Mereka sudah di dalam lift dan Jarek menekan tombol menuju ke sebuah ballroom hotel. Vio tahu itu adalah posisi dimana ballroom hotel berada. Vio hanya diam saja sampai lift akhirnya terbuka. Jarek tidak menarik tangan Vio lagi, melainkan kini ia memeluk pinggang Vio.
"Pak, tolong lepaskan," pinta Vio.
"Diamlah!" tegas Jarek tanpa menatap ke arah Vio.
Vio berusaha untuk menenangkan dirinya karena pelukan Jarek. Ia terus memberikan stimulan ke otaknya bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia hanya akan di ajak ke suatu acara yang ada di ballroom hotel tersebut. Mereka sudah berada di depan pintu, sebelum Jarek masuk ke dalam sana ia menatap ke arah Vio. "Masuk dan jangan kemana-mana sampai acara di dalam selesai. Jangan kabur atau aku akan membuatmu mendesah di bawahku," ucap Jarek penuh peringatan dan ketika ia berkata mendesah di bawahnya, Jarek dekatkan bibirnya di telinga Vio. Ia mengigit kecil kuping Vio sebelum melepaskan pelukannya di pinggang Vio dan masuk ke dalam ballroom.
Vio menatap punggung Jarek yang menjauh, ia terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya tersadar ketika seseorang yang berbadan cukup besar dan menggunakan jas itu memintanya untuk masuk ke dalam ballroom. Vio pun masuk ke dalam ballroom, di dalam sedikit gelap tapi Vio masih bisa melihat. Vio mencari keberadaan Jarek, dia terus berjalan mencari Jarek, hingga tanpa sengaja dia menabrak seseorang.
"Maaf," ucap Vio cepat seraya menundukkan kepalanya beberapa kali untuk meminta maaf pada orang yang tidak sengaja ia tabrak.
"Iya," jawab orang itu singkat dan pergi dari sana.
Vio membalikkan tubuhnya ketika suara seseorang yang begitu familiar menyapa pendengarannya. Orang tersebut pun memanggil nama Jarek dan Jarek pun naik ke atas panggung yang pencahayaannya terang di sana.
"Hari ini bukan hanya hari perayaan aniversary saya dan istri. tapi hari ini juga hari pertunangan anak saya Jarek Anderson dan Defanaya Agatha," ucap pria paruh baya yang tidak lain adalah papa Jarek.
Semua orang bertepuk tangan setelah papa Jarek berbicara tentang pertunangan Jarek dengan Defa. Vio terdiam di tempatnya seraya menatap Jarek di sana, berdiri bersebelahan dengan Defa. Ia masih terdiam ketika Jarek dan Defa saling bertukar cincin. Tanpa ia sadari, air mata terjatuh di sudut matanya. Dadanya terasa sangat sakit melihat apa yang terjadi di depan sana. Tangannya bergerak menekan dadanya yang terasa sakit. Perlahan ia berjalan mundur, ia tidak kuasa menahan ini. Ternyata rasanya sesakit ini melihat Jarek bertunangan dengan Defa. Padahal ia berkata pada Jarek, jika ia tidak akan meminta pertanggung jawaban apapun pada Jarek. Namun apa ini? Ia merasakan rasa sakit yang teramat di dadanya. Ia tidak bisa melihat semua ini.
Apakah dia sudah jatuh cinta pada Jarek, atau dirinya hanya terlalu tinggi berekspektasi jika bosnya itu menyukainya tetapi nyatanya semua hanya ekspektasinya yang terlalu tinggi? Di satu sisi dirinya memang takut jika Jarek memperkos*nya lagi, tetapi rasa takutnya di perkos* Jarek karena dirinya tidak mau sampai hamil di luar nikah. Dirinya hanya keluarga biasa, ia tidak ingin membuat keluarganya malu jika dirinya hamil di luar nikah. Belum lagi ia tinggal di desa, dimana omongan tetangga itu sangat menyakitkan. Padahal dirinya saja bukan mau hamil di luar nikah, tapi karena kejadian yang tidak bisa ia hindari.
Selama bekerja dengan Jarek, kurang lebih hampir dua tahun ini, bosnya itu sama sekali tidak pernah menatap ke arahnya. Bosnya hanya bos yang bekerja sesuai dengan posisinya. Ketika bosnya mengatakan mengingkan tubuhnya lagi, entah kenapa ada rasa spesial saat itu, hingga ada sedikit rasa bahwa ia bisa memiliki Jarek. Ia bisa menikah dengan Jarek, padahal dari awal dirinya menggoda bosnya saja dirinya sudah tidak sepadan jika harus bersanding dengan bosnya. Namun, ia terlalu banyak membaca novel romantis yang mungkin pada akhirnya membuat ia menjadi terlalu banyak berekspektasi. Sehingga, ketika sebuah kenyataan sudah berada di depan matanya, ia pun jatuh bersama dengan ekspektasinya. Ia merasakan sakit karena ekspekstasi yang di buatnya itu.
Sesampainya di luar ballroom, Vio di cegah oleh bodyguard yang tadi menjaga pintu. "Maaf nona, nona tidak bisa pergi dari sini," ucap salah satu bodyguard berbadan tinggi yang di awal ia masuk ke dalam tadi berbicara padanya.
"Apa urusan kalian? Saya ingin pergi dari sini. Minggir!" seru Vio dengan nada suara meninggi.
"Maaf nona kami hanya menjalankan perintah dari tuan Jarek agar tidak mebiarkan nona pergi dari sini jika tidak bersama tuan Jarek," jawab bodyguard itu.
"Pak Jarek sudah mengizinkan saya pergi dari sini tanpa beliau ikut. Jadi, minggirlah!" marah Vio dan tatapannya juga begitu marah. Namun, seberusahanya Vio untuk tidak takut, nyatanya di bawah sana kedua tangannya sedang bergetar takut. Bahkan rasanya ia ingin menyatukan kedua tangannya agar berhenti bergetar.
"Maaf nona, kami tidak bisa. Kecuali ada perintah langsung dari tuan Jarek, maka nona kami persilakan pergi," jawab bodyguard itu dengan sopan.
"Saya sudah mengatakan, jika pak Jarek sudah mengizinkan saya pergi. Minggir!" usir Vio dengan nada suara meninggi dan ia akan berjalan, tetapi dua bodyguard menghalangi Vio membuat Vio tidak jadi melangkah.
"Maaf nona, kami tidak bisa. Lebih baik, nona masuk ke dalam lagi," ucap bodyguard itu dengan satu tangan menunjuk ke arah pintu masuk ballroom.
"Saya tidak mau, minggir!" pekiknya seraya menatap marah dua bodyguard yang menghalanginya.
"Kalau begitu nona tunggu di sini sebentar, saya akan bertanya dahulu pada tuan Jarek. Jika memang benar tuan mengizinkan nona untuk pergi, kami akan membiarkan nona pergi," ucap bodyguard.
"Tidak perlu! Pak Jarek juga sedang sibuk? Lagi pula saya datang bersama pak Jarek, jadi saya tidak mungkin berbohong jika pak Jarek sudah mengijinkan saya untuk pergi," ucap Vio menatap berani pada bodyguard. Jantungnya berdegup cepat hanya karena ia takut jika ketahuan dirinya sedang berbohong.
"Maaf nona, bukan kami tidak percaya, hanya saja kami tidak bisa mengabaikan perintah yang kami terima dari tuan Jarek sebelumnya. Sebelumnya tuan Jarek berpesan untuk tidak membiarkan nona pergi, kecuali tuan Jarek mengatakan pada kami," jawab bodyguard itu.
"Jadi, harap nona menunggu sebentar di sini. Saya akan menanyakan langsung pada tuan Jarek, apa tuan Jarek mengijinkan nona pergi," lanjut bodyuard itu berucap. Setelah itu, ia pun masuk ke dalam ballroom untuk menemuia Jarek.
Vio menunggu dengan gelisah, ia harap Jarek mengijinkannya untuk pergi dari sini. Rasanya dia ingin lari dari sini sekarang, tapi sayagnya bodyguard yang ada di sana terus menjaganya agar dirinya tidak kabur.
Bodyguard yang tadi masuk pun akhirnya keluar, jantung Vio berdegup kencang. Ia takut jika ketahuan dirinya berbohong. "Maaf nona, tuan Jarek meminta anda untuk menunggunya di kamar hotel," ucap bodyguard itu setelah ia berdiri di depan Vio.
"Apa? Tidak, tidak, saya tidak mau," tolak Vio. Menunggu di dalam kamar hotel sama saja ia membiarkan Jarek meyentuhnya lagi. Tidak, ia tidak ingin melakukan se* lagi dengan bosnya.
"Jika nona tidak mau, tuan jarek memerintahkan saya untuk membawa nona secara paksa," ucap bodygard itu.
"Tidak, saya tidak mau!" pekik Vio kemudian ia pun mencoba berlari dari sana. Namun, dengan cepat dua bodyguard menghalangi jalannya, tidak lama dua bodyguard memegang lengan kanan dan kiri Vio untuk mereka bawa Vio ke kamar hotel sesuai perintah Jarek.
"Tidak, tolong lepaskan saya," ucap Vio yang memberontak untuk di lepaskan. Jantungnya berdegup semakin cepat, keringat dingin mulai ia rasakan. Takut, dirinya kembali takut. Tidak, ia tidak ingin tidur dengan Jarek lagi, tetapi ia tidak bisa pergi dari sana. Ia sudah memohon, tetapi para bodyguard tidak ada yang mau melepaskannya.