-sungguh. Membiarkan Kalia pergi berwisata ke tempat terbuka tanpa diawasi langsung olehnya, Damar tidak akan melakukan hal itu. Ia sangat menyayangi Kalia, sepenuh hati hingga Damar tidak sadar jika ia menjadi sedikit posesif terhadap putri kecilnya itu. Memangnya, siapa yang akan tenang membiarkan putri mereka yang baru berusia lima tahun pergi wisata? Sekali pun ada, tentu bukan Damar orangnya. “Karena hari ini Kalia tidak ikut pergi wisata, maka sebagai gantinya Papa akan mengajak Kalia pergi ke mall nanti setelah pulang bekerja,” ujar Damar kepada putrinya. Kalia tersenyum lebar. Kedua matanya berbinar terang karena terlalu bahagia. “Benarkah itu Papa? Asyik! Kita akan ke mall,” seru Kalia dengan begitu bahagia. Baik Damar ataupun Arni, kedua orang itu ikut tertawa bersama dengan Kalia. Merasa senang jika gadis kecil itu senang. “Nenek juga ikut ‘kan nanti?” tanya Kalia kepada Arni. Arni mengangguk pelan, tarikan senyum pada kedua bibirnya masih bertengger di sana. “Iya, Sayang. Nenek juga akan ikut nanti,” sahutnya. Tepat setelah menghabiskan sarapan paginya, Damar berpamitan kepada Arni dan juga Kalia sebelum berangkat ke kantor. “Papa berangkat ke kantor dulu ya, Sayang,” ucap Damar kepada Kalia. Mengiringi langkah Damar hingga di depan mobil, Kalia melambai saat mobil Damar perlahan melaju meninggalkan halaman rumah mereka. Gadis kecil itu berseru, “Hati-hati di jalan, Papa Damar!” ujarnya dengan kedua tangan yang terus melambai. *** Nara tiba di depan sebuah gedung pencakar langit tepat setelah abang ojek menurunkan dirinya di tempat tujuan. Usai membayar ongkos kepada abang ojek, Nara membuka langkah masuk ke dalam gedung kantornya. Setiap hari Nara pergi bekerja menaiki ojek online. Maklum saja, Nara tidak pandai mengendarai kendaraan bermotor. Dulu, selama dirinya menjadi Istri dari seorang Herdian Atmaja Purnama, Nara selalu diantar jemput oleh Pria itu. Maka tidak heran ketika mereka telah berpisah, tidak ada lagi yang mengantar jemput Nara bekerja. Hari ini Nara mengenakan sebuah blouse berwarna magenta serasi dengan lipstik yang ia oleskan pada bibirnya. Dan celana bahan berwarna beige, juga sepatu hak tinggi setinggi 5 centi meter menghiasi kakinya yang jenjang. Membuat penampilan Nara selalu menjadi sempurna di setiap harinya. “Selamat Pagi, Mbak Nara,” sapa Pak Dwi—satpam yang bertugas di pintu masuk gedung kantor. “Pagi juga, Pak Dwi,” balas Nara sembari tersenyum ramah. Nara kemudian bergegas menghampiri lift yang pintunya masih terbuka. Di dalam lift tersebut, nampak seorang Pria tengah membantu menahan pintu lift agar tidak tertutup segera hingga Nara masuk ke dalam bergabung bersama. “Terima kasih, Pak,” ucap Nara sembari menundukkan sedikit kepalanya. Kemudian memberikan sebuah senyum manis untuk Pria itu. “Sama-sama,” sahut sang Pria tidak kalah ramah. Nara berdiri tepat di depan sang Pria. Diperhatikannya jika tujuan mereka adalah lantai gedung yang sama. *** Semua orang telah berkumpul untuk menyambut atasan baru mereka. Seseorang yang diketahui sejak hari ini akan mengambil alih perusahaan dari Bos sebelumnya. Nara berdiri di samping Sita. Sedari tadi yang Nara dengarkan hanyalah ocehan Sita yang mengatakan jika ia begitu gugup. “Ta, kamu kan belum pernah ketemu sama Bos baru kita. Kok bisa-bisanya kamu sangat gugup seperti itu?” ujar Nara, tersenyum menggoda Sita. “Aku memang belum pernah bertemu dengan Bos baru kita, Ra. Tapi aku yakin jika dia adalah Pria tampan seperti gosip yang beredar,” sahut Sita begitu antusias. Nara hanya mengangguk. Mengiyakan perkataan Sita yang selalu begitu antusias kepada para Pria tampan. Hingga sepersekian menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu telah datang. “Selamat Pagi, semuanya,” sapa Pak Dirja. Pak Dirja adalah sekian dari banyak karyawan perusahaan ini yang telah mengabdi pada perusahaan bertahun-tahun lamanya. Posisi Pria berusia 35 tahun itu adalah sebagai Sekretaris yang begitu telaten dan kompeten. Di samping Pak Dirja, berdiri seorang Pria yang tidak asing bagi Nara. Seorang Pria yang membantu Nara untuk menahan pintu lift tadi pagi. ‘Apa mungkin dia Bos baru kami?’ tanya Nara dalam hati. Mata Nara menatap fokus pada