Penyesalan

1560 Words
POV Dhannis Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka Yuke akan ikut masuk ke kafetaria bersamaku. Biasanya ia cukup tahu diri soal batas. Dia tahu aku tidak suka keramaian, tidak nyaman menjadi pusat perhatian, dan paling malas kalau harus duduk ngobrol berdua lalu harus berurusan dengan sorot mata penasaran orang-orang melihat ke arah kami. Jadi aku memang lebih senang kalau duduk sendiri dan orang-orang tidak peduli denganku. Tapi hari ini berbeda. Padahal jam praktiknya sendiri hampir dimulai, tapi dia tetap saja melangkah bersamaku hingga ke dalam kafetaria, bahkan kini duduk di kursi di seberangku, Seolah siap mengajakku ngobrol santai padahal waktunya sempit. Awalnya kupikir dia hanya akan mengantarku sampai pintu seperti biasa. Soalnya setiap aku selesai praktek, aku sering sekali bertemu dengannya secara tidak sengaja, tahu-tahu dia sudah muncul di belakangku, mungkin ia mau menuju tempat ruangannya, karena ia memang praktek malam, yang mana itu berarti setelah jam praktek ku selesai, jadi biasanya kami ngobrol sambil jalan, dan Aku pastikan hanya obrolan ringan penuh basa-basi, aku sudah hafal dengan gaya itu. Tapi tidak untuk kali ini, dia duduk, tenang, diam tapi sepenuhnya hadir. Dan tanpa ia sadari, keputusannya untuk tinggal justru memberi efek tak terduga, aku jadi punya alasan kuat untuk menjaga jarak dari seseorang yang sejak tadi berusaha mencuri perhatianku dalam sikap diamnya dari meja sebelah. Zellina. Ia duduk sendirian di meja nomor tiga belas. Nomor sial? Atau... mungkin bukan meja itu yang sial. Mungkin aku yang apes karena hari ini harus berurusan lagi dengannya. Aku masih belum selesai memproses kejutan di ruang praktik tadi. Kupikir hari ini akan menjadi hari yang biasa menerima pasien, mendengar keluhan, memberi penanganan dan selesai, tapi nama yang dipanggil oleh suster Tia tadi, Zellina Aryani sebagai pasien nomor tiga belas, merubah kebiasaanku saat praktik. Nomor tiga belas. Sama seperti nomor kursi pesawat waktu kami terbang dari Singapura tempo hari. Tiga belas A dan B. Aku masih ingat betul karena sepanjang penerbangan itu, aku terjebak dalam percakapan yang tidak kuinginkan, tapi tidak bisa kuhindari. Dan sekarang dia kembali, dengan nomor yang sama, seolah alam semesta sedang bersenang-senang mempermainkanku. Konsultasi tadi berlangsung canggung, setidaknya bagiku. Tapi bukan karena aku gugup. Aku hanya tidak siap dengan sikapnya yang begitu santai, seolah kami sedang mengobrol di kafe, bukan di ruang praktik seorang dokter. Ia duduk di kursi pasien dengan posisi santai, sesekali menyibakkan rambutnya, dan berbicara dengan intonasi yang terlalu akrab untuk ukuran pertemuan profesional. "Kamu tahu nggak, suara kamu tuh cocok banget buat voice-over meditasi. Adem nyess rasanya, menenangkan. Kalo diputer berulang - ulang efeknya pasti luar biasa." Bisa-bisanya dia bicara seperti itu di depan suster Tia juga. Kalimat itu memang terdengar ringan, dan itu bukan basa-basi, aku yakin ia mengatakan itu karena memang itu yang ada dalam pikirannya. Tapi kan masalahnya itu bukan ucapan kasual dari pasien ke dokter. Dan aku tak tahu, entah aku terlalu sensitif, atau memang feelingku selalu benar kalau dia sedang mencoba masuk ke celah hidupku yang selalu kututup rapat. Sekarang, ia duduk hanya bersebelahan meja dari tempatku dan Yuke duduk. Masih dengan segelas jus jeruk di tangannya. Rambutnya dibiarkan tergerai, sebagian menutupi wajahnya. Jelas saja aku tidak bisa melihat wajahnya dari tempat dudukku. Ia pura-pura tidak peduli, tapi tubuhnya menegang. Bahunya tidak rileks seperti biasanya. Dan posisi duduknya menyudut, seperti orang yang berusaha menyembunyikan keberadaan seseorang yang tak ingin terlihat, atau justru ingin terlihat, tapi dengan cara yang dramatis? Aku tahu dia melihatku. Dan aku tahu, dia pasti melihat Yuke juga ketika kami masuk tadi. Mungkin ia sedang menunggu sesuatu. Mungkin dia berharap aku akan menghampirinya, atau sekadar menatap balik sekaligus menyapanya. Tapi aku tidak akan memberinya itu. Hari ini, aku ingin tegas. Tidak dengan sindiran. Tidak dengan bahasa tubuh ambigu yang mudah disalahartikan. Aku tidak ingin menciptakan ruang abu-abu, karena aku tahu, orang seperti Ina bisa menyusup dari celah sekecil apapun dan mengacaukan hidupku. Aku menegakkan punggungku. Mencoba menunjukkan bahwa keberadaan Yuke bukan kebetulan. Hal yang tidak pernah aku lakukan yaitu bertanya kepada Yuke, sekarang aku lakukan. Aku ingin Ina mengerti. Bukan lewat kata-kata pedas atau sikap dingin yang bisa ditafsirkan macam-macam. Tapi lewat pemandangan paling sederhana, aku duduk bersama Yuke, menanyakannya soal makan tapi dengan cara yang halus, dan tidak menoleh sedikit pun ke arah meja nomor tiga belas. Karena sesederhana itu caraku berkata, ‘cukup, jangan pernah ganggu aku lagi’. Tapi kenapa setelah apa yang ada di kepalaku ini aku lakukan … d**a ini malah terasa sesak? Sebenarnya tadi langkahku sempat ragu ketika hendak berjalan menuju wastafel, tapi entah kenapa aku kembali menoleh dan berhenti di depannya. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk mengabadikan sorot mata itu, mata yang sempat menatapku penuh, sebelum buru-buru menunduk lagi, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak ingin kulihat. Tapi aku sudah melihatnya. Sorot itu... terpancar entah dari bagian mana, entah sedih, entah kecewa, atau mungkin kombinasi keduanya. Apa pun itu, cukup untuk menghentikan langkahku menuju wastafel. Padahal harusnya aku terus berjalan. Harusnya tidak usah menoleh, apalagi menyapa. Tapi entah kenapa... kakiku seperti menancap ke lantai. Aku tidak bisa bergerak. Hanya diam di tempat, lalu berbalik. Dan saat ia bertanya lirih, nyaris seperti desahan angin yang menyelinap di sela bising kafetaria aku tahu, tidak ada jalan kembali. "Datang sama siapa?" Suaranya begitu rapuh. Tidak seperti Ina yang kukenal dua hari yang lalu, yang cerewetnya seperti badai, yang tawa dan ucapannya sama kerasnya. Tapi barusan... ia seperti daun kering yang jatuh perlahan, tak bersuara, hanya meninggalkan goresan kecil di tanah hati yang kupikir sudah tandus. Aku seharusnya diam. Aku bisa saja tidak menjawab, atau memberi senyum datar lalu pergi begitu saja. Tapi tidak. Bibir ini, dengan sendirinya, menjawab tanpa memikirkan konsekuensinya. "Itu... istri saya." Datar, tenang, jelas dan yang pasti pelan karena aku tidak ingin Yuke mendengarnya, syukurnya iya sibuk dengan hp-nya. Tapi aku sudah berkata bohong pada Ina. Kebohongan yang terasa seperti racun manis. Mengalir pelan, membius, tapi perlahan menyakitkan. Aku bahkan tidak tahu kenapa mulut ini memilih kalimat itu. Tadinya kupikir, mungkin itu cara paling singkat untuk menyudahi semuanya. Untuk menjauhkan kami. Untuk memberi garis batas yang tak bisa diseberangi. Ina tidak tahu kenyataannya, dan aku tidak berniat menjelaskannya. Aku ingin ini berhenti. Bukan karena benci, bukan karena marah Tapi karena aku tidak suka diganggu aku tidak suka diusili dan aku saat ini sedang ingin sendiri. Dan seperti permohonan yang diam-diam kukirim dalam hati, Ina benar-benar pergi. Ketika aku sudah selesai dari wastafel, tepatnya aku langsung ke toilet dulu tadi baru mencuci tangan, dan ketika aku kembali, meja nomor tiga belas sudah kosong. Tak ada lagi sosok perempuan dengan rambut tergerai. Hanya gelas jus jeruk yang masih menyisakan tiga perempat isinya, dan sepiring makanan yang masih utuh, tidak disentuh, seperti ditinggalkan dengan tergesa. Aku berdiri mematung, lalu bergumam nyaris tanpa suara, "Hilang…" "Hah?" Yuke yang baru saja menutup telepon menoleh ke arahku, alisnya terangkat. "Apa yang hilang, Dhan?" Aku menoleh sebentar, tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan apa pun yang bergejolak di d**a. "Nggak, tadi ada pasienku duduk di sana, kelihatan masih sakit." Jelas itu jawaban asal dan terkesan bodoh. Ya, Yuke juga menanggapi jawabanku dengan pendapatnya dan terdengar lucu saja, intinya dia bilang ini tuh Rumah Sakit ya tempat orang sakit yang sedang sakit. Bener kan kalau jawabanku tadi terdengar bodoh? Sejak Ina menghilang, suasana berubah. Atmosfer hangat kafetaria yang tadinya terasa seperti jeda dalam rutinitas kini berubah hambar. Makananku dingin. Aku makan karena memang aku harus makan, setiap suapan terasa seperti kewajiban semata, bukan kebutuhan. Bukan kenikmatan. Setelahnya, ini bukan karena Ina, ya, aku yakin bukan. Tapi entah kenapa, pikiranku terasa kacau. Ada semacam... lubang yang terbuka di d**a. Bukan luka. Lebih seperti ruang kosong, hampa gitu rasanya. Beruntung Yuke pamit tak lama kemudian. Jam praktiknya akan dimulai. Tentu saja tidak ada kalimat basa-basi untuk menahannya sejenak, aku hanya mengangguk tanpa banyak kata dan membiarkan ia meninggalkan kafetaria. Begitu ia pergi, aku duduk lebih dalam, bersandar, menatap ke arah meja yang sebelumnya ditempati Ina. Kosong. Tak ada tanda-tanda kehadirannya. Tak ada tawa renyah yang biasanya membuatku merasa terganggu tapi entah kenapa selalu kuingat. Tak ada celetukan berisik yang biasa ia lontarkan dengan percaya diri. Dan justru di tengah kekosongan itu, hening terasa paling bising. Seorang pramusaji datang menghampiri mejanya karena melihat meja itu kosong dan makanannya masih ada, Ia seperti bingung, apakah akan membersihkan meja itu atau membiarkan saja makanan di atasnya sambil menunggu orangnya datang lagi. Dan aku membantunya mengambil keputusan," Angkat aja mas, Orangnya sudah pergi." Kini aku menatap gelas minumku. Menyentuhnya dengan satu tangan. Tapi tangan ini... bergetar kecil, hampir tak terlihat. Tapi aku tahu, tubuh ini tidak bisa bohong. Kenapa rasanya seperti... kehilangan? Aku menarik napas panjang, mencoba menetralisir semuanya. Tapi semakin aku mengatur napas, semakin dadaku terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang belum selesai. Kalimat yang tak sempat diucapkan. Penjelasan yang tertahan. Atau mungkin... perasaan yang belum selesai. Hari ini, aku mungkin berhasil membuat Ina menjauh. Mungkin juga berhasil membuatnya percaya bahwa aku sudah punya kehidupan yang utuh. Tapi aku tak bisa menyangkal bahwa dalam proses itu... ada bagian dari diriku yang ikut pergi bersama langkahnya. Aku menutup mata sejenak. Dan untuk pertama kalinya hari ini, aku jujur pada diriku sendiri. Mungkin sebenarnya aku tidak benar-benar ingin dia pergi. Mungkin, aku hanya ingin dia bertanya lebih jauh. Dan... mungkin aku berharap, dia tidak akan percaya begitu saja pada kebohongan yang baru saja kuucapkan. Ah bercanda ku memang kelewatan, mungkin aku tidak berbakat seperti papaku yang bercandanya membuat orang lain tertawa, sedangkan aku bercanda malah membuat orang lain pergi, sial!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD