marriage with mactmaking

1961 Words
 marriage with mactmaking  *** Laura menghela nafas berat melihat makanan yang tersedia di meja masih utuh. Dia tersenyum sedih. Padahal dia begitu bersemangat memasak makanan untuk suaminya yang baru pulang malam ini dari luar kota. "Aku pergi, dulu." sebuah suara berat. Laura menoleh, menatap suaminya yang telah rapi dengan pakaian kantor. "Noah, maaf aku telat bangung, sarapanmu—" "Tidak usah, aku pergi." Noah pergi begitu saja meninggalkan Laura yang tersenyum sedih. Sepertinya memang harus diakhiri. Laura tak bisa menyalahkan suaminya yang begitu dingin padanya. Mereka menikah tanpa Cinta, mereka dijodohkan. Hal biasa yang dilakukan oleh keluarga dari kalangan atas seperti mereka. Laura dulu memang tidak mencintai Noah, namun setelah menikah ia berjanji pada diri sendiri akan membuat pernikahannya Indah. Ia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namun sepertinya Noah tak peduli. Pria itu begitu dingin, ia pulang saat Laura terlelap dan pergi ketika Laura baru terbangun. Pria itu menghindarinya. Laura selalu menyabarkan hati selalu sakit, namun kesabaran manusia juga ada batasnnya. Nanti ketika Noah pulang ia harus membicarakan tentang perceraian mereka pada pria itu. Selarut apapun ia pulang akan Laura tunggu. Janjinya. Ponsel Laura berbunyi, ia mengangkatnya. "Halo, ada apa Zia?" "Halo, Laura! Hari ini aku, Josh, Rafael, Mikaela dan Leo akan berkumpul di kafe dekat kampus kita dulu, kamu harus datang hari ini kalau tidak aku akan kerumahmu dan mengacak-acaknya!" ancam Zia. Laura terkekeh. "Baiklah, aku akan kesana hari ini," "Yay! Itu baru temanku! Kutunggu jam tujuh!" pekik Zia senang. Laura tersenyum kecil. Dia butuh seseorang menyembuhkan luka hatinya, sahabatnya mungkin tau apa yang terbaik. Dari pukul enam, Laura telah bersiap, ia memakai gaun hitam lamanya yang masih Bagus walau sedikit ketat yang mebuat setiap lekukan ditubuhnya makin menonjol, apalagi bagian dada. "Ah, apa tidak apa-apa memakai baju ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Pakai saja, lagipula sudah lama tidak memakai gaun ini." Laura memakai sepatu hak tinggi dan wajahnya dirias dengan alami. Ia berkendara dengan salah satu mobil milik Noah. Pria itu memang punya banyak mobil yang jarang terpakai. "Wow! Kau seksi sekali, aku menyesal tidak menikahimu duluan." komentar Rafael, salah satu temannya yang sekarang sudah menjadi Dokter di rumah sakit keluarganya. "Dasar kau playboy cap kotoran monyet, berhenti menggoda temanku!" pekik Zia. "Hei, wajah tampanku kau katakan monyet! Dasar perempuan tak punya perasaan!" "Ayolah, kita disini bersenang-senang, kenapa harus bertengkar," lerai Joshua kesal. "Bilang saja kau cemburu, dude" kekeh Leo. Perasaan Joshua pada Zia, adalah rahasia umum diantara mereka Zia tidak pernah peka walau di kode beberapa kali sepertinya. "Bagaimana kehidupan pernikahanmu? Apakah... Kalian masih belum melakukannya?" tanya Mikaela serius. Kini semua memusatkan perhatian pada Laura yang sudah duduk. Laura menghela nafas tersenyum sedih. "Melakukan apa? Dia bahkan tak pernah mau menatapku," "Dasar pria brengsek, beraninya membuat temanku sakit hati," dengus Zia. "Terus apa yang akan kau lakukan kedepannya?" "Aku... Akan meminta cerai, aku tak sanggup lagi. Aku rasa memang inilah akhirnya." ujar Laura lesu. Semua tidak ada yang membantah, mereka tau betul perjuangan sahabatnya itu. "Tenang, habis kau bercerai aku akan mengenalkanmu ke beberapa temanku, mereka tidak akan bisa menolak kecantikanmu, apalagi kau masih perawan." ucap Rafael lugas. Laura hanya terkekeh. Setidaknya hari ini kesedihannya berkurang. "Nanti pulang, aku akan mengantarmu, kita lihat bagaimana reaksi suamimu itu," Rafael tampak tersenyum jahat. "Hei, jangan macam-macam kau!" ancam Zia. *** Saat diantar pulang, hari sudah tengah malam. Laura tertidur saat mereka menonton bersama di rumah Zia. Mereka bersenang-senang seperti remaja padahal umur mereka sudah dewasa. Sebelum pulang, Rafael selaku Raja Cinta memberikannya beberapa petuah sebelum ia pulang. "Ingat ucapanku tadi, oke?" ucap Rafael ketika Laura hendak masuk kedalam rumah. "Oke!" ucap Laura tersenyum sebelum masuk kedalam rumah. Gadis itu terkejut saat sosok Noah berdiri didepan pintu masuk dengan tangan terlipat di ruang tamu. Menatapnya dengan tajam. "Dari mana? Laura sedikit takut, namun langsung ingat kata-kata Rafael. "Hanya bersenang-senang," Noah menggertakkan gigi. "Sampai tengah malam? Hebat sekali dan siapa laki-laki yang mengantarmu?!" Noah menatap tak suka gaun ketat yang digunakan wanita itu.  Laura menundukkan kepalanya. "Bukan urusanmu." katanya berlalu. Noah menariknya kembali, menyudutkan Laura pada salah satu sisi dinding. Bisa wanita itu rasakan kemarahan Noah yang menggebu. Tapi kenapa? Bukannya Noah sendiri sering pulang malam tanpa mengacuhkannya? "Siapa laki-laki itu? Kekasihmu?,huh?" mata Noah menajam. "Dan kau beraninya pulang selarut ini? Kau tidak ingat bahwa kamu adalah seorang istri huh?!" Laura merasakan hatinya ikut panas. Bagaiman bisa Noah mengatakan itu sementara dirinya saja sering pulang larut tanpa memikirkannya. "Memangnya kau pernah ingat aku? Kau sendiri selalu pulang malam, kita bahkan hanya bertemu beberapa menit setiap hari, apa Adil jika sekarang kamu membentakku?" marah Laura. Noah membeku. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Pria itu menghela nafas. "Tidurlah, sudah malam." ucapnya pelan. Malam ini adalah malam mendebarkan bagi Laura, untuk pertama kalinya ia mecoba melawan dan untuk pertama kalinya juga ia dalam kondisi sadar saat tidur seranjang dengan Noah. Antara sadar dan tidak, malam itu Laura mendengar suara lembut dan pelukkan ditubuhnya. "Aku melakukan ini untukmu," bisik sebuah suara serak. *** Paginya, ada yang aneh. Noah kali ini memakan sarapan yang dibuatkan Laura. Mereka makan dalam satu meja, namun tanpa suara. Kerutan bingung terlihat dikening gadis itu. "No-noah?" "Ya?" "Apa kamu sakit?" tanya Laura hati-hati. Noah mendongak, sedikit terkejut. "Sakit? Tidak aku sehat. Kenapa?" Laura menunduk. "K-kamu memakan masakkanku, biasanya mau tidak pernah menyentuhnya." Tubuh Noah sedikit menegang. Entah kenapa perasaan bersalah menggerogoti hatinya. "Sarapanku sudah habis, aku pergi dulu," Noah bangkit dari kursinya lalu pergi. Laura tersenyum, namun Buru-buru menggeleng saat ingat kata-kata Rafael. Bahwa dia harus melawan tidak boleh selalu pasrah dan jangan termakan sikap manis pria itu. Ya dia harus kuat sebelum perceraian mereka. Mengingat itu Laura menghela nafas sedih. Bohong jika ia berkata ia tidak mencintai pria itu. Entah apa yang dilakukan Noah hingga membuatnya begini. *** Siang ini Laura bertemu dengan Joshua, sahabatnya ini bekerja di kantor pengadilan, meminta Joshua mengurus berkas perceraiannya dengan Noah tentu bukan hal yang sulit bagi pria itu. Kemarin Laura telah meminta Joshua untuk menolongnya membuat surat perceraian. Dan mereka berjanji bertemu di kafe yang tak jauh dari perkantoran. "Kau cuma harus menanda tangani ini dan jangan lupa tanda tangan suamimu," Joshua menjelaskan dengan profesional. Pria berkaca mata itu memang paling jenius diantara sahabatnya yang lain. Ia adalah pria yang cukup serius dalam beberapa hal. Bahkan masalah menyukai dalam diam yang dilakukan Joshua terhadap Zia dari mereka SMA hingga saat ini. Ini adalah rahasia umum di antara mereka. "Terimakasih Josh," ucap Laura tulus. "Josh, aku tidak bermaksud ikut campur tapi kemarin aku dengar Zia sedang dekat dengan laki-laki lain," Mendengar itu tubuh Joshua menegang. Laura tersenyum tipis. "Kadang untuk bahagia memang harus egois, Josh." ucap gadis itu singkat, namun Joshua tersentak karena mengerti arti ucapan itu. "Aku pulang, dulu terimakasih atas bantuanmu." Laura meletakkan tangannya diatas tangan Joshua, hanya sekedar pegangan terimakasih pada seorang sahabat. Namun tiba-tiba tubuhnya ditarik seseorang dengan paksa. Laura kaget melihat tangannya sudah digenggam erat oleh sosok Noah. Matanya melotot kaget. "No-noah? Ada apa?" tanyanya takut ketika melihat tatapan tajam pria itu. "Sedang apa di sini?!" tatapan Noah melayang bengis pada Joshua yang bingung melihatnya. "A-aku hanya bertemu dengan temanku," Ada raut tidak percaya terlukis diwajahn Noah. Pria itu mengeram kasar. "Ikut aku!" dan ia menarik tangan mungil Laura hingga wanita itu terseret dengan kuat. "N-noah ada yang harus aku bicarakan," ucap Laura pelan ketika mobil yang dikendarai Noah berhenti di rumah mereka. Noah menarik Laura kedalam rumah mereka. Wanita itu menatap punggung Noah yang lebar. Entah kenapa ia berfikir saat inilah waktu terbaik mengatakan segalanya pada Noah. Mereka menaikki tangga, pria itu membawanya kedalam kamar mereka. Noah menatap tajam Laura. "Apa?" Dengan ragu Laura memberikan berkas ditangannya. Noah menerimanya dengan raut bingung. Pria itu mulai membaca setiap kata disana. Dalam hitungan detik, dagu Noah mengeras. Tangannya terkepal erat hingga meremas kertas ditangannya. "Apa maksudmu?!" bentak Noah kasar. "Noah, aku tau kita sama-sama terpaksa menjalani pernikahan ini, aku rasa sudah cukup kita menyakiti satu sama lain dengan ikatan ini. Mungkin dengan kita bercerai, aku dan kamu akan lebih bahagia—," Ucapan Laura terpotong ketika Noah tiba-tiba saja mendorongnya ke sisi dinding. Kedua tangan gadis itu ditahan oleh Noah. "Apa?! Bahagia? Maksudmu setelah bercerai denganku kamu akan dinikahi pria tadi?! Oh, atau pria yang kemarin mengantarmu pulang?" Noah tampak marah besar. "Tidak akan kubiarkan!" desisnya. "Hmmmmp!!!" Noah mulai memangut bibir Laura, mencumbunya dengan ganas. Noah seperti kesetanan. Laura berusaha menjauh, namun ia hanya seorang wanita lemah. "Ahhhhhh," desah Noah ketika Laura tak sengaja menghisap lidahnya. Bukannya sakit, gigitan Laura malah membuat gelora gairah Noah meningkat. Dengan kasar, Noah melempar tubuh mungil Laura keatas kasur. Wanita itu hendak kabur, namun pria itu dengan membabi buta langsung menahannya dan menelanjanginya. Laura menangis ketika baju-bajunya dilepas paksa oleh Noah. "Ahhhh!!! Noah!!! Ti-tidak!!, ahhkhhhh...," kepala wanita itu mendongak keatas ketika tiba-tiba Noah menyusu pada puting merah mudanya. Laura merasa geli dan nikmat bersamaan. "Ahhhh, No-Noah, hen-ti...." tangan Laura merambat ke rambut Noah dan meremas rambut itu saat jilatan Noah di puting payudaranya makin menggila. Ini nikmat, Laura bertanya-tanya apakah ini yang dirasakan seseorang jika bercinta? Tapi apa ini bisa disebut bercinta jika Noah sendiri tak pernah mencintainya? Memikirkan itu membuat Laura sadar. Ia langsung mendorong kepala Noah dari dadanya, hingga mata mereka bertemu. Ada keputusan asaan, marah dan kecewa tersirat dimata Noah. Laura meneteskan air mata. Ia mengelus pipi Noah yang mulai ditumbuhi bulu-bulu tipis. "No-noah, aku mohon jangan lakukan ini, lebih baik kita bercerai. Aku tidak mau kehidupan kita akan sengsara kedepannya. Aku sadar bahwa Cinta memang penting dalam suatu pernikahan dan sayangnya kita tidak memiliki itu Noah," Mata Noah nampak makin gelap, ia makin marah. "Siapa bilang pernikahan kita tanpa Cinta?" "A-apa maksudmu?" Noah menundukkan kepalanya, menatap intes mata sayu Laura. "Sejak awal, bahkan jauh sebelum kau tau aku, aku sudah mencintaimu Laura, selalu hingga saat ini." Tangis Laura makin menjadi. "K-kamu bohong. Kamu mengacuhkan aku, tidak peduli denganku bahkan kamu tidak pernah mau menyentuhku." Noah mengecup bibir Laura, melumatnya pelan. "Maafkan aku atas sikapku selama ini semuanya aku lakukan demi dirimu. Aku tau kamu tidak mencintaiku, makanya aku tak pernah menyentuhmu, aku takut itu akan membuatmu membenciku dan kamu tidak tau seberapa khawatirnya aku memikirkanmu setiap waktu saat aku bekerja.". "No-noah, kamu juga salah, aku juga mencintaimu, aku juga tidak tau sejak kapan namun kamu satu-satunya orang yang membuat jantungku sakit setiap memikirkanmu." Detik itu juga Noah melumat dengan kasar bibir Laura, membungkam setiap kata yang hendak keluar darisana. Tangan Noah menyentuh bagian bawah Laura, menyentuhnya dengan lembut. "Oh, sayang, ini sempit." desah Noah ketika jarinya mencoba masuk kedalam sana. Laura menggelinjang apalagi saat Noah membuka pahanya lebar-lebar dan menjilati kemaluannya seperti menjilati es krim. "Ahhhhhh!! No-noah! Kenapa ini enak! Ahh, rasanya geli!" pekiknya. Noah tersenyum lebar, makin rakus menjilati kemaluan istrinya. Lidahnya bergerak liar di dalam sana, tubuh Laura menggelinjang merasa nikmat. "Maaf sayang, kita lanjut ke inti saja, ya? Aku sudah tidak tahan," suara Noah serak. Tubuhnya sudah telanjang membuat muka Laura memerah melihatnya. Kejantanan Noah juga terlihat besar dab ber-urat membuat wanita itu sedikit ragu apakah benda itu akan muat dikemaluannya. "Mungkin ini bakal sakit, maaf," perlahan, kejantanan Noah mulai masuk. Baru saja setengahnya, tubuh Laura langsung menegang. "Sakit!" pekiknya. "Maaf, sayang, tahan, ya," bisik  Noah. "Ahhhhhhh!!!! Sakit!" "Ohhhhh ahhhh, sempit," Beberapa detik Noah mendiamkan kejantannya disana, sebelum akhirnya bergerak pelan. "Ahhhhh ohhhhhhhh ini nikmat," "Ahhhhhhh No-noah!" Tubuh mereka bergerak seirama, kejantanan Noah menusuk kewanitaan Laura dengan nikmat. Makin lama tempo mereka makin cepat, desah-desahan disana makin keras. Tubuh mereka basah oleh keringat. "L-laura! Ahhhhh!!" "Ahhhhhhhh!!!!" Tubuh mereka tersentak ketika pelepasan itu datang. Rasanya begitu nikmat. Air mani Noah masuk kedalam kehangatan rahim Lauara. Tubuh mereka berpelukkan, sejenak sama-sama menarik nafas dalam-dalam. Noah tersenyum begitu juga Laura. Mereka tak menyangka semua masalah mereka berawal dari kesalah pahaman "Mari kita mulai semua ini dari awal," Noah mengecup bibir Laura penuh kasih sayang. "Hmmm ya," ucapannya senang. "Kamu jangan lagi cemburu sama teman-temanku," Wajah Noah memerah, ia membenamkan wajahnya di belahan payudara Laura. "Tergantung. Kamu harus tau aku adalah pria posesif," Lauara hanya tertawa, balas memeluk tubuh besar Noah. "Aku mencintaimu istriku," "Aku juga mencintaimu, suamiku," *END* Project selanjutnya : Doctor
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD