Hari Minggu, 22.03 WIB
Notifikasi LINE berbunyi di layar ponsel Nayla Anindya. Jari-jarinya yang sudah lemas karena baru saja menangis, bergetar sedikit. Ia menatap layar itu dengan mata sembab—tapi semangatnya meletup-letup dalam amarah yang tak tertahankan.
Nayla: “Lo cowok paling bajngan sedunia. Tahu nggak rasanya ditinggal tanpa penjelasan?! GUE GILA! GUE TULIS SURAT DIARI HARIAN KAYAK ANAK SMP, DAN LO BACA—TERUS HILANG! SAMPAH!”
Nayla: “Udah gitu masih suka ngelike foto gue di IG. Halah, Psikopat.”
Nayla: “Lo pasti bangga, ya? Gue nangis tiap malam, lo tidur sama cewek baru. Tapi gak apa-apa. Gue udah kuat. Gue bakal lulus semester ini. Gue gak butuh lo!”
Send.
Send.
Send.
Tiga pesan panjang meluncur cepat, dan Nayla mendesah keras.
Dramatis? Memang. Tapi ia sudah cukup sabar. Cowok b******k itu pantas dapat lebih. Nayla merebahkan diri ke kasur kosannya yang penuh bantal, lalu meraih ponsel untuk mengecek notifikasi.
Tapi detik berikutnya, jantungnya seperti dicekik malaikat maut.
“OH MY GOD.”
Ia menatap layar ponsel. Nama yang tertera bukan mantan brengseknya. Tapi:
Prof. Adrian R. (Dosen Psikologi Komunikasi)
“AAAAAAAAAAA!!”
Teriakannya menggema seantero kosan lantai dua. Bahkan si Mba Indah penghuni sebelah menggedor tembok sambil berteriak, “Woy! Gila tengah malam?!”
***
Senin Pagi, 07.45 WIB – Gedung Fakultas Psikologi, Kampus Universitas Ryuzaki.
Nayla merasa ingin dikubur hidup-hidup. Jantungnya berdebar seperti mau ujian negara, bukan cuma masuk kelas.
Selama semalam ia tidak berani buka LINE. Tidak berani tidur. Tidak berani hidup, rasanya. Ia salah kirim curhat patah hati ke dosen killer baru yang bahkan belum pernah ia temui langsung.
“Gue nggak mau masuk ...,” gumamnya panik di depan pintu kelas D-308. Tubuhnya kaku, kakinya seakan terpaku. Sungguh dia tidak berani untuk bergerak sedikitpun. Masuk ke dalam sama saja bunuh diri. Yang ada Nayla ingin sekali lari dari sana.
Sayangnya, takdir selalu punya selera humor buruk. Dan sebