Nara duduk di balik meja kerja dengan mata panda menghiasi kedua matanya. Tadi malam Nara tidak bisa tidur sama sekali karena pergelangan kakinya terasa sangat sakit. Nara juga tidak mengerti, kenapa kakinya terasa sangat sakit padahal sudah mendapat pijatan dari Mbah Ratih—yang kata Damar adalah tukang pijat berpengalaman langganan ibunya. Semalaman suntuk Nara hanya bisa meringis. Berusaha menahan suara rintihan agar tidak membangunkan Sita yang tertidur lelap di sampingnya. Dan hasilnya, pagi ini Nara merasa kedua matanya sangat mengantuk.
“Ra, minum dulu.” Sita meletakkan secangkir kopi di hadapan Nara. Menurutnya Nara perlu mendapat sedikit kafein untuk mengusir kantuknya itu.
“Thanks ya, Ta.” Nara menarik cangkir kopi itu kemudian meminumnya. “Astaga, Sita. Ini kopi nya panas banget.” Nara menjulurkan sedikit lidahnya karena kopi yang Sita suguhkan sangat panas.
“Ya ampun, Ra. Sorry banget! Aku nggak sengaja.” Sita mengambil alih cangkir yang Nara pegang. Meletakkannya di atas meja kemudian kelabakan sendiri.
Nara berdiri dari duduknya. Melangkah cepat menuju pantry kantor untuk mengambil air minum. Lidahnya terasa terbakar saking panasnya air kopi yang Sita suguhkan.
Di pantry, Nara berpapasan dengan Dirja yang tengah membuat kopi untuk Damar. Pria itu sedikit terkejut dengan kedatangan Nara yang begitu tiba-tiba. Terlebih saat Nara begitu tergesa-gesa mengambil air mineral kemudian menenggaknya dalam keadaan berdiri.
“Ra! Sorry banget.” Suara Sita terdengar di luar pantry. Disusul kedatangannya dengan wajah masam menghampiri Nara.
Dirja masih kebingungan memperhatikan dua orang wanita yang datang ke pantry—bahkan tanpa menyapa nya itu. Tangannya sibuk mengaduk kopi hingga menimbulkan sedikit suara akibat sendok yang bersentuhan dengan cangkir. Seharusnya Dirja sudah kembali ke ruangan Damar tapi dia masih asyik memperhatikan Sita yang mengoceh dengan panik.
“Udah, Ta. Berhenti minta maaf. Aku tahu kamu juga nggak sengaja,” kata Nara sembari tersenyum. Tangan kanannya menyentuh bahu Sita agar wanita itu bersikap tenang.
“Syukurlah ... aku benar-benar nggak sengaja.” Sita masih dalam topiknya. Wanita itu merasa sangat sangat menyesal karena begitu ceroboh.
“Lagi pula lidah aku nggak apa-apa, kok. Udah mendingan juga sekarang.” Nara kembali tersenyum. Matanya mengedar ke samping, ke arah Dirja yang masih asyik memperhatikan mereka.
Sigap, Dirja melemparkan senyuman pada Nara yang saat ini menatapnya. Senyuman itu. Dirja hanya bisa menikmati senyuman itu tanpa bisa menggapai sang empunya.
‘Oh Tuhan! Kenapa dia manis sekali pagi ini?’ batin Dirja meronta saat melihat kecantikan Nara. Apalagi wanita itu tersenyum padanya sekarang. Siapa pun tolong, Dirja akan pingsan detik itu juga.
“Pak Dirja, selamat pagi,” sapa Nara begitu lembut.
“Ya?” Sita terkejut dan langsung memutar tubuhnya. Ah sial! Sita tidak menyadari ada Dirja berdiri di sana. Dia begitu panik tadi.
“Selamat pagi, Pak Dirja.” Sita ikut menyapa Dirja dan tersenyum kepada pria itu.
“Ya, pagi....” Dirja membalas sapaan keduanya sekaligus. Menatap Nara dan Sita secara bergantian. “Saya duluan ya,” lanjutnya pamit undur diri.
Dirja bergegas melangkah, Damar pasti sekarang sudah menunggunya. Sepanjang langkahnya menuju ruangan Damar, Dirja tidak bisa berhenti memikirkan senyuman Nara untuknya tadi. Dirja masih ingin melihat senyuman itu nanti, besoknya, besoknya lagi, dan besoknya lagi.
Setibanya di ruangan Damar, Dirja meletakkan cangkir kopi itu di atas meja. Damar menyambut kedatangan Dirja dengan sebuah pertanyaan. Yang Dirja sendiri pun sudah menduga Damar akan menanyainya.
“Kenapa kamu lama sekali? Tidak biasanya kamu bikin kopi selama ini.”
Damar mendudukkan diri di atas sofa. Menyambar cangkir kopi yang Dirja letakkan tadi kemudian menyeruputnya. Beruntung bagi Damar karena kopi buatan Dirja tidak sepanas kopi buatan Sita. Jadi lidahnya dijamin tidak akan terbakar dan melepuh.
“Uhm, saya minta maaf, Pak. Tadi ada sesuatu yang terjadi di pantry dan itu menarik perhatian saya untuk terus berdiri di sana.” Dirja berterus terang.
“Sesuatu?” Damar menatap ke arah Dirja. Dia masih ingin menyeruput kopinya namun ingin mendengarkan jawaban Dirja lebih dulu.
Dirja mengangguk pelan. “Tadi ada Genara dan temannya di pantry. Mereka datang dengan begitu panik hingga tidak menyadari saya juga ada di sana.”
Mendengar nama Genara disebutkan. Damar merasa tertarik untuk tahu lebih lanjut lagi. Lantas, dia pun bertanya kepada Dirja.
“Oh ya? Kenapa mereka begitu panik?” tanya Damar.
“Dari apa yang saya tangkap, sepertinya Sita tidak sengaja membuatkan kopi yang begitu panas untuk Genara. Jadi mereka datang ke pantry untuk minum air dingin.”
Damar hanya mengangguk pelan. Penjelasan Dirja begitu lugas untuknya. Informasi yang sangat bermanfaat untuk Damar.
“Bagaimana jadwal hari ini?” tanya Damar mengalihkan topik pembicaraan.
“Pagi ini ada meeting dengan Pak Ando, Pak. Satu jam lagi di cafe Lumiere.”
“Oke. Bagaimana dengan jadwal selanjutnya?” tanya Damar lagi.
“Tidak ada, Pak.”
“Baik, saya mengerti. Kamu boleh kembali ... terima kasih untuk kopinya.”
Dirja mengangguk pelan kemudian pamit undur diri dari ruangan Damar. Sekembalinya Dirja ke meja kerjanya. Damar langsung beranjak dari duduknya. Membuka laptopnya kemudian mencari sesuatu di mesin pencari internet.
Cara mengatasi lidah terbakar karena minum air terlalu panas
Oh Tuhan! Benarkah Damar melakukan hal seperti itu? Ini adalah yang pertama kalinya dalam sejarah hidupnya setelah Kania meninggal dunia. Tidak ada yang pernah menjadi perhatian Damar selain Kalia dan ibunya. Dan sekarang pria itu memperhatikan Nara yang bahkan bukan siapa-siapa baginya.
Jemari Damar terus menggulir ke bawah. Membaca dengan seksama hal-hal yang harus dilakukan untuk mengatasi lidah terbakar karena minum air terlalu panas. Hal pertama disebutkan bahwa orang tersebut harus mengkonsumsi air dingin. Kabar baiknya Nara sudah melakukan hal itu. Dirja menjelaskannya tadi. Dan sekarang hal yang harus dilakukan adalah memberikan madu atau s**u untuk mengurangi sensasi rasa terbakar itu.
“Oke, madu.”
Damar memeriksa pergelangan tangannya untuk memeriksa waktu. 40 menit lagi meeting dengan Pak Ando. Itu artinya dalam waktu sepuluh menit lagi Damar dan Dirja akan berangkat ke cafe Lumiere. Tidak akan sempat jika dia harus pergi mencari madu sekarang.
“Ck! Sial.” Damar berdecak sebal.
***
Damar melangkah cepat keluar dari cafe menuju mobilnya. Meninggalkan Dirja yang masih sibuk merapikan berkas-berkas karena mereka baru saja selesai meeting dengan Pak Ando. Damar mendesah pelan saat Dirja tak kunjung keluar dari cafe. Dia sudah gelisah, tidak sabar ingin pergi membeli madu untuk Nara.
“Hhh....” Damar mendesah pelan. Hampir saja Damar turun dari mobilnya jika saja Dirja tidak menampakkan batang hidung. Damar tidak bisa menahan diri lebih lama lagi.
Dirja sudah memposisikan diri di balik kemudi dan memasang seat belt di tubuhnya. Setelah memastikan Damar juga melakukan hal sama dan memastikan jika Damar duduk dengan nyaman di kursi belakang, Dirja pun menginjak pedal gas untuk memacu mobil.
“Oh iya, Dirja. Saya ingin beli madu. Tolong mampir ke tempat yang menjual madu, ya.” Damar menatap Dirja melalui kaca spion tengah.
“Baik, Pak,” sahut Dirja tak banyak tanya. Kepalanya mengangguk pelan.
Damar menyandarkan punggungnya. Merogoh saku celana untuk mengambil benda pipih yang dia simpan di sana. Sedari tadi benda itu terus bergetar, Damar ingin memeriksanya.
Sebuah pesan singkat dari Arni. Wanita paruh baya itu mengirimkan sebuah foto kepada Damar. Segera Damar mengunduh foto yang dikirim oleh Arni—ibunya.
“Oh! How cute.” Damar tersenyum lebar saat menatap foto Kalia yang begitu ceria.
Kalia, gadis kecil yang selalu menebar keceriaan melalui senyumnya yang tulus. Yang mampu menghangatkan hati Damar dan juga Arni. Andai saja tidak ada Kalia setelah kepergian Kania. Entah bagaimana Damar akan menjalani hidupnya.
Selama ini Damar mencoba memiliki hubungan dengan beberapa wanita dan tidak ada satu pun yang berhasil. Ketidakberhasilan hubungan itu sebenarnya dilandasi oleh beberapa hal. Salah satunya adalah karena hati Damar sendiri—yang tidak siap menerima wanita mana pun berada di sisinya.
Sementara Damar begitu asyik menatap foto Kalia, di depan sana Dirja begitu sibuk mencari tempat di mana dia bisa mendapatkan madu sesuai permintaan Damar. Dan sebuah gerai jamu herbal di pinggir jalan menarik perhatiannya. Sungguh Dirja sangat berharap bisa menemukan sebotol madu di sana agar dia tidak perlu berkeliling lagi untuk mencari. Dirja menepikan mobil tepat di depan gerai jamu herbal itu.
“Pak, berapa botol madu yang harus saya beli?” tanya Dirja sebelum dia turun dari mobil.
Damar menatap keluar jendela. Dalam hatinya sedikit tidak yakin. Haruskah dia membeli madu di gerai ini?
“Kamu yakin ingin beli madu di sini?” Damar masih mengunci tatapannya keluar jendela mobil.
“Ya, tentu! Saya biasa membeli madu di gerai-gerai seperti ini. Dijamin keasliannya, Pak.”
“Ya sudah. Beli satu botol kalau begitu.” Damar pun menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada Dirja.
“Pak, uang nya kebanyakan untuk membeli satu botol madu.” Dirja menyerahkan kembali tiga lembar uang berwarna merah itu kepada Damar.
Setelah menerima uang dari Damar, Dirja pun turun dari mobil menuju gerai jamu herbal itu. Dirja membeli satu botol madu murni seperti permintaan Damar. Dan langsung kembali ke mobil begitu selesai membeli madu tersebut.
“Ini madu nya, Pak. Dan ini uang kembaliannya.” Dirja menyerahkan sebotol madu murni beserta uang kembalian pada Damar.
“Terima kasih ya, Dirja. Maaf karena merepotkan kamu.”
“Sama-sama, Pak.”
Dirja kembali memacu mobil menuju kantor. Di kursi belakang, Damar terlihat senang sembari menatap botol madu asli yang baru saja dibelinya tadi. Dirja yang mendapati hal itu lantas keheranan.
‘Ada apa dengan nya? Akhir-akhir ini sepertinya dia senang sekali.’ Dirja bergumam dalam hati. Meski penasaran, Dirja tak punya cukup nyali untuk bertanya langsung. Hubungannya dengan Damar tidak sedekat itu untuk bertanya hal-hal pribadi.
Setelah beberapa menit menempuh jarak perjalanan. Mobil yang ditumpangi Damar dan Dirja memasuki kawasan gedung kantor. Dirja menurunkan Damar tepat di depan pintu masuk gedung sementara dia harus memarkirkan mobil terlebih dahulu.
Damar melenggang masuk ke dalam gedung dengan sebotol madu murni di tangan tangannya. Setiap derap langkahnya, Damar selalu menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada. Wajahnya yang tampan rupawan memang sebuah anugerah yang dia bawa sejak lahir.
“Genara?” Damar bergumam pelan saat kedua netra miliknya menangkap keberadaan Nara yang berjalan sendirian menuju lift. Damar pun mempercepat langkahnya
Damar berhasil masuk ke dalam lift tepat setelah Nara memposisikan diri di dalam ruangan sempit itu. Nara menyapa Damar dengan membungkukkan sedikit badannya. “Siang, Pak Damar,” ucapnya yang dijawab dengan sebuah anggukan kepala oleh Damar.
Damar berdiri dengan begitu tegap di samping Nara. Di dalam lift itu tidak hanya ada mereka berdua. Ada dua karyawan lainnya yang jelas sekali sangat tegang karena ada Damar di dalam sana.
Ting!
Pintu lift terbuka dan kedua orang karyawan itu pun pamit keluar. Meninggalkan Nara dan juga Damar yang masih harus melewati beberapa lantai lagi untuk tiba di tempat tujuan. Ketegangan di dalam ruangan sempit itu terasa jelas sekali. Damar yang sedari tadi hendak memberikan madu botol itu namun dia tahan. Dan Nara yang merasa canggung karena harus berduaan dengan atasannya.
Ting!
Pintu lift kembali terbuka. Nara berniat keluar dari ruang sempit itu namun Damar tiba-tiba menarik tangannya. Oh Sial! Nara hampir memekik karena terkejut.
“Uhm, sorry.” Damar segera melepaskan genggaman tangannya. “Terima ini. Saya dengar tadi pagi kamu tidak sengaja meminum kopi yang sangat panas.”
Nara tercengang. Memang siapa yang tidak tercengang jika berada di posisinya sekarang? Mungkin hal lainnya adalah—seharusnya—Nara merasa berbunga-bunga. Tapi nyatanya tidak. Nara bahkan menganggap Damar adalah pria paling aneh yang pernah ditemuinya.
***
Nara meletakkan botol madu murni di atas meja kerjanya. Keberadaan botol itu pun lantas mengundang perhatian Sita. Wanita itu segera menggeser kursinya ke samping meja Nara.
“Ra, tumben beli madu. Buat apaan?” Sita meraih botol madu itu.
“Aku nggak beli.” Nara menjawab datar. Ekspresinya juga tak kalah datar saat menatap Sita.
“Terus, dapat dari mana dong madu ini? Ada yang bagi-bagi madu gratis ya tadi di bawah?”
Nara menggeleng pelan. “Bukan. Tapi Pak Damar yang ngasih.”
“Apa? Kok bisa?” Sita memekik heboh.
Nara mengangkat kedua bahunya sekilas. “Ya mana aku tahu, Ta. Tadi aku nggak sengaja ketemu sama dia di lift. Terus pas aku mau keluar dari sana, dia tiba-tiba ngasih madu ini.” Nara menjelaskan. Dan bagian alasan Damar memberikan madu sebaiknya dihilangkan. Nara tidak ingin membuat kehebohan Sita semakin menjadi.
“Aneh banget. Kok bisa dia ngasih kamu madu. Agak gak biasa aja gitu ....” Sita benar-benar dibuat keheranan. Tangan kanannya sibuk menggaruk tengkuknya yang tidak benar-benar gatal.
“Ya udahlah. Gak perlu dibahas lagi masalah madu ini. Ayo kerja!” Nara mengubah topik. Sebenarnya dia tidak ingin membahas ini karena takut Sita—mungkin—akan mengajukan pertanyaan yang lebih jauh lagi.
Sita mengangguk pelan kemudian menyeret kursinya kembali ke balik meja. Nara menghela napas lega. Matanya menatap ke arah botol madu yang diberikan Damar.
“Dasar pria aneh.” Nara bergumam pelan kala mengingat kenapa dia selalu berurusan dengan Damar. Si pria aneh yang jatuh cinta dengannya sejak pandangan pertama.