Pria berhidung mancung di samping Pak Dirja itu. Pun dengan Pria itu, tatapan matanya tidak lepas dari Nara yang berdiri tidak jauh darinya. “Perkenalkan, di samping saya ini adalah Pak Damar, atasan baru kita semua sejak hari ini,” ujar Pak Dirja mewakilkan Pria di sampingnya itu. Menarik kedua sudut bibirnya ke atas, Pria yang diketahui bernama Damar itu memperkenalkan diri secara langsung. “Salam kenal untuk kalian semua. Nama saya Damar Pramudya Bayanaka, kalian bisa panggil saya Pak Damar,” ujar Damar dengan suara teduh khas miliknya, “Mulai hari ini saya akan bekerja di sini sebagai atasan kalian. Mohon kerja sama kalian.” Nara tertegun sejenak. Baru kali ini dirinya menemui seorang atasan yang menyambut para karyawannya begitu tulus. “Aduh! Suami idaman banget nggak sih?” bisik Sita kepada Nara. Wanita berambut cokelat itu merasa jika dirinya akan terbang ke luar angkasa detik itu juga. Sedangkan pada posisinya, sejak tadi Damar mencuri-curi pandang kepada Nara. Tidak dapat Damar pungkiri jika ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Nara yang berjalan saat menuju lift tadi pagi. Damar merasa jika wanita pemilik rambut hitam berkilau dan bergelombang itu sangatlah cantik. Usai memperkenalkan diri, Damar lantas pamit untuk segera pergi ke ruangannya untuk bekerja. *** Tepat setelah Damar memperkenalkan diri, Pria itu segera membuka langkah menuju ruang kerjanya. Dan pada detik itu pula, Sita bersama karyawan wanita lainnya langsung bergosip ria. Kecuali Nara, wanita itu lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan miliknya daripada ikut bergosip dengan Sita dan lainnya. Topik pembahasan yang Sita gosip kan tidak lain dan tidak bukan adalah tentang Damar. Atasan baru mereka yang sangat tampan bak artis ibu kota. “Ternyata enggak salah gosip yang beredar selama ini, Pak Damar memang benar-benar tampan!” seru Sita begitu antusias. Kedua pipinya bahkan menimbulkan semburat merah jambu yang nampak samar-samar. Disahut sebuah anggukan dari karyawan yang menjadi teman gosip Sita. Dari tempat duduknya, Nara dapat mendengar dengan jelas setiap kalimat yang Sita ucapkan. Membuat Nara merasa sedikit tergelitik. Wanita itu terkekeh pelan. “Ada-ada saja si Sita,” cicit Nara pelan. Nyaris tidak terdengar oleh telinga yang lain. Bagaimana Nara tidak merasakan sesuatu menggelitik perutnya. Ketika Sita berangan jika suatu hari nanti ia akan menjadi Istri dari atasan baru mereka itu. Kalimat demi kalimat penuh angan keluar dengan mudah dari mulut Sita. Hingga acara gosip dadakan itu harus segera dihentikan ketika Pak Dirja datang dan menegur mereka. Baik Sita ataupun karyawan wanita lainnya. Mereka langsung membubarkan diri menuju meja kerja masing-masing. “Mari fokus bekerja. Perlu kalian ingat, jika atasan baru kita ini adalah seorang yang sangat disiplin. Jangan sampai dia menemui kalian sedang bergosip seperti tadi saat jam bekerja,” tukas Pak Dirja memberi peringatan. Nara menatap ke arah Sita yang tengah menunduk. Ketika Pak Dirja sudah tidak ada, wanita itu langsung membuka suara. “Makanya Ta, kalau kerja itu yang fokus. Jangan bergosip apalagi sampai berkhayal seperti tadi ...,” ujar Nara dengan sebuah kekehan pelan yang ia berikan untuk Sita. Mengerucutkan bibirnya, Sita membalas kalimat yang Nara berikan untuknya. “Apaan sih. Sewot aja kamu, Ra. Ingat ya, suatu saat nanti Pak Damar akan menjadi milikku. Kita akan menikah dan hidup bahagia.” Sita berujar sembari tersenyum lebar. Begitu senang kala membayangkan jika memang benar dirinya menikah dengan Damar. Bagi seorang Sita, setiap Pria yang berwajah tampan harus ia masukkan ke dalam daftar calon suaminya. Mungkin jika besok ia menemukan Pria yang tampan seperti atau bahkan lebih tampan dari Damar, maka ia akan bereaksi berlebihan seperti tadi. Kemudian yang paling membuat Nara begitu jengkel adalah bagaimana kalimat percaya diri yang Sita ucapkan. ‘Pokoknya Pria tampan itu milikku.’ ‘Setiap Pria tampan yang ada di muka bumi ini harus masuk ke dalam daftar calon suamiku.’ Seperti itulah kalimat-kalimat yang selalu Sita ucapkan. Kalimat yang selalu mampu membuat Nara merasa digelitik oleh sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD