Bab 7. Kembali Terulang

1009 Words
Satu minggu berlalu, tidak ada yang berubah. Vio tetap bekerja menjadi sekertaris Jarek. Namun kali ini, sikap Vio yang berubah. Vio tidak bisa di pegang orang lain. Setiap ada orang yang memegang pundak atau pun tangannya tubuhnya langsung diam terpaku. Nafasnya seolah tercekat, dia ingin melontarkan kata," Tolong, jangan lakukan lagi." Tapi untunglah Vio sadar dia ada di lingkungan kerja. Sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak histeris, walau itu sangat susah. Penampilan Vio pun terkesan lebih tertutup. Dia memakai blazer, rok panjang atau pun celana panjang. Bahkan sekarang Vio berangkat lebih pagi supaya dia bisa menyelesaikan tugasnya dan meletakkan dokumen yang harus di baca atau di tanda tangani oleh Jarek. Jika ada jadwal rapat, Vio hanya mengetuk pintu dan berdiri di depan pintu jika waktu rapat sudah tiba. Jadwal harian Jarek pun selalu dia kirimkan melalui e-mail. Jarek pun hanya diam dengan sikap Vio sekarang, entah apa yang ada di pikiran Jarek, tetapi Vio merasa lega karena Jarek tidak mengusiknya. Ia bertahan bekerja di perusahaan, karena gaji dan juga ia sudah nyaman dengan pekerjaannya walau terkadang bosnya memberikan tugasnya sangat keterlaluan. "Vio, keruagan saya!" perintah Jarek melalui panggilan intercom. Belum sempat Vio menjawab, panggilan sudah di putuskan. Dengan terpaksa Vio pun ke ruangan Jarek. "Masuk!" perintah Jarek dari dalam ruangannya saat Vio mengetuk pintu. Vio diam di depan pintu. ingin masuk, namun dia ragu. Jujur, hanya menatap Jarek saja ia tidak sanggup. Setiap melihat Jarek ia pasti menundukkan kepalanya. "Kenapa hanya di depan pintu? Masuk!" perintah Jarek dengan nada suara tegasnya. Dengan perasaan takut-takutnya, Vio masuk ke ruangan Jarek. Sungguh, tubuhnya sudah mulai panas dingin. Bahkan rasanya ia sudah sangat was-was. Tidak seharusnya ia bersikap seperti ini, ia berada di area kantor, jadi tidak mungkin jika bosnya akan melakukan hal yang terjadi seminggu yang lalu. Dirinya benar-benar ketakutan sekarang, ia tidak bisa mengendalikan rasa ketakutannya ini. "Tutup pintunya!" perintah Jarek. Vio yang sedari tadi menunduk langsung mengangkat wajahnya menatap Jarek, namun tidak lama saat mata mereka beradu, Vio langsung menundukkan kepalanya kembali. "Kenapa diam saja? tutup pintunya!" tegas Jarek dengan nada suara sedikit meninggi. "Ta-tapi pak," ucap Vio yang tidak tahu harus berkata apa. "Saya bilang tutup pintunya!" tegas Jarek. "Baik, pak," jawab Vio cepat dan tidak ada bantahan lagi. Vio pun menutup pintunya, tangannya sudah berkeringat hanya karena reaksi tubuhnya yang ketakutan jika hanya berduaan dengan bosnya di dalam ruangan seperti ini. Belum lagi, di lantai dirinya berada hanya ada ruangannya dan ruangan bosnya saja. "Kunci pintunya!" perintah Jarek yang sudah berdiri dari duduknya. "Apa pak?" tanya Vio terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya untuk menatap Jarek yang sudah berdiri dari duduknya. "Kunci pintunya!" perintah Jarek lagi dengan nada tegas dan suaranya yang dingin. Vio menggelengkan kepalanya melihat Jarek yang semakin mendekat, "saya bilang kunci pintunya, Vio!" perintah Jarek dengan nada tegas. Tatapannya begitu menusuk membuat tubuh Vio bergetar begitu hebat karena takut. "Maaf pak saya tidak bisa," ucap Vio yang sudah meneteskan air matanya. "Vio!" tegas Jarek yang meninggikan nada suaranya. "Tolong pak, jangan kunci pintunya," mohon Vio dengan suara yang sudah bergemetar. Jarek berjalan semakin mendekat, yang pada akhirnya Vio memilih ke luar dari ruangan Jarek. Dia tidak perduli jika Jarek akan marah dan mungkin akan memecatnya. Vio berlari ke arah lift dan segera menekan tombol lift dengan tidak sabaran. "Vio!" panggil Jarek dengan nada suara meninggi membuat Vio terus menekan tombol lift tidak sabaran. Kebodohan ketika panik adalah, Vio tidak menggunakan tangga darurat untuk menghindari Jarek. Vio dengan perasaan takutnya terus menekan tombol lift. Lift pun terbuka, dan Vio pun segera masuk dan menekan tombol lift agar segera tertutup. Jarek pun mengejar Vio, dan pintu lift tertutup. Namun terbuka kembali karena ternyata Jarek menahanya saat pintu lift belum benar-benar tertutup. "Mau kemana kamu!" marah Jarek. "Pak,tolong jangan pak. Saya mohon," mohonnya dengan pipi yang sudah basah karena air matanya. Jarek segera menarik tangan Vio untuk keluar dari dalam lift. "Pak, tolong, tolong jangan lakuin ini, pak. Saya tidak mau, pak," mohon Vio yang terus berusaha melepasakan tangannya, tubuhnya juga berusaha menahan agar tidak tertarik oleh Jarek. Jarek tidak berkata apapun, dia terus menarik Vio kedalam ruangannya. "Pak saya mohon jangan, pak, " mohon Vio dengan suara yang semakin bergetar karena rasa takutnya. Saat melewati pintu, dengan cepat Vio meraih pintu supaya dia tidak masuk ke dalam. Namun karena tenaga Jarek lebih kuat, Jarek bisa melepaskan tangan Vio dari pintu. Jarek menutup pintunya dan menguncinya. Vio semakin takut karena Jarek terus menariknya dan kali ini Jarek menghempaskan tubuh Vio ke atas sofa. Jarek langsung menindih tubuh Vio, tidak peduli dengan suara bergemetar Vio karena ketakutan. "Pak, tolong jangan lakukan lagi. Saya mohon, pak," mohon Vio yang suaranya sudah serak. Air mata pun sudah membasahi pipinya, pandangan matanya saja mengabur karena air matanya. Telinga Jarek seperti tersumbat, Jarek sama sekali tidak peduli dengan permohonan Vio. "Saya tidak peduli, yang saya ingin itu kamu! Satu minggu ini saya sudah menahan nafsu saya tidak menyentuhmu dan membiarkan kamu yang menjauhi saya. Tapi hari ini saya tidak bisa menahan lagi! Milikmu sangat-sangat memuaskan aku, jadi, aku ingin merasakannya lagi," ucap Jarek seraya tersenyum. "Pak, saya mohon, jangan pak," mohon Vio. Tanpa peduli ucapan memohon Vio, Jarek melakukannya lagi, Vio hanya mampu menangis saja tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti. Sudah berusaha ia dorong tubuh Jarek, tapi itu tidak berarti apa-apa pada Jarek. Pintu ruangan Jarek di ketuk seseorang, tapi itu tidak membuat Jarek menghentikan aktifitas panasnya dengan Vio. Ketukan itu semakin keras tapi masih di abaikan oleh Jarek, ia tidak peduli dengan orang di luar sana yang sudah mengetuk keras, yang ia pedulikan adalah ia mendapatkan kenikmatan pagi itu kembali. Apalagi kali ini ia melakukannya secara sadar, membuatnya merasakan eforia yang sangat hebat. Ruangan Jarek yang memang di desain kedap suara membuat aktifitas apapun di dalam ruangannya itu tidak membuat orang yang berada di luar mendengarnya. Sebenarnya ia tidak ingin melakukannya lagi, tapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa menahan diri dari fantasinya yang hanya gambaran samar saja saat pagi itu. Ia tidak tahan, makanya hari ini ia melakukannya lagi, untuk menghilangkan rasa penasarannya jika melakukan dengan Vio dalam keadaan sadar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD