Non-Smoking area kawasan mansion milik Maxent, terlihat unik. Berada tepat dibawah kolam yang menyerupai lautan, lengkap dengan rumah karang, agar ikan hias peliharaan Maxent bisa tinggal lebih nyaman. Suhu ruangan terasa dingin, dengan sofa berwarna ungu gelap, dan meja bulat berlubang yang kian menambah kesan berbeda. Tamu serasa duduk di bawah genangan air. Bahkan, Marck pun takjub melihat konsep tersebut.
"Jadi, Vernon adalah anak kandungmu?" tanya Maxent. Menaruh gelas berisi lime juice. Ada mini table di tiap ujung sofa. Maxent meletakkan minumannya di situ.
"Ya. Tapi, kau tahu anak muda. Mereka melakukan hal nekat untuk mendapatkan sesuatu," keluh Marck. Ikut membasahi kerongkongan. Marck terpaksa mengungkap identitas Vernon, ia berbisnis besar dengan Maxent. Suatu hari nanti, putranyalah yang harus mewarisi kekayaan keluarga Resseauo. Akan sulit, jika Marck menipu.
"Tidak masalah. Dulu aku juga seperti itu. Dan, sebagai orang tua, kita hanya bisa melindungi mereka," jelas Maxent paham.
"Ya. Kau benar. Aku hanya ingin melindungi Vernon. Dia sekarang jauh lebih dewasa. Aku ingin menghargai keputusannya sementara."
"Kau orang tua yang hebat. Jika Alexander, dia mungkin akan menggantungku di patung anaconda!" kekeh Maxent.
"Alexander juga orang tua yang hebat. Dia bisa mendidikmu hingga sesukses sekarang." puji Marck. Mengulum senyum.
"Ya. Dia memang hebat," papar Maxent. Singkat.
"Oh ya Laura, dimana putrimu? Sejak tadi, aku belum melihatnya." Naomi mengedarkan mata. Berharap bisa melihat Savana dari jarak dekat.
"Aku sudah meminta seseorang untuk mencari Savana. Mungkin, dia masih bersama teman-temannya," papar Laura. Serak.
"Kau punya putri yang cantik dan cerdas. Jika kuliahnya selesai, kau bisa memberitahuku, mungkin, akan sangat cocok dengan Vernon. Kebetulan, dia saat ini melajang."
"Naomi," panggil Marck. Memperingati. Mengusap punggung tangan istrinya. Halus.
"Tidak masalah Mr. Resseauo." Laura membela. Melempar senyum tenang.
"Baiklah. Kalau begitu aku pamit. Vernon juga sepertinya sudah pulang. Dia tidak mengangkat panggilanku," papar Marck. Menggaruk pelipisnya yang tegas. Bergegas bangkit, bersamaan dengan Naomi.
"Terimakasih, karena sudah hadir di pesta ulang tahun putriku, meski tidak bisa mengenalnya langsung." Maxent turut berdiri. Melirik Laura meraih tiga paket paperbag berisi souvernir.
"Tidak masalah. Aku bisa mengenalnya nanti, waktu kita masih banyak." Marck memaklumi.
"Mrs. Resseauo ambillah. Aku titip untuk putramu juga," papar Laura.
"Kalian tidak perlu repot," keluh Naomi.
"Tidak masalah. Ini souvernir ulang tahun Savana. Kalian harus memilikinya sebagai kenang-kenangan."
"Savana sendiri yang memilih hadiahnya!" ulas Maxent. Membuat Naomi tersenyum. Meraih hadiah antusias, saat mendengar nama Savana.
"Terimakasih. Aku pasti akan menyimpannya," papar Naomi. Mengusap lengan Laura. Wanita itu mengangguk. Lega.
"Oh ya, bisakah kita rahasiakan bersama tentang Vernon? Jika mungkin kalian bertemu dengannya, perlakukan dia bukan seperti putraku!" pinta Marck. Menoleh Maxen, Laura bergantian.
"Kau bisa mempercayai kami," tegas Maxent. Menatap penuh janji.
***
Vernon berdiri, tegap. Membalut luka Savana yang telah bersih dari darah dan diolesi salep. Lukanya cukup lebar. Nyaris menyobek pembuluh darah. Sambil berkenalan, Savana menjelaskan, ia tidak sengaja menabrak Vas bunga. Lalu terjatuh tepat di pecahan kaca. Saat ia menyingkirkan salah satu beling, Vernon menyaksikan.
"Aku pikir, kau ingin bunuh diri," singgung Vernon. Melirik sekilas, menatap Savana. Lekat. Jarak mereka terlalu dekat, untuk orang yang baru saja saling mengenal.
"Aku masih muda. Untuk apa bunuh diri," celetuk Savana. Kesal. Vernon tidak menjawab, hanya mendengus, menanggapi gadis di depannya. Bunuh diri, bukan berdasarkan umur. Namun, berdasarkan faktor yang sering terjadi akibat depresi.
"Ngomong-ngomong, siapa yang mengundangmu ke pesta ulang tahunku?" tanya Savana.
"Pemilik kampus Resseauo yang mengajakku!" papar Vernon. Datar.
"Cih. Untuk apa dia mengajakmu," gumam Savana, membatin.
"Sudah selesai. Masih sakit?" tanya Vernon. Perhatian. Melepas tangan Savana. Gadis itu mundur. Menggerakkan lengan tangan.
"Sedikit," ujar Savana singkat.
"Ganti perban mu sehari sekali, jangan terkena air jika belum kering," titah Vernon. Mengemas perkakas pengobatan.
"Kau mahasiswa kedokteran Resseauo? Sepertinya, kau sangat pintar," papar Savana. Penuh tanya.
"Bukan!" Vernon menghela napas. Tersenyum ramah.
"Jika melihat tampilan darimu, kau seperti mahasiswa senior yang gagal mendapat predikat terbaik," hina Savana. Membuat Vernon tertusuk. Wait! What? Apa yang salah dengan penampilannya?
"Acara ulang tahun mu, bukan acara formal. Aku tidak perlu mengenakan suit lengkap dengan dasi kupu-kupu, 'kan?" tanya Vernon. Ketus.
Savana terkekeh, lepas. Menggelengkan kepala. Tidak bermaksud menghina. Namun, kalimat wanita itu seakan di benarkan Vernon pada akhirnya, saat ia melirik ke arah kaca yang memantulkan diri. Untuk acara ulang tahun yang menghadirkan Walikota, pemilik universitas bergengsi nomor tiga di Amerika, dan pejabat lain, Vernon memang harusnya mengenakan suit. Bukan kaos polos berwarna hitam hanya dengan jaket denim seperti mahasiswa yang baru saja di tendang keluar dari kampus.
"Boleh aku minta nomor ponselmu?" tanya Vernon. Mendadak. Mungkin, ingin mengalihkan pembicaraan.
"Untuk apa?"
"Jika bisa aku ingin mengajakmu ke Villa milikku besok," ajak Vernon. Tidak ragu. Savana sejenak bungkam. Menggigit ujung jarinya seperti bocah. Vernon mengangkat alis, mengeluarkan ponsel dari saku jaket.
"Baiklah. Kebetulan kegiatan kampus belum terlalu sibuk," papar Savana. Mengangguk setuju. Sigap meraih ponsel Vernon. Mencatat nomor ponselnya.
"Simpan nomorku juga!" pinta Vernon. Membuat Savana mengangguk. Menurut seperti niatnya.
Sedikit penjelasan, berbeda dari kampus lainnya, Resseauo memiliki program tour selama dua bulan untuk mahasiswa baru. Selama itu, mereka lebih di kenalkan dengan riset alam dan seputar bangunan kampus. Sama sekali belum melakukan pendekatan terhadap dosen manapun. Sementara, hanya berkaitan dengan alumni mahasiswa berprestasi yang mendapatkan tunjangan keuangan dan fasilitas khusus dari dewan direksi Resseauo.
"Thanks," ucap Vernon. Terdengar senang. Menyambut ponselnya kembali dari Savana setelah mendapatkan nomor ponsel gadis itu.
"Savana!" berat. Serak. Panggil dari seorang pria dari arah lain. Membuat pemilik nama, beserta Vernon lekas menoleh. Seketika, senyum di wajah Savana pudar. Berubah kesal.
"Victor!" dengus Savana. Menahan diri.
"Sedang apa kau di sini? Hmm? Pesta ulang tahun mu belum selesai, 'kan?" Victor mendekat. Menangkup wajah Savana dengan kedua tangan. Menatap gadis itu dekat. Vernon diam. Memerhatikan tanpa suara.
"Aku hanya ingin mengambil Champagne," Savana menepis mundur. Menarik napasnya dalam. Sedikit, suaranya terdengar serak.
"Siapa kau? Kenapa berada di sini dengan Savana?" tanya Victor. Menatap Vernon.
"Dia temanku. Vernon ayo, bantu aku! Bukankah kita harus mengambil Champagne?" tanya Savana. Melebarkan senyum. Bertahan untuk bersikap biasa. Untuk pertama kalinya, Savana menghindari Victor. Bayangan pria itu saat meniduri wanita lain melintas di benaknya. Sungguh, menjijikan.
"Ya!" Vernon mengangguk. Memilih bersikap santai. Dan masing-masing meraih satu botol Champagne, sama seperti yang dilakukan Savana. Mereka lantas bergerak keluar.
Victor menegapkan tubuh. Menatap cara Savana menghindar. Ia mengerutkan kening. Memerhatikan gadis itu dan Vernon hingga lepas dari pandangan. "Tidak mungkin Savana yang melihatku!" pikir Victor. Menghela napas.
Sementara, Vernon mendadak menghentikan langkah. Savana menggenggam salah satu tangannya. Rapat. Dingin dan bergetar. Vernon khawatir.
"Kenapa?" tanya Savana. Belum terlalu sadar. Bahwa sejak keluar dari champagne room, ia hanya diam tanpa suara. Sambil menyeret Vernon untuk kembali ke pesta.
"Kau punya masalah dengan pria yang tadi?" tanya Vernon. Penasaran.
Savana menutup mulut. Menelan ludah cukup kasar. Ia membuang muka. Menunduk hening. Vernon semakin curiga. Lalu memilih untuk menarik botol champagne dari tangan Savana dan menaruh keduanya di tanah, sementara waktu.
"Kita mungkin baru kenal. Tapi kau bisa mengatakan apapun padaku!" pinta Vernon. Menegaskan. Memegang pundak Savana, sambil menekan-nekannya kuat.
Savana terisak. Menggigit bibir bawahnya kuat. Sedikitpun, gadis itu tidak bersuara. Hanya menggeleng kecil.
"Savana!" Vernon menghela napas. Tidak memaksa. Namun, perlahan mendekat. Memeluk Savana. Hebatnya, wanita itu langsung menyambut. Lalu menangis keras. Demi Tuhan, untuk pertama kali, hanya pada Vernon ia menunjukkan kelemahannya. Savana terbawa suasana. Mungkin, karena mereka baru mengenal, Savana lebih mudah berekspresi.
***
Resseaou University | Satu hari berikutnya.
"Bagaimana? Sudah lepas?" tanya Lily.
"Apanya?" balas Savana. Bingung.
"Keperawanan yang katanya mau kau lepaskan!" sarkas Lily. Menaruh salah satu tangan di pinggul.
"Belum. Aku pikir, hal seperti itu bisa lepas pasang dengan mudah!"
"Kau pikir, onderdil mobil?" timpal Savana. Memerhatikan Lyli Menaruh tumpukan buku ke atas meja. Savana terkekeh, serak, menggeleng kepala.
"Aku tidak menyangka kalau kau percaya dengan kalimatku yang itu!" papar Savana.
"Kau terdengar meyakinkan! Ingat, ya. Aku tidak peduli kapan kau mulai mencoba untuk berhubungan seks seperti remaja normal. Tapi, setidaknya pilih lelaki yang baik. Kau harus menyayangi tubuhmu!"
"Kau terdengar begitu membenci Victor!" singgung Savana.
"Ya. Apalagi mendengar ceritamu semalam. Ck. Heran saja, kenapa dia begitu berengsek. Bukannya menemui mu dan memberi selamat, tapi, malah bercinta dengan orang asing di mansion daddy-mu tepat dihari penting bagimu. Oh ya, kau lihat wajah wanitanya?" tanya Lily. Penasaran.
"Untuk apa aku melihatnya? Mengingat itu, membuatku mual," decak Savana.
"Lalu, ceritakan tentang pria yang kau temui di champagne room daddy-mu semalam."
"Vernon?" sebut Savana. Sigap.
"Jadi, namanya Vernon?" Lily tersenyum. Mengangkat kedua alis. Jelas menggoda sahabatnya.
"Aku ada janji dengannya siang ini." Savana senyum-senyum. Memegang pengait aksesoris bag berbentuk roti bakar bermerk Prada. Unik dan hanya ada dua di dunia. Kiriman dari bibi nya di Florida. Caroline Hodgue. Mama dari anak kembar itu rutin mengirim, hampir tiap bulan. Bukan tanpa sebab, Savana kini menjadi model promosi Caroline. Ia dibayar.
"Janji dengan pria bernama Vernon itu?" tanya Lily kaget. Menekan dadanya yang berdetak kencang.
"Ya. Dia mengajakku mengunjungi Villa-nya."
"Hah! Sungguh? Serius?" teriak Lily bangkit dari tempatnya.
"Iya, Lily. Kenapa kau begitu terkejut?" tanya Savana. Heran.
"Aku senang karena kau tidak berniat untuk tetap menaruh hati dengan Victor!"
"Ayolah, Lily. Pria ini baru ku kenal. Aku memenuhi undangannya karena dia yang mengobati lukaku, dan Victor, aku masih memikirkan perasaan terhadapnya."
"Hmm. Kau pasti akan melupakannya, dan aku berharap, semoga terjadi sesuatu yang iya-iya dengan pria bernama Vernon ini!"
"Maksudmu iya-iya?" tanya Savana. Rancu. Polos.
"Pokonya begitu. Ya sudah, aku pergi dulu. Selamat bersenang-senang. Bye!"
"Lily wait! Buku mu, ketinggalan." Savana bicara terbata. Memungut semua barang milik Lily dan membawanya berlari, mengejar sahabatnya tersebut. Hampir saja, Savana jatuh. Namun, tetap berhasil menyeimbangkan tubuh. Melanjutkan langkah.
Sementara, dari kejauhan tempat. Kilat mata Vernon mendelik bulat. Ia tersenyum, tipis. Memerhatikan Savana. Gadis itu lincah. Terlebih ceria, berbeda dari apa yang sempat ia lihat semalam. Mungkin, pertemuan mereka siang nanti akan lebih menyenangkan. Hingga saat ini, Savana belum mengetahui status tentang Vernon. Mereka belum saling berpapasan di universitas.
"Professor," leguh seorang pria. Mengusik ketenangan Vernon. Sontak, pria itu menoleh. Memerhatikan sumber suara.
"Ya?"
"Mr. Marck Resseuao ingin menemui mu di ruangannya!" papar pria tersebut. Menyampaikan informasi. Vernon menghela napas. Membenarkan suit-nya sejenak.
"Kenapa dia malah datang ke sini terus menerus," batin Vernon. Terpaksa memenuhi panggilan.
***
"Ada apa lagi, dad?" tanya Vernon. Berdecak sarkas. Begitu memasuki ruang utama dari orang nomor satu kampus.
"Kenapa semalam kau kabur?" leguh Marck. Menatap kecewa.
"Aku tidak kabur, dad. Kalian yang meninggalkanku di sana!" papar Vernon. Begitu mengingat, dengan terpaksa ia memesan uber untuk pulang. Tahu begitu, ia harusnya menaiki mobil terpisah.
"Aku menelpon mu beberapa kali! Kenapa tidak di angkat?"
"Aku bersama Savana, di champagne room." aku Vernon. Tidak ingin menutupi apapun. Bukan masalah besar baginya.
"Wait. Savana Morgan? Apa yang kalian lakukan?" tanya Marck. Penuh pertanyaan.
"Aku hanya mengobatinya. Tangan Savana terluka!"
"Apa yang terjadi?"
"Entahlah!" dengus Vernon. Memilih diam.
"Mommy mu menyukai gadis itu. Jika di lihat Savana cocok menjadi istrimu!"
Uhuk!
Vernon batuk. Begitu tersedak hingga dadanya sakit. Marck sepertinya sudah gila.
"Kenapa kau terkejut?" tanya Marck. Curiga.
"Kau bilang istri. Aku bahkan tidak pernah membayangkan pernikahan."
"Tapi, akui saja. Dia memang cantik, 'kan? Tenang saja, daddy tidak akan mengatakan apapun dengan Maxent Morgan!" bujuk Marck. Membuat Vernon salah tingkah.
"Dad, dia masih sangat muda. Jangan membayanginya dengan pernikahan."
"Artinya, kau mau jika dia selesai kuliah, 'kan?" tanya Marck. Mengulum senyum.
"Aku baru mengenalnya, dan biarkan dia belajar dengan baik di Resseaou. Aku permisi," tegas Vernon. Kesal. Melangkah keluar, meninggalkan Marck sendiri.
"Dasar. Anak muda. Dia pikir Asher tidak memberitahu ku apa yang terjadi semalam. Ck!" Marck berdecak. Menggaruk kepalanya yang gatal. Lalu, beberapa saat kemudian, Marck tersenyum. Mengingat laporan Asher yang sengaja ia kirim untuk mengawasi Vernon.
"Aku melihat tuan muda berpelukan dengan Savana. Mereka mungkin memiliki hubungan spesial."
Huh! Akibat kejadian semalam. Semua orang salah paham, dan Marck kini bermimpi untuk mendekatkan Savana dan Vernon. Oh, dia dan Naomi ingin putranya segera menikah, lalu memiliki anak yang lucu seperti Rachella. Marck yakin, dengan begitu, Vernon akan mengambil hak atas perusahaan.