Hari Senin biasanya adalah waktu paling padat di rumah sakit setelah melewati weekend, apalagi awal bulan dimusim penghujan. Pasien datang silih berganti sejak siang, dan belum ada jeda yang cukup bagi Dhannis untuk sekadar duduk lebih dari lima menit, kecuali menjalankan shalat. Tapi sore ini, rasa lelahnya tidak seperti biasanya, ada yang terasa mengganjal, sebuah perasaan tidak nyaman yang menggantung di kepala dan d**a. Entah karena pasien yang terlalu banyak, atau karena pikirannya sendiri yang masih belum sepenuhnya stabil sejak pulang dari Singapura.
"Masih berapa pasien lagi, Sus?" tanya Dhannis tanpa mengalihkan pandangan dari rekam medis terakhir yang baru saja ia tandatangani.
Suster Tia mengecek daftar di tablet kecilnya. "Dua lagi, dok. Tadi pasien nomor tiga belas minta dipindah belakangan, sama nomor tiga puluh."
Dhannis melirik jam tangannya, sudah hampir pukul lima.
"Oke lanjut aja, ini dua terakhir, kan?"
"Iya, dok, selanjutnya jam enam dokter Fadlan."
Dhannis mengangguk lega, sepertnya ia juga butuh istirahat.
Suster Tia membuka pintu sambil membawa berkas pasien terakhir tadi untuk diantar ke nurse station, sekaligus memanggil pasien yang sebelumnya minta izin untuk dilewati dulu karena ada urusan lain di rumah sakit ini, yaitu pasien nomor tiga belas.
"Pasien atas nama Zellina Aryani."
Dhannis spontan mendongak sekilas mendengar nama yang disebut suster Tia, hanya karena nama itu, Zellina. Nama yang tidak asing. Tapi ia cepat - cepat mengalihkan pikiran.
Ah, pasti cuma kebetulan. Nama itu nggak cuma satu di dunia ini.
Lagi pula nama belakangnya Dhannis tidak pernah dengar.
Namun, dugaannya runtuh seketika saat pintu ruangan terbuka, dan seorang perempuan masuk dengan santai mengenakan jaket dusty pink sebagai outer, wajahnya setengah bingung, setengah geli saat menatap Dhannis, pria yang dikenalnya di Changi dua hari yang lalu.
"Lho … kok sekarang berubah jadi dokter, sih, pesawatnya kemana?" tanyanya sambil menyipitkan mata. "Atau lagi bosan jadi mekanik, ya?"
Baru saja masuk, malah pasiennya dulu yang bertanya duluan, bukan dokternya.
Dhannis menghela napas dalam.
Astaga, ini beneran dia. Masa sial beruntun sih? Kenapa doanya tak terkabul?
Ia memijat pelipisnya pelan, mencoba tetap profesional walau suster Tia belum kembali lagi ke dalam ruangan ini.
"Tolong bilang kalo kamu salah ruangan."
Ina tersenyum.
"Nggak, dong, emang bener saya pasiennya. Saya mau konsultasi dan berobat, eh tapi malah ngagetin karena ternyata dokternya malah mekanik ganteng," jawab Ina sambil terkikik kecil, ia merasa geli sendiri melihat kenyaataan ternyata Dhannis benar - benar dokter.
"Keluhannya apa" tanya Dhannis mengabaikan intro Ina barusan.
"Sakitnya ringan sih ... tapi lumayan berat juga rasanya," jawab Ina dengan gaya bicaranya yang khas dan ekspresi dramatis.
"Saya baru dengar ada sakit ringan tapi mengeluh," balas Dhannis, sambil membuka rekam medis digital. atas nama Zellina Aryani yang ternyata masih kosong, berarti ia pasien baru disini.
Ina menaruh tasnya di pangkuan, bibirnya tersenyum mendapat tanggapan dari Dhannis, walau agak menyindir.
"Maksudnya cuma merah - merah di punggung gitu, dok. Tapi gatalnya luar biasa. Bawaannya pengen digaruk terus. Masalahnya, kuku saya lagi bagus - bagusnya. Sayang juga kalau dipotong cuma karena mau garuk - garuk biar nggak jadi luka."
Dhannis sempat menahan senyum. Penjelasannya masih se-absurd hari Sabtu yang lalu, pikirnya. Tapi justru itu yang membuat ia langsung teringat. Zellina memang selalu punya cara untuk tampil ... berbeda.
"Ada riwayat alergi?" tanya Dhannis.
"Alergi debu, udang, dan ... kesepian."
Dhannis berhenti mengetik sejenak, lalu menoleh sekilas tanpa ekspresi.
"Kalau yang terakhir, kamu harusnya ke psikolog. Ini ruang praktik dokter umum, bukan ruang curhat."
Ina tertawa, puas karena berhasil memancing reaksi pria galak di depannya ini.
"Saya sebenarnya waktu kecil punya dokter langganan untuk mengobati alergi saya, cuma sayangnya, dokter langganan saya di Jakarta ini katanya udah wafat," jelas Ina ringan. "Jadi ya, saya cari yang masih hidup aja deh. Nggak nyangka malah ketemu dokter yang pernah maksa saya duduk manis di pesawat karena ngerasa saya terlalu bawel. Eh tapi ini dokternya beneran kan? Jangan - jangan cosplay doang karena semua pesawat baek - baek aja nggak ada yang rusak," ucap Ina masih dengan senyum usilnya.
Dhannis menatap Ina dengan tatapan datar karena dituduh cosplay. Ia juga jadi mengingat insiden di penerbangan dua hari yang lalu. Saat itu, dia hanya ingin membaca, tapi gadis di sebelahnya sibuk bercerita tentang banyak hal, termasuk buku yang ia baca, langit Singapura sampai pilihan makanan, pokoknya selalu mengusiknya dengan obrolan - obrolan absurd. Sore ini Dhannis malah harus menerima kenyataan kalau gadis itu duduk lagi di hadapannya sebagai pasien, bukan sesama penumpang.
Suster Tia masuk kembali ke ruangan setelah mengantarkan dokumen ke nurse station. Ia sempat heran mendengar percakapan di luar urusan medis ketika baru saja membuka pintu ruang praktek, soal cosplay? Pesawat? Rasanya dokter Dhannis bukanlah tipe yang suka ngobrol panjang, apalagi melucu dan membuat pasiennya tersenyum. Tapi saat melihat pasien yang duduk dengan ekspresi penuh rasa puas itu, ia mulai menyadari, sepertinya mereka saling kenal.
Ina sempat melirik suster yang baru masuk, lalu berbisik pada Dhannis, "Boleh nggak, jangan tegang banget? Ntar saya yang sembuh, dokternya malah stres."
Dhannis meletakkan tangannya di atas meja, menatap Ina dengan tenang.
"Saya profesional, bu Zellina. Jadi tolong serius, ini konsultasi medis."
Tiba - tiba Dhannis berubah serius, mungkin malu juga kalau percakapan aneh ini sampai didengar susternya.
Ina hanya mengedikkan bahunya dan tersenyum tipis. "Saya bisa diajak serius kok."
Dhannis melotot.
"Ehm ... maksud saya ini serius, gatal ini beneran ganggu banget, apalagi kalau malam, tidur saya jadi nggak nyenyak."
Dhannis akhirnya mengalihkan perhatian ke catatan medis Ina lagi.
"Baik, nanti kita periksa dulu. Kalau memang dari alergi, saya akan rujuk ke spesialis. Tapi kalau dari gaya hidup ... mungkin kamu memang butuh ruang lebih banyak untuk istirahat."
"Dan cinta," gumam Ina pelan, nyaris tak terdengar.
Tapi entah kenapa, Dhannis seperti menangkap kalimat itu.
Mata mereka sempat bertemu sesaat. Sunyi. Tak ada dialog setelahnya, tapi suasana ruangan itu berubah lebih lambat, lebih dalam. Bukan karena gatal di punggung atau kuku yang terlalu panjang, tapi karena dua hati yang entah mengapa, sedang mengukur jarak yang tak mereka sadari.
Suster Tia hanya bisa menahan senyum tipis. Untuk pertama kalinya, dokter pendiam itu tampak ... hidup. Tadi memang dokter Dhannis sempat menyebut pasien ini dengan panggilan 'bu Zellina', tapi seketika berubah lagi menjadi memanggil 'kamu' pada pasiennya ini dan itu sama sekali belum pernah terjadi.
Dhannis berdehem. "Ada keluhan lain?"
"Nggak ada ... kecuali dokter yang sedang saya datangi ini nggak mau lihat wajah pasiennya saat konsultasi."
Dhannis akhirnya menatapnya lagi. "Kamu serius mau periksa atau cuma mau ganggu hidup orang?"
"Saya serius, dok, gatal - gatal saya ini parah dibagian punggung, dan akhir - akhir ini napas juga kadang sesak, apalagi pas tarik napas panjang. Awalnya saya pikir masuk angin. Tapi ya ... siapa tahu patah hati karena dicuekin dokter dingin."
Dhannis menahan tawa dengan perasaan agak kesal sebenarnya. Perempuan ini terlalu santai untuk situasi klinis. Tapi ia harus tetap profesional.
"Tidur di situ, buka jaketnya, saya mau periksa," ucapnya sambil menunjuk ranjang pemeriksaan dekat suster Tia.
Zellina mencibir kecil. "Langsung? Waduh, Dok ... kita baru ketemu dua kali."
Dhannis mendelik tajam.
"Oke, oke," ucap Ina cepat, lalu perlahan membuka resleting jaketnya yang tidak terlalu tebal, memperlihatkan atasan blouse putih yang rapi.
"Silakan, Bu," ujar suster Tia, mengarahkan Zellina berbaring di tempat tidur.
Saat Dhannis berdiri dan mulai memeriksa, Zellina tetap tidak bisa diam.
"Tapi jujur, saya suka banget aroma di ruangan ini. Kamu pakai diffuser, ya? Relaxing banget," puji Ina.
"Tarik napas dalam, buang. Lagi."
Alih - alih menjawab ocehan Ina, Dhannis tetap fokus memeriksa, menempelkan stetoskop dengan tenang ke d**a Zellina.
"Kamu tahu nggak, suara kamu tuh cocok banget buat voice-over meditasi. Adem nyess rasanya, menenangkan. Kalo diputer berulang - ulang efeknya pasti luar biasa."
"Zellina, bisa fokus sedikit?" Dhannis mulai jengah, apalagi suster Tia sampai membuang tatapannya menahan tawa.
"Ina, dok."
Dhannis menghela napas pelan. "Putar badannya, Saya mau lihat punggungnya," perintah Dhannis sambil mengambil sarung tangan dan memakainya.
"Buka baju sekalian, nggak nih?" tanya Zellina polos sambil menyentuh kancing blousenya.
"Eh ... nggak usah!" sahut Dhannis sedikit panik, ekspresi kagetnya itu tak bisa disembunyikan.
"Belakangnya aja yang akan disingkap, bu," jelas suster Tia cepat, berusaha menjaga batas profesional.
"O gitu, kirain sama kayak jaket saya tadi," jawab Zellina dan membalik badan membelakangi Dhannis lalu menghadap ke arah suster Tia. Meski berusaha bersikap biasa, Dhannis tidak bisa menampik bahwa dia agak terpengaruh juga saat melihat kulit punggung yang bersih dan mulus itu. Tapi ia tetap fokus, memeriksa ruam merah dengan hati - hati.
Selesai memeriksa, Dhannis kembali melepas sarung tangannya dan mencuci tangannya di wastafel, lalu duduk kembali di kursi kerjanya. Ia mencatat hasilnya di laptop.
Ina yang sudah rapi juga langsung kembali ke tempat duduknya. Ia mengaambil tas kecil dan jaketnya tadi yang sempat ia letakkan diatas kursinya, sebelum ia duduk.
"Gejalanya tidak mengkhawatirkan. Bisa karena sedang banyak pikiran atau kelelahan. Saya resepkan salep untuk ruam, obat gatal, dan vitamin. Yang paling penting, istirahat cukup, jangan stres."
"Kalau gitu, kamu mau nggak nemenin saya ke kafetaria? Siapa tahu bisa bikin lebih rileks," goda Zellina sambil memiringkan kepala.
"Resep kamu nanti siap di luar. Minum tiga kali sehari setelah makan. Hindari kopi berlebihan."
Zellina cemberut ucapannya diabaikan begitu saja, tapi bukan zelina namanya kalau tidak mengembangkan senyum isengnya,"kalau besok atau lusa saya datang lagi, kamu masih mau terima saya sebagai pasien, nggak?"
"Saya justru mendoakan semua pasien saya cepat sembuh supaya nggak perlu balik lagi."
"Sayang sekali ... padahal saya udah mau nanya di tempat pendaftaran, siapa tahu bisa beli tiket langganan buat konsul sama dokter Dhannis ... eh, nama lengkap kamu siapa sih?"
"Dokter Dhannis Azde Mahendra, Bu," jawab suster Tia yang melihat dokter Dhannis hanya diam saja.
"Pasien selanjutnya, Sus," potong Dhannis tanpa melihat ke arah Ina.
"Ih, galak amat. Saya diusir nih ceritanya?" goda Zellina lagi.
"Saya masih ada pasien lain yang menunggu," jawab Dhannis.
"Oke ... oke, makasih udah periksa saya," jawab Ina sambil berdiri, ia mengangkat tasnya siap untuk pergi.
Ina melangkahkan kakinya menuju pintu keluar di mana suster Tia sudah membukakannya karena bersiap memanggil pasien terakhir.
Dhannis menatap datar kepergian Ina.
Tapi sebelum ia benar - benar keluar dari ruangan tersebut, Ina sempat menoleh ke belakang kembali menatap ke arah Dhannis yang sempat gelagapan karena tertangkap basah sedang melihat ke arahnya, Dhannis tidak menyangka Ina akan menoleh ke belakang lagi.
"Baiklah ... dunia ini ternyata sempit kayak pesawat airbus kita kemarin, dok. Sampai jumpa lagi. Semoga nggak bosen ketemu saya."
Pintu tertutup pelan. Hening sejenak.
Dhannis menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menatap langit - langit ruangan, dan menghela napas panjang.
"Apa katanya tadi, nggak bosen ketemu dia? PD banget sih dia? Ada gitu orang badak banget, ya. Salah apa sih gue ... sampe ketemu cewek nggak jelas itu lagi?"
*
Selesai pasien terakhir keluar dari ruangannya, Dhannis melirik jam tangannya, sudah pukul lima lewat , bahkan sudah hampir jam setengah enam, dan perutnya sudah lama keroncongan. Wajar saja karena tadi ia melewatkan sarapan dan langsung brunch, dan setelahnya ia juga melewatkan makan siang karena masih kenyang dan juga pasien yang datang bertubi - tubi.
Ia menghela napas kecil lalu berbalik arah menuju kafetaria rumah sakit, berharap masih sempat mengganjal perut sebelum pulang.
"Dhan..."
Langkahnya tertahan. Ia menoleh pelan, suara itu terlalu familiar untuk diabaikan.
"O hai," balasnya singkat, sekilas menatap Yuke sebelum kembali melangkah.
Yuke yang dari tadi rupanya menunggu momen itu langsung menyusul, menyesuaikan langkahnya yang lebih cepat.
"Baru selesai praktik?" tanyanya, berusaha membuka percakapan seperti biasa, padahal jelas - jelas ia menunggu Dhannis keluar dari ruangannya.
"Iya," jawab Dhannis, pendek.
"Mau langsung pulang?"
"Mau makan dulu. Siang tadi nggak sempat makan."
"Ooh …" Yuke mengangguk - angguk.
Dhannis terus berjalan tanpa ada taggapan lain.
"Kamu baru balik dari Singapura jam berapa tadi pagi?" tanya Yuke lagi.
"Udah dari dua hari yang lalu."
"Lho, bukannya kamu bilang baru pulang Senin pagi?" tanya yuke agak kaget, waktu sebelum berangkat Dhannis bilang akan pulang Senin pagi.
"Berubah," jawab Dhannis tanpa ekspresi, seperti biasa.
Yuke hanya bisa terdiam. Ada nada datar dalam jawaban itu yang sulit ia tembus, seperti tembok yang dingin dan rapat. Setahun ini ia mencoba mendekati Dhannis, pelan - pelan, tanpa paksaan dan hanya mengikuti saja. Tapi sepertinya pria itu tetap menjadi teka - teki yang tak bisa dibuka dengan logika biasa.
Sesampainya di depan kafetaria, Dhannis berhenti. Ia menoleh ke Yuke sejenak. "Saya mau ke sini. Kalau kamu mau lanjut, silahkan."
Yuke ragu sepersekian detik, tapi senyum tipis segera mengembang di wajahnya. Kesempatan seperti ini jarang terjadi, lagi pula ada yang akan ditanyakannya ke Dhannis dan itu perlu suasana sedikit santai.
"Aku masih punya waktu setengah jam sebelum giliran praktik. Aku temenin, ya."
Dhannis tidak menjawab, ia melanjutkan langkah diikuti Yuke.
Mereka masuk ke kafetaria yang sudah ramai tapi masih ada dua atau tiga meja yang kosong. Udara dingin bercampur aroma kopi menyambut mereka. Suara gelas atau piring yang beradu dengan sendok dan langkah - langkah pramusaji yang membereskan meja yang baru ditinggal pelanggannya terdengar sebagai latar, menghadirkan kesan sibuk di sore yang mulai mengendur.
Mereka memilih duduk di salah satu meja yang kosong saja secara random. Dari sana, cahaya matahari sore yang mulai meredup menembus kaca, menumpahkan semburat keemasan di atas permukaan meja. Bias cahaya itu menciptakan bayangan lembut yang menari di antara cangkir dan piring saji, seolah menjadi latar alami dari sebuah adegan yang akan mulai dipentaskan.
Dhannis menarik kursi dengan santai, lalu duduk tanpa banyak bicara. Tapi matanya sempat melirik ke arah meja di sampingnya, benar - benar bersebelahan meja dari tempatnya duduk sekarang. Di sana, seorang perempuan duduk sendiri, wajahnya tertunduk, fokus pada makanan yang tampaknya bahkan belum disentuh. Rambutnya tergerai dan sebagian menutupi wajah, tapi Dhannis tahu persis siapa dia, Dhannis tahu dari baju yang dipakainya, postur tubuhnya, tas yaang dibawanya, pokoknya Dhannis sangat tahu siapa dia.
Ina.
Pasien yang beberapa saat lalu baru keluar dari ruang praktiknya. Wajah yang mudah dikenali karena ekspresi ekspresif dan gaya bicaranya yang cepat, penuh energi dan sangat kontras dengan suasananya saat ini yang tampak hening, di meja itu, bahkan nyaris suram.
Dhannis tidak menegur. Saat ini ia memilih pura - pura tidak melihat. Tapi dengan sengaja memilih duduk cukup dekat dengan cara menggeser kursi dan mejanya, sampai Yuke menatapnya heran,"Kenapa?"
"Kayaknya terlalu rapat ke sebelah sana, orang susah lewat,"jawab Dhannis, padahal bukan itu alasan sebenarnya, ia ingin agar suara percakapannya bisa terdengar jelas dari tempat Ina duduk. Ia tidak tahu apakah Ina sudah menyadari kehadirannya atau belum, tapi yang jelas, dengan posisi seperti ini, setiap kata yang ia ucapkan bisa saja menjadi umpan bagi telinga yang mungkin diam - diam mendengarkan.
Dhannis tidak perlu membuka buku menu yang diberikan pramusaji yang menghampiri mereka, dia sudah tahu apa yang dia inginkan sebagai makan sore menjelang malam.
"Kamu mau makan apa?" tanya Dhannis ke Yuke sebelum pramusaji yang melayaninya pergi.
Yuke menolak karena ia sudah makan, lalu pramusaji itu meninggalkan meja mereka.
Mata Dhannis kembali melirik ke arah meja Ina walau hanya sekali lewat saja. Ina masih dengan posisi yang sama tertunduk, satu tangannya menopang dagu, sementara tangan lainnya tampak menggenggam sendok tanpa niat memakainya.
Satu sisi, mulut Dhannis terangkat membentuk senyum tipis yang samar. Ia tidak tahu kenapa ada sedikit rasa puas melihat reaksi diam dari perempuan di meja sebelah itu, atau mungkin karena tidak adanya reaksi apa pun justru yang membuatnya tertarik? Hmm ... Dhannis tidak yakin, tapi ia adalah keturunan Azkiasa Mahendra, raja usil di keluarga besarnya, kini ia ingin memainkan perannya disini, tentu saja sasarannya adalah Zellina yang katanya cewek no drama anti baper, apa iya? Siapa tahu cara yang akan dipakainya sekarang ini malah berhasil membuat cewek berisik ini tidak menganggunya lagi dan tidak akan muncul lagi dihadapannya.