kesempatan

1885 Words
Aku baru saja tiba di sekolah, sungguh tidak biasa hari ini aku tidak tergesa-gesa ke sekolah, ya tentu saja semua ini karena sudah dapat jaminan tumpangan dari mamaku. Wendy dan Nandi belum terlihat hadir, baru ada empat orang di kelas. Hari ini agak santai karena tidak ada PR yang harus dikerjakan, jadi mereka tidak perlu mendengarkan teriakan pagiku seperti biasanya. "Pris ... kita atur latihan ya buat acara angkatan, kamu bisa kapan?" Sebenarnya aku kaget tiba-tiba saja Owie muncul dihadapanku. Mungkin karena sangat fokus dengan hape digenggamanku sehingga aku tidak menyadari kehadirannya. Sepertinya setelah ini aku harus sujud syukur, akhirnya aku ditegur Owie! "Owh sudah ok ya? Soalnya Nandi bilang lo belum iya in Wie," ucapku agak gugup tapi sok dibikin santai. "Udah ok kok ... aku nggak bisa cuma hari Senin sama Rabu selebihnya bisa," jawabnya. "Gue Senin, Rabu, Jumat bimbel, free Selasa Kamis dan Sabtu. " Yaudah kita mulai kamis besok pulang sekolah aja, kalo latihan di rumah aku kamu keberatan nggak? Soalnya aku males banget bawa-bawa gitar kemana-mana." "Iya nggak apa-apa kok," jawabku cepat. "Pulang sekolah kamu pulang sama aku aja sekalian." "Ehm ... bukannya lo pulang sama Luna ya? Gue naik ojol aja, kasih alamat sama shareloc aja Wie." "Hmm." Setelah itu Owie tidak lagi menanggapi omonganku malah pergi begitu saja. "Lemoot dipiara neeeng," Wendy tiba-tiba mendorong bahuku. Rupanya dia sudah datang dan sedari tadi hanya sebagai penyimak pembicaraanku dengan Owie. "Apaan sih Wen ...," tentu saja aku tidak diterima dibilang lemot. Sepertinya tadi aku sudah melakukan hal yang benar. "Lo udah diajak pulang bareng walau cuma buat latihan dan mungkin cuma satu dua kali seminggu tapi lo tolaaak? Sementara dua tahun lebih lo cuma ngeces aja mimpiin dia suka juga sama lo ck ...ck ... pantesan ajaa PR nggak pernah selesai, emang agak lamban ya cara berpikir lo. Mangsa depan mata aja lo lewatkan, depan mata lhoo Pris!" Wendy bicara pelan tapi tampak gemas melihatku. "Salah ya gue? Kok gue takut khilaf kalo pulang sama dia Wen. Ntar kalo gue grepe-grepe dia gimanaa?" "Sinting!" "Issh Wendy ... gimana doong? Jadi gue ralat nih?" tanyaku sambil memasang tampang memelas minta dikasihani. "Udah telaat! Dia udah ilfil kali sama lo, pelukin aja tuh abang ojol, bagus lo gak di turunin di pinggir jalan." "Wendy tega amaaat yaaaa." ucapku masih dengan tampang sedih. "Iya emang gue ratu tega, baru tau?" sahut Wendy sengit. "Trus gimana dong Wen?" aku jadi benar - benar menyesal menolak ajakan Owie tadi. "Semoga lo beruntung dapat kesempatan lain. Cuma itu doa gue." Wendy langsung mengambil posisi duduk di sebelahku. Aku pun merutuki diri sendiri kenapa bisa melewatkan kesempatan itu. Biarpun tidak berani mimpi jadi pacarnya Owie, paling tidak aku pernah dibonceng motor sport hitamnya kan lumayan.. Bisa nempel-nempel hehe. * "Owie ... gue berubah pikiran deh, gue ikut lo aja pulangnya ya ... ribet juga kalo harus cari-cari alamat lo." Akhirnya aku menghampiri Owie di mejanya ketika selesai jam istirahat tadi, tapi sekarang masih jam kosong karena guru sedang rapat. Memang nekat gila sih, tapi daripada menyesal lebih baik aku sedikit nekat. Benar juga yang dibilang Wendy, urusan tidak enakan sama Luna kita urus nanti saja. "Hmm," tetap dengan jawaban singkatnya. "Hmm itu artinya apa ya?" tanyaku untuk memastikan nasibku hari Kamis nanti. Owie menatap mataku. Aku sedikit meringis sambil menggigit bibir tanda grogi. Masa iya ditatap tajam begitu .. Berasa menghujam jantung kaaan. Aku takut nggak kuat iman nih. "Iya," akhirnya dijawab juga. "Oowh .. hmm itu artinya iya, trus pulangnya diantar apa pulang sendiri?" "Terserah " "Jangan terserah dong ... kalo dianter ya bilang aja dianter, kalo nggak di anter ya udah gue pulang sendiri." Tiba-tiba aku merasa sikuku di tarik seseorang. "Sorry Wie.. " Wendy menarikku kembali ke kursi kami. "Ihh Wendy ... kenapa lagi siih? Gue kan hanya memastikan ke Owie" "Kepastian sih boleh.. tapi nggak ngelunjak juga kali," bisik Wendy. "Salah lagi ya Wen?" tanyaku bingung. "Nggak jelas banget sih lo Pris, coba elegan dikit gayanya ... jangan polos-polos tolol gitu dong," jawab Wendy judes. Aku rasa tensi Wendy naik hari ini, dari tadi dia marah-marah terus sama aku. "Wen.. salah gue apa sih, lo emosi terus sama gue hari ini." "Dengerin ... dia sudah mau bawa lo pulang ke rumahnya, ya jangan ngelunjak juga dong minta anterin pulang ke rumah lo. Kalo dia emang baek hati sama lo trus nganterin pulang.. Itu namanya rejeki lo bagus!" ucap Wendy masih dengan suara yang sangat pelan, cuma nadanya sedikit emosi. "Kalo dia nggak nganterin gue pulang, berarti gue naik ojol dong?" tanyaku lagi. "Lo pikirin aja sendiri ... gitu aja pake nanya! Lo kalo parah banget oonnya, boro-boro Owie suka sama lo ... yang ada dia eneg tau nggak. Sampe sini paham?" "Paham Wen, harus tau diri ya Wen? Di ajak syukur nggak diajak ya ngarep aja .. kasian amat gue Wen " "Baperrr... " "Wendy Ihhhh." "Selama hampir tiga tahun lo kan gak dilirik, kalo sekarang lo ada kesempatan untuk berdua sama dia, ya nikmatin aja. Walau sebatas latihan, trus dibonceng naik motornya, paling nggak dua puluh tahun lagi lo bisa ceritain ke anak lo bahwa mamanya pernah punya sejarah diajak naik motor sport hitam sama cowok tajir dan ganteng di sekolah ini, istilahnya masa sma lo gak suram -suram banget karena percintaan bertepuk sebelah tangan Pris." "Jangan ngeremehin gitu dong Wen ... papanya anak gue nanti juga ganteng dan tajir.. yaaa minimal CEO atau Owner usaha apalah gituuu, jadi anak gue nggak bakal kagum - kagum amat sama sejarah percintaan gue yang cuma dibonceng cowok ganteng," aku menjawab omongan Wendy dengan percaya diri. "Abis nelen novel lo ya segitu halunya sampe CEO segala disebut atau apa tadi? Owner usaha warung kopi maksud lo?" "Kan kalo ngayal mesti setinggi langit Wen, jadi kalo jatoh nggak ke selokan gitu lho, paling nggak masih nyangkut dipohon lah, tapi gue nggak nelen novel sih lebih tepatnya keselek novel, puass?" Lalu kami tertawa berdua. Ya begitulah aku dan Wendy, saling mendukung dan menjatuhkan di saat bersamaan. "Tapi Wen ... masih mendingan gue ya, ada yang bisa diceritain sama anak gue tentang cinta tak berbalas ini ... nah, lo nggak punya kisah sama sekali.. tragis banget Wen. Masak nanti cuma ada gue di kisah sma lo, mentok-mentok ada tambahan Nandi doang. Anak lo nanti kesel lho ibunya nggak laku-laku." "Enak aja.. Ini kan pilihan gue sendiri yang emang fokus belajar dan nggak mau buat kisah menyedihkan kayak lo gini, paling nggak anak gue nggak malu lah punya emak yang cuma berstatus secret admire dan gak naik-naik level!" sahut Wendy sambil melotot. Nah kan .. dia emosi lagi. "Kalo gitu kita rahasiakan aja kisah ini sama anak kita Wen, lo jangan bocorin ke anak gue nanti ya dan gue nggak akan kasih tau ke anak lo bahwa lo jomblo sakti." "Eh ngaca... situ punya pacar emangnya?" "O iya.. sama ya Wen?" lagi-lagi kami mentertawai nasib sendiri. Tiba -tiba ada yang menggebrak meja kami. "Eh ... ketawa-ketawa nggak jelas kalian berdua! Gue mau kasih tau nih cyin, lo udah oke duet sama Owie ya, nanti dia akan atur jadwal latihannya " ucap Nandi. "Basiiii!" sahut ku dan Wendy bersamaan. "Emang kenapa, Owie udah ngomong?" "Udah Cong ... artis gue udah dapat jadwal latihan dari Owie, ngomong-ngomong Luna gimana kalo liat artis gue dengan ayangnya berduaan aja? Lo tanggung jawab keselamatan artis gue ya," Wendy bicara sambil berbisik kepada Nandi. "Amaaan ... gue gak mau dengerin dia deh cyin, yang penting Owie udah oke, ertong lo bisa nyanyi dengan tenang dan damai." "Kok gue rada - rada nggak enak dengernya yaa, kok berasa ada yang ngucapin rest and peace deh ... lo doa in gue metong ya?!!" kali ini aku nyolot sama Nandi. "Eitts sabar braiiiii ... emosian ya lo, kan gue mau pake bahasa yang agak high level. Agak-agak sopan gitu maksudnya. Jangan salah arti dong. Udah ah cus ya ... latihan yang rajin, tampil yang bagus, jangan malu-maluin kelas kita," Nandi berlalu kembali ke kursinya. Setelah Nandi menjauh Wendy berbisik kepadaku. "Pris.. lo perhatiin gak kalo si Nandi jadi laki beneran ... sebenarnya cakep tu anak, tapi kalo di bencong-bencongin gitu malah serem ya tampangnya." "Jangan lo bilang lagi putus asa jomblo forever sampe Nandi aja lo bilang ganteng ya Wen" "Diihh amit-amit... lo pikir gue segitu nggak lakunya apaa?" Wendy memukul bahuku cukup keras. "Ya kali lo khilaf .. gue kan cuma memastikan." "Lo bales dendam kayaknya sama gue" "Nggaak Weenn ... lo mah gitu. Ngatain gue baper nah lo sendiri baper." Aku memamerkan senyum kemenangan. "Tapi Pris ... selamat menikmati sebulan lebih bersama Owie ya. Atau mau gue doain acaranya mundur jadi dua bulan lagi biar latihan lo jadi lama?" "Ya Allah Wen... sebulan aja gue udah sujud syukur tau nggak. Hampir tiga tahun cuma bisa liat doang eh pas mau lulus kok di kasih kesempatan dekat walau sebulan. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan Wen .." "Mulai lebaaayy..." "Serius Wen... gue seneng banget. Biar lo ngatain si Nandi serem tadi, gue tetap berterima kasih sama tu orang. Karena dia jugakan akhirnya gue bisa bareng Owie di ujung masa sma kita ini. Walau dia juga nggak tau perbuatan baiknya buat gue ... tapi gue do'ain dia tetap masuk surga." "Lo kira dia udah mau matiii?!!" teriak Wendy agak di tahan. "Salaaah lagi deh gue. Lo coba tensi deh Wen, gue rasa lo udah darah tinggi beneran nih. Dari tadi lo marah-marahin gue melulu." "Gue rasa juga gitu... emosi banget liat tingkah lo hari ini. Ada gilanya, ada polos nya tapi banyakan begonya." Aku tertawa menanggapi Wendy. * Beberapa saat kemudian... Hari ini aku sangat bahagia sekaligus khawatir. Jantungku rasanya berdetak lebih cepat hari ini. Mungkin terlalu bahagia apalagi Owie bicara lebih banyak dari pada biasa nya kepadaku. Dan aku juga membayangkan kebersamaanku nanti bersama Owie. Semoga nanti kami bisa lebih dekat..eh tapi Luna gimana yaa? aku harap dia nggak cemburu. Lagian aku kan bukan pepacor alias perebut pacar orang. Aku hanya ingin merasa bahagia bisa dekat dengan Owie untuk waktu yang singkat dan mungkin juga terakhir kalinya, karena setelah ini kami akan mengejar cita-cita masing-masing dan kisahku ini akan jadi cerita yang akan segera terlupakan dimasa yang akan datang. "Hei...lagi ngayal apa melamun?" Wendy menepuk pelan bahuku. "Emang ada bedanya Wen?" Tanyaku. "Tulisannya aja beda, nyebutinnya juga beda harusnya artinya juga beda ya." "Mungkin kombinasi keduanya, apaan namanya Wen?" "Halu!" jawabnya lebih terdengar seperti sebuah kekesalan. Aku tertawa mendengar jawaban Wendy. "Kejam amat di bilang halu, nggak halu lah, anggap aja gue tadi lagi melamun. Ke kantin aja yuk Wen, air es enak kayaknya nih. Otak dah kering rasanya" "Yuk, pengen ngunyah yang manis-manis juga gue," jawab wendy. "Mau dapet ya lo?" "Mau dapet atau nggak tetap aja gue suka yang manis-manis." "Jangan dibiasain ntar tuanya kena diabetes lho. Kan makan sekarang kayak tabungan buat tubuh kita dimasa depan." "Lo cocok nya jadi dokter deh Pris, auranya udah dapet, tapi otaknya aja yang nggak nyampe." Ucapan Wendy membuatku cemberut. "Nggak usah ditegesin juga kali Wen, demen banget lihat gue terhina dina! Yuk cabut." Ajakku. "Sist ... mau kemenong?" Suara Nandi menghentikan langkah kami. "Kantin, mau ikut?" "Mau doong, Nandia pantang nolak yang enak-enak.' Ucap Nandi centil dan mengikuti kami ke kantin. Aku tidak tahu karena ge-er ataukah memang sangat terasa kalau kita sedang diperhatikan seseorang, aku kok merasa ada mata yang mengawasi kami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD