Elle mengedipkan matanya agar tersadar seratus persen dari tidurnya. Ia kembali menatap Cass dengan perasaan tak menentu.
Cass yang terpesona hanya diam tak bergerak, “Ma… Maafkan aku.”
“Aku hanya berniat membangunkanmu,” Cass bicara perlahan.
Elle kembali mengedipkan matanya hingga dua kali.
“A.. Aku sudah bangun,” gumamnya.
“Oh… I.. Iya,” Cass akhirnya bergerak mundur agar Elle bisa keluar dari dalam mobilnya. Ia berdiri di dekat pintu mobil dan menanti Elle keluar dari kendaraannya tersebut.
“A.. Aku masuk dulu,” Elle bicara dengan gugup.
“Iya,” Cass sedikit canggung. “Besok pagi aku jemput di sini.”
Elle mengangguk, “Mmm… Emmet selalu menemaniku sarapan…”
“Iya, Emmet sudah menyampaikan soal itu. Aku akan sarapan di sini,” Cass merasakan ada keringat dingin di telapak tangannya. Ia berdiam diri di dekat pintu mobil karena bingung harus berbuat apa lagi.
“Aku ke dalam,” Elle mengatupkan bibirnya sambil memperhatikan Cass dengan rasa bingung dan canggung.
“I.. Iya,” Cass tiba tiba melakukan sesuatu yang tidak direncanakan. “A.. Aku antar sampai ke pintu.”
Elle tidak menjawabnya. Ia hanya tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya untuk berjalan menuju pintu masuk rumah.
Cass mengikutinya di belakang. Matanya memperhatikan tubuh Elle dari belakang yang begitu sempurna. Pinggangnya yang kecil bak jam pasir. Cass tiba tiba saja merasa ingin merangkul tubuh wanita yang bak Barbie hidup tersebut.
Hilangkan pikiranmu itu Rexton. Ingat niatmu. Jangan melenceng dari rencana semula.
Elle melangkah dengan anggun dan elegan. Sepatu hak tinggi yang dikenakannya semakin membuat sosoknya memesona.
Kaki yang indah…
Dengan melihatmu begini, berhasil menggetarkan segenap tubuhku…
Imajinasi liar kembali muncul di dalam benak Cass. Ia hanya bisa menelan air liurnya sendiri dan menggigit bibirnya.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu.
Elle membalik menatapnya, “Bye.”
“I… Iya,” Cass mengangguk.
Elle melangkahkan satu kakinya hendak masuk ke dalam rumah megah tersebut. Tapi Cass mendadak mencegahnya, “Tu.. Tunggu.”
“Ada apa?” Elle membalikan tubuhnya sambil menatap Cass.
“Besok jam delapan?” Cass pura pura lupa.
“Iya,” Elle tersenyum. “Jangan terlambat.”
Cass ikut tersenyum. “Aku tidak pernah terlambat.”
“Baguslah,” Elle mengatupkan bibirnya sambil tersipu.
“Sampai besok Elle,” Cass memamerkan deretan gigi putihnya yang menawan hati.
“Ehm,” Elle berdehem. “Iya.”
Lagi lagi ia tersipu malu.
“Bye,” Elle membalikkan badannya dengan cepat dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Cass memperhatikan sosoknya hingga menghilang dari pandangan.
Oh…
Ia mengelus dadanya berulang kali naik turun.
Ada apa dengan hatiku?
Cass kemudian bergerak menuju mobil yang terparkir di depan. Ia meminta pengemudi mobil mengantarkannya ke sebuah komplek apartemen yang berlokasi di dekat gedung apartemen milik Emmet.
Diam diam, hari ini, Deon sudah mengurus satu unit apartemen untuk ditempatinya selama berpura pura menjadi Cass Sachiel.
Mobil pun tiba di satu komplek apartemen bernama Luxury Villa Apartment.
“Saya tinggal di sini pak,” ucap Cass saat turun di basemen apartemen tersebut.
“Baik, besok pagi saya jemput di sini,” pengemudi tersebut mengangguk lalu bergerak pergi.
Cass menunggu hingga mobil milik Keluarga Cirillo tersebut hilang dari pandangan. Setelahnya, ia menghubungi Deon.
Deon : “Yes.”
Cass : “Kamu dimana?”
Deon : “Di apartemen barumu.”
Cass : “Aku di basemen. Bagaimana caraku naik?”
Deon : “Tunggu.”
Tak lama, sosok Deon Cannavaro muncul. Ia mengenakan perban di pergelangan kaki hingga ke tumit.
“Ada apa dengan kakimu?” Tanya Cass keheranan.
“Lupa? Insiden sepeda? Demi niat busukmu? Kamu lupa pengorbananku?” Deon merasa kesal sendiri.
Cass langsung tertawa terbahak bahak. Ia merangkul sekretaris merangkap sahabatnya tersebut.
“Bersabarlah. Dua bulan ini mungkin saja kamu tidak berurusan denganku. Jadi terima saja,” Cass berbisik di telinga Deon.
Deon melangkah perlahan karena kakinya belum sembuh total, “Kamu diterima?”
“Yes. Rencana berjalan mulus. Aku akan menjadi sekretaris Brielle Cirillo mulai besok. Bahkan, aku ada kesempatan untuk memasuki rumah tempat tinggalnya,” Cass menyeringai.
“Aku yakin resep racikan itu ada di dalam rumah tinggalnya. Kuncinya adalah mencari tahu lokasi rahasia di kediamannya tersebut. Barang seberharga resep tersebut tidak mungkin disimpan asal asalan,” terang Cass.
“Bagaimana caramu?” Deon mengerutkan keningnya.
“Yang pasti ada kesempatan. Pagi hari dan malam hari aku mengunjungi rumahnya. Kita amati dan cari caranya,” jawab Cass.
Mereka akhirnya tiba di lantai dua puluh tiga, tempat unit apartemen milik Cass berada.
“Unitmu di dua tiga tiga tiga,” ucap Deon sambil membuka menggunakan passcode. “Passcode menggunakan angka yang biasanya.”
“Ya,” Cass mengangguk. Ia duduk di sofa besar yang empuk sambil melepas jaket yang dikenakannya.
Cass mendadak diam.
Deon memperhatikan perubahan ekspresinya, “Apa yang kamu pikirkan?”
“Mmm… Brielle Cirillo… Apa dia memiliki kekasih?” Cass menggumam.
Deon mengerutkan keningnya, “Apa kepentinganmu bertanya soal itu?”
Cass mendadak malu sendiri dengan pertanyaannya.
Ia menutupinya dengan mengomel, “Apa juga kepentinganmu dengan mempertanyakan kepentinganku bertanya soal itu?”
Deon menggaruk rambutnya, “Tidak ada kepentingan tertentu. Just curious.”
“Tidak ada curious curious. Jawab saja pertanyaanku,” Cass merasa kesal.
Deon menggeleng, “Selama ini, saat tim menyelidikinya, hampir tidak pernah dia menemui lelaki sesering Emmet Shaw.”
“Tapi… Dia sering menemui lelaki?” Cass semakin penasaran.
“Iya,” Deon mengangguk.
“Sering?” Cass semakin ingin tahu. “Sering atau pernah?”
Deon mengulang kata katanya, “Sering.”
“UNTUK APA?” Cass tiba tiba merasa kesal sendiri.
“Untuk apa?” Deon kebingungan. “Aku tidak tahu. Tapi itu wajar saja… Dia belum menikah. Kencan sesekali rasanya tidak aneh.
“Selain itu, mungkin juga urusan bisnis.
“Brielle Cirillo seorang CEO, dia pebisnis, pengusaha. Tentu relasinya banyak. Dan dunia ini didominasi kaum lelaki.”
Cass mengepalkan tangannya.
“Itu tidak perlu. Untuk apa menemui lelaki sering sering?” geramnya.
Deon merasakan kerut kerut di dahinya semakin bertambah. Ia heran dengan kelakuan Cass.
“Itu urusan Brielle Cirillo bukan?” Deon bicara apa adanya.
“Kamu membelanya?” Cass mulai marah. “Kamu membenarkan perempuan yang sering ketemu laki laki?”
Ia bangkit dari kursinya.
“Aku…” Deon bingung menjawab. Ia bingung dengan sikap Cass.
“Sudah. Tidak perlu kamu jawab,” Cass menggelengkan kepalanya. “Lama lama, kamu juga membuatku kesal.
“Kamu dan Brielle Cirillo sama sama menjengkelkan.”
Cass melangkah ke sebuah pintu dan membukanya.
“Kamu mau kemana?” tanya Deon.
“Tidur. Aku tidak mau melihat wajahmu,” jawab Cass.
“Itu kamarku. Kamarmu di ujung kanan,” Deon bicara tanpa emosi.
Cass melotot sambil melemparkan jaket yang ada di tangannya, “Jangan berisik.”
Deon hanya mengangkat bahunya dan mencoba memahami Rexton Orville yang mungkin sedang tidak enak hati.
Setelah Cass masuk ke kamarnya. Ia pun beristirahat di kamarnya.
Di dalam kamar, Cass berbaring di atas tempat tidur.
Kenapa juga aku marah marah? Kenapa juga aku harus peduli pada siapapun yang ditemui si Brielle?
Ia berguling guling di atas tempat tidur sambil menendang nendang dengan rasa kesal.
>>>
Elle berbaring di tempat tidur sambil terus tersenyum. Ada bayangan wajah Cass yang muncul di benaknya.
Kenapa aku mengingatnya? Apa karena dia tampan? Apa karena dia baik? Apa karena dia penolong Emmet?
Sekretarisku begitu tampan.
Elle memeluk guling dengan gemas.
Ia teringat ketika Cass menyentuh rambutnya saat ada potongan daun yang terselip.
Lalu tadi… Wajahku dan wajahnya begitu dekat ketika dia hendak membangunkanku.
Ahh.. Itu mendebarkan.
Seperti naik roller coaster bulak balik.
Elle tertawa kecil. Ada rasa bahagia yang membuncah dan tidak bisa ia tahan.
Drr.. Drr…
Tiba tiba ponselnya berbunyi.
Siapa yang menghubungiku?
Elle mengambil ponsel miliknya dan mengecek pesan masuk tersebut. Tiba tiba saja, senyum menghilang dari wajahnya.
Chase Everett : Please luangkan waktumu untuk makan malam denganku.
Chase Everett : Terus terang saja, aku menyukaimu.
Elle menyimpan ponsel itu tanpa membalasnya.
Lelaki itu membuatku takut.