Subuh tadi. Vernon dan Savana mengulang keintiman yang sama. Dua kali, menyebabkan Savana tampaknya terbangun begitu siang. Ia tertidur pulas. Menutup mata begitu rapat, bahkan tanpa berpakaian. Hanya selimut tebal berwarna putih yang membungkus tubuhnya. Sementara Vernon, tidak lagi terlihat. Ia biasa bangun pagi, apapun yang terjadi. Pria disiplin.
"Kau sudah minta pelayan menaruh apa yang aku minta di kamar?" tanya Vernon. Berolahraga pagi. Berdiri pada pinggir jurang curam. Tempatnya biasa menyendiri. Menghadap pohon menjulang tinggi.
"Sudah. Aku juga sudah membeli pakaian baru," papar Asher. Mengulum senyum.
"Thanks," ujar Vernon. Menarik napasnya dalam. Melirik ke arah Villa. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat jelas, sisi balkon kamar miliknya. Belum ada tanda dari Savana.
"Kau tampak bersemangat hari ini, apa karena Savana? tanya Asher. Tanpa mengalihkan pandangan.
"Kau tidak memberitahu daddy, 'kan?" tanya Vernon. Memastikan.
"Tentu saja tidak." Asher tersenyum. Berbohong tanpa dosa.
"Jangan katakan padanya, apapun yang kau lihat di Villa. Aku tidak ingin dia ikut campur!" pinta Vernon. Tegas. Jelas.
"Baik. Aku akan berusaha merahasiakannya!"
"Hmm...." Vernon hanya bergumam. Tidak yakin bahwa Asher bisa dipercaya. Pria itu setia pada keluarganya. Terlebih Marck, yang jelas membiayai hidup dan pendidikan bahkan gajinya sekarang. Vernon tidak ingin buang uang untuk membayar seseorang yang berusaha tetap di sisinya. Biarkan Marck.
"Aku masuk dulu. Jika Savana sudah bangun, aku akan mengatakan padanya kalau kau di sini."
"Ya!" angguk Vernon. Sekali lagi melirik balkon. Tidak tenang. Menunggu Savana bangun.
***
Beberapa menit berlalu, Savana mulai bergerak. Tersentak bangun, saat mendengar ponselnya berdering. Ah! Sial sekali. Ia bahkan masih mengantuk. Namun, tetap saja, Savana harus meraih benda mungil itu untuk memeriksa. Mungkin Laura, ia belum mengabari mommy-nya hari ini.
"Ya. Mom?" serak. Savana menjawab. Setelah memastikan layar.
"Savana kau dimana? Kenapa belum pulang? Mommy mengkhawatirkan mu!" timpal Laura. Terdengar suara sepatu mondar-mandir.
"Aku pulang sebentar lagi. Lagipula, ini hari sabtu. Kampus libur." Savana menguap. Lekas merenggangkan tubuh.
"Tapi tetap saja. Kau harus pulang. Victor menunggumu di mansion. Dia bilang kau akan menemuinya semalam. Kenapa menghilang?"
"Nanti aku hubungi dia lagi. Sekarang aku masih sibuk."
"Savana." Laura memanggil. Tegas.
"Bye. Mom!" tutup Savana. Malas mendengar. Ia masih letih. Tenaganya seakan terkuras habis. Jujur saja, Savana masih ingin tidur. Namun, rasa haus memaksanya bangun, dan saat ia membuka mata, Savana memerhatikan tray berisi sarapan dan segelas coklat panas. Tampaknya, seseorang baru saja menaruhnya.
Dengan langkah buru-buru, Savana bangkit. Memasang bathrobe yang letaknya tidak jauh. Memang tersedia. Lalu, segera melangkah mendekati tray. Ada sebuah pesan di sana. Tulisan tangan yang cukup rapi.
"Habiskan! Aku menunggumu di bawah!"
Cih! Savana tersenyum. Segera menghabiskan sarapan. Kebetulan, ia butuh tenaga. Sungguh, Vernon ternyata manis. Lantas, beberapa saat kemudian. Savana dikejutkan suara ketukan. Membuat gadis itu menoleh, menatap ke arah pintu hingga pembatas terbuka.
"Nona, kau sudah bangun?" sapa seorang wanita paruh baya. Melempar senyum ramah. Sambil menaruh beberapa paper bag di atas ranjang.
"Ya. Kau yang tadi menaruh sarapan?" tanya Savana.
"Iya. Bagaimana makan nya? Tuan muda Vernon yang membuatnya."
"Vernon?" tanya Savana. Melirik sarapannya.
"Tentu. Dia terlihat senang pagi ini," timpal wanita itu. Sopan.
"Lalu apa itu?" tunjuk Savana. Mengarah ke atas ranjang.
"Ini pakaian baru dari Tuan Vernon. Asher tidak tahu selera mu, tapi semoga saja cocok!"
"Asher?" ulang Savana. Menemukan nama yang sempat keluar dari mulut Vernon semalam.
"Dia asisten pribadi Tuan Vernon. Baiklah, aku akan meninggalkanmu, jika butuh sesuatu panggil saja aku."
"Vernon dimana?" tanya Savana.
"Kau bisa melihatnya jika berdiri di balkon," kekeh wanita itu. Mendekati tirai kamar yang masih tertutup dan membukanya. Sigap, Savana bangun. Beralih tempat, dan di saat itu pula matanya terpaku. Menatap Vernon berolahraga. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menggoda. Savana masih panas mengingat apa yang mereka lalui semalam.
"Aku tinggal ya," ucap pekerja rumah tangga itu, jelas. Tapi, Savana tidak menjawab. Masih fokus memerhatikan Vernon. Pria itu melepas pakaian. Mengusap tubuhnya yang berkeringat dengan handuk kecil berwarna putih. Lantas, Vernon bergerak memutar. Menatap ke arah balkon kamar. Savana langsung menyambutnya dengan senyuman cantik. Vernon berdebar. Ya Tuhan.
"Aku akan ke sana, setelah gosok gigi," sorot Savana. Mengirim signal pada Vernon sambil mempraktekkan tiap katanya. Karena tahu, suaranya tidak akan didengar. Untungnya, Vernon paham. Pria itu mengangguk. Tidak sabar.
***
"Bagaimana tidurmu?" tanya Vernon. Begitu melihat Savana. Gadis itu memakai kaos dan celana boxer miliknya.
"Jangan basa basi. Kau tahu bagaimana tidurku!" kekeh Savana. Menyecap hot chocolate miliknya. Tersenyum ringkas.
Vernon mendengus. Meraih botol berisi air putih. Menenggaknya cepat, hingga tandas.
"Kau sepertinya suka suasana pegunungan," timpal Savana. Mengedarkan mata.
"Ya. Aku suka tebing tinggi," balas Vernon.
"Seperti ini?" tanya Savana. Membuat Vernon lekas mengangguk. "Aku juga suka," tambah Savana.
"Aku tahu. Makanya kau tampak nyaman di sini!" timpal Vernon. Menatap Savana tajam.
"Kau sepertinya lebih banyak tahu dariku!" Savana menggoda. Mengusap rambut yang sengaja ia gulung ke atas. Makin begitu, pipi Savana tampak semakin chubby.
"Tadinya, aku hanya menebak!" balas Vernon. Manis.
"Hmm.." Sekali lagi, Savana kembali menyesap minumnya. Tidak sekalipun mengalihkan pandangan dari Vernon. Sungguh, Savana tidak pernah menjumpai pria semanis Vernon. Daddy-nya bahkan kadang banyak mengatur. Vernon ini sangat berbeda.
"Bagaimana, kalau kita membuat perjanjian?" tanya Savana. Membuat Vernon mengerutkan kening. Menatapnya heran.
"Perjanjian?"
"Ya. Jujur saja, yang terjadi semalam sangat hebat. Kau juga orang pertama yang melakukannya padaku. Jika kau mau, kita bisa mengulangnya kapanpun. Asalkan selama itu kau tidak berhubungan dengan wanita lain."
"Maksudmu. Kita menjadi partner?" tanya Vernon. Hati-hati. Savana mengernyit. Membenarkan Vernon, cepat.
"Ada syarat lain?" tanya Vernon. Melirik bibir Savana.
"Kau harus menggunakan pengaman saat masa subur. Aku tidak mau hamil!" pinta Savana. Langsung di approved Vernon.
"Ada lagi?" sebut Vernon.
"Kita hanya melakukan itu. Tidak lebih. No feelings! Dan, kita juga bisa mengakhiri hubungan ini kapanpun. Terlebih, jika salah satu dari kita jengah atau memiliki pasangan."
"Artinya. Kita harus saling terbuka," imbuh Vernon. Tidak keberatan. Ia juga menyukai hubungan yang lebih kasual. Tidak ada batasan khusus untuk sementara. Mereka bisa berproses dan tetap bekerja di tempat masing-masing, lalu bercinta saat salah satu membutuhkan.
"Aku juga tidak memaksamu. Kau bisa menolak!" papar Savana. Lebih menegaskan diri.
"Aku setuju!" timpal Vernon. Tanpa berpikir. Melempar senyum tipis, lalu melangkah mendekatkan diri. Savana menutup mata. Ketika bibir milik pria itu mampir di lehernya.
"Kau milikku, dan aku milikmu!" bisik Vernon. Lalu mengusap wajah Savana dengan punggung tangannya.
Sementara Asher yang mengintip dari kejauhan. Tampak memotret kedekatan keduanya. Lantas, mengirim foto pada Marck. Sesuai permintaan pria itu semalam.
***
UPDOWN COURT, OAKLAND, SF
Setelah makan siang bersama Vernon. Savana kembali ke mansion. Melangkah melewati taman bunga roses nya yang cantik dan mekar. Ah. Ia suka pemandangan itu, bahkan mencium aromanya saja membuat Savana senang. Sejak lama, ia menjadi begitu candu dengan flower roses. Indah, merah namun mampu melindungi dirinya sendiri dengan duri yang ia miliki. Savana ingin begitu. Menjadi mawar merah yang mandiri.
"Savana! Kau baru pulang!" sigap. Sebuah suara berat yang muncul tepat dibelakang Savana, membuat gadis itu menghentikan langkah. Savana tahu, siapa pemilik suara itu.
"Savana. Aku rasa kita harus bicara!" tegas. Sekali lagi pria itu memprovokasi. Membuat Savana akhirnya memutar badan.
"Vic, maaf. Aku semalam tidak menghubungi mu lagi. Aku bersama Lily dan tertidur di rumahnya!"
"Jangan membohongiku. Aku mencarimu ke rumah Lily," sebut Victor. Membuat Savana menghela napas. Menatap Victor sejenak.
"Lalu? Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu kan? Oh ya, aku lupa. Kau tidak sabar ingin memiliki nomor Ruby. Maaf, aku tidak mengenalnya!" sentak Savana. Menggebu. Mengepal kedua tangannya. Rapat.
"Savana. Kau yang melihatku di gudang, 'kan?" tanya Victor. Tanpa mengalihkan pandangan. Savana terdiam. Kaku. Menahan napasnya. Sesak. "Jika iya. Aku minta maaf. Tapi, tolong! Jangan beritahu daddy-mu!"
Plak!
Savana mundur. Menggenggam tangan, setelah baru saja menampar Victor. Pria itu bungkam. Berpaling ke kiri. Ia menunduk, mengusap wajah. Pasti sakit. Pukulan Savana barusan sekuat tenaga.
"Dasar pengecut!" gumam Savana. Lalu mundur dan pergi menjauh.
Victor tersenyum smirk. Menatap punggung Savana yang melangkah menjauh. Ia mendongak. Tinggi. Menggenggam tangan.
"Kau masih menyukaiku," gumam Victor. Berat.
"Tenang saja Savana. Aku akan membalas perasaanmu. Segera. Karena kau atau siapapun, tidak bisa mengambil posisiku di perusahaan. Aku tidak akan membiarkanmu membocorkan apa yang kau lihat." Bengis. Kuat. Tatapan Victor penuh ambisi. Ia mendengus. Turut melangkah pergi setelah Savana hilang dari pandangannya.