Bab 7

1136 Words
“Ibu Zevanya Giani?”   Anya yang sedang mencocol potongan kentang gorengnya ke saus berhenti ketika mendengar namanya dipanggil. Ketika mendongak, sesosok laki-laki tampan mengenakan polo shirt menjulang di hadapannya. Anya bertanya-tanya dalam hati kenapa ada banyak sekali pria tampan yang bekerja di resort ini, sih? Tetapi tentu saja Anya dengan cepat bisa mengatur ekspresi.   “Iya, saya, ada apa ya?”   “Ini saya mau infokan kalau roomnya sudah avail dan juga mau mengembalikan KTP Ibu, ketinggalan di meja receptionist.” Arya menyerahkan kunci kamar yang berupa kartu beserta kartu tanda pengenal Anya kepada pemiliknya.   “Ah—thank you,” ucap Anya sambil menerima kedua kartu tersebut. “Kamar saya di sebelah mana, ya?” tanya Anya lagi setelah melihat kartu kamarnya.   “Nanti saya—kami antar ke kamar, Bu.”   Anya mengernyit bingung. Kalau memang mereka akan menunggu Anya untuk mengantarnya ke kamar, kenapa harus menghampiri Anya langsung ke sini? Kan bisa menunggu Anya yang kembali ke lobby sekalian mengambil barang-barangnya. Tetapi mungkin itu kebijakan resort yang tidak Anya mengerti.   Lelaki berdada bidang dan bertubuh tinggi itu lalu tersenyum sebelum kemudian pamit dari hadapan Anya. Anehnya, Anya seperti pernah melihat lelaki itu meski Anya tidak bisa mengingatnya dengan jelas.   “No, Anya, lo ke sini bukan mau cari cowok.” Anya menggelengkan kepala pelan, mencoba mengenyahkan apapun yang ada di kepalanya itu dan kembali fokus pada makanan di hadapannya. Tanpa sadar kalau ada seseorang yang senyum-senyum sendiri di buatnya.   “Mas Arya!” Arya tersentak ketika Gavin memanggilnya. “Idih, ngapain sih Mas senyum-senyum sendiri?” tanya lelaki itu penasaran. Sejak tadi, bosnya ini sudah bersikap tidak jelas. Dan Gavin sendiri memang termasuk orang yang kepoan, jadi semakin berisiklah lelaki itu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arya.   Arya berdeham, mencoba mengatur ekspresinya yang bahkan tidak ia sadari telah menjadi lebih sumringah sejak berbicara langsung dengan Anya di lounge tadi. Arya mengingat Anya dan semakin yakin setelah bicara langsung dengannya, suara Anya masih sama seperti yang pernah didengarnya dulu. Bedanya, rambut Anya sekarang jauh lebih panjang dibanding waktu itu. Tetapi cantiknya, jelas masih sama. Atau malah jadi lebih cantik?   “Idih, ditanya bukannya jawab malah makin senyum-senyum.” Gavin akhirnya hanya menggelengkan kepalanya, menyerah menggali info dari atasannya tersebut dan memutuskan kembali bekerja.   “Vin, di kamar tamu tadi... dikasih welcome cake?”   Gavin yang sedang menatap layar komputer mengalihkan tatapannya pada Arya dengan dahi mengernyit. “Tamu tadi? Yang Ibu Zevanya itu?” tanya Gavin meyakinkan. Padahal memang belum ada tamu lain lagi yang check in setelah Anya, tetapi tidak ada salahnya kan Gavin meyakinkan kembali.   “Iya. Beliau long stay kan di sini?”    “Iya. Tapi kan cake biasanya dikasih buat yang wedding atau honeymoon sama ulang tahun...”   “No, give her one too.”   “Satu slice?” tanya Gavin lagi setengah tidak yakin.   Arya tersenyum kecil. “Nope, but a whole cake.”   “Hah?”   *** Saat Anya kembali ke lobby, perempuan itu hanya menemukan Gavin dan seorang staff receptionist lain yang ternyata sedang melayani tamu. Anya menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan lelaki yang tadi menghampirinya di longue resort namun tidak kunjung menemukannya.   Di resort ini, sejauh yang Anya perhatikan, tidak ada seragam khusus seperti di kebanyakan hotel atau resort pada lainnya. Padahal The Surya Resort ini merupakan resort bintang lima yang biasanya lebih ketat soal aturan seragam dan lain-lainnya. Namun sampai saat ini, Anya mendapati hampir semua staff memakai pakaian bebas dan nyaman—dan tentunya masih sangat sopan untuk bekerja.   Seperti Gavin yang mengenakan kemeja hawaii dengan motif bunga-bunga yang memang cocok digunakan di pantai. Lalu staff yang menjemput dan menyambut Anya saat tiba di resort juga hanya mengenakan kaos semacam polo shirt. Yang menegaskan mereka adalah staff resort, ada name tag dan id card yang terkalung di leher mereka.   Anya menunggu sampai tamu di depannya selesai check in sebelum kemudian berhadapan kembali dengan Gavin. “Saya udah bisa langsung ke kamar?” tanyanya.   “Sudah, Ibu. Sebentar ya, buggy carnya sudah ke arah sini.”   Anya hanya mengangguk. Anya sendiri bahkan tidak masalah jika harus pergi menuju kamarnya dengan berjalan kaki. Toh dirinya juga ingin sekalian melihat-lihat, tapi bukan berarti Anya juga menolah sih. Lagipula dirinya masih memiliki waktu tiga bulan lamanya di sini. Masih ada banyak waktu untuk Anya benar-benar mengexplore resort ini.   “Nah Ibu, itu—” Gavin berhenti sejenak. Hal itu membuat Anya menatapnya bingung namun dengan cepat lelaki berwajah agak kebulean itu melanjutkan, “Itu buggy carnya. Kamar Kenanga 133 ya, Mas,” ucap Gavin pada lelaki yang turun dari buggy car untuk menjemput Anya tersebut.   Anya menoleh dan menemukan lelaki yang sama dengan yang menghampirinya di longue tadi. Lelaki itu ternyat adalah staff resort yang akan mengantarkan Anya ke kamarnya.   “Silahkan, Bu,” ucapnya lembut sambil mengarahkan Anya dengan sopan menuju buggy car yang sudah terparkir menunggunya. Sedangkan lelaki itu alias Arya sendiri langsung membawa koper dan tas milik Anya yang tadi dititipkan pada Gavin untuk meletakannya di buggy car.   Anya memperhatikan lelaki itu saat meletakkan koper dan tasnya yang cukup berat. Anya bisa melihat bagaimana biceps lelaki itu menonjol dari balik lengan kaosnya yang fit body. Ada tato kecil yang samar-samar mengintip di sana. Seolah meminta perhatiannya. Anya berkedip, tanpa sadar sudah terlalu lama memperhatikan lengan lelaki itu yang sialnya terlihat...menarik? Astaga! Anya refleks mengipas wajahnya sambil menurunkan sunglasses yang sejak tadi tersemat di kepalanya ia jadikan bando.   “Panas juga ya makin siang,” ucapnya mengalihkan perhatian.   Arya tersenyum kecil, “Iya Bu, but it’s actually such a great weather to start your day here.”   Anya sudah sering mendengar tentang teori jika seseorang cenderung merubah tone atau suara mereka saat berganti bahasa. Dan meski Anya secara teknis bekerja di perusahaan multinasional dan tidak asing dengan orang-orang yang berbicara bahasa Inggris, kenapa suara lelaki di hadapannya ini terdengar lebih... seksi? Masculine? Entahlah.   Jika saat bicara bahasa Indonesia suaranya cenderung lembut, saat bicara bahasa Inggris suara lelaki itu jadi lebih...rendah? Deep?   “Are you ready, Bu Zevanya?”   Anya hampir gelagapan. Tidak sadar kalau Arya sudah berdiri di sebelahnya. Masih belum naik ke buggy car yang hanya berisi dirinya saja dan membuatnya secara teknis hanya berdua saja dengan lelaki itu. “Ah, iya, udah.” Anya bahkan tidak tahu ia harus siap untuk apa.   Lalu Arya mengangguk sebelum kemudian naik ke kursi kemudi lalu menjalankan buggy car tersebut untuk membawa Anya menuju kamar yang akan ditempatinya. Meski tatapan Anya lurus ke depan, fokus pada pemandangan sekitar resort yang mereka lalui, Anya diam-diam mencuri lirik ke id card yang mengalung di leher Arya yang sayangnya terpasang terbalik membuat Anya tidak bisa mengintip identitas lelaki itu. Tetapi Anya berhasil menangkap name tag kecil di da*da kirinya.   Arya.   “Oh, namanya Arya,” batin Anya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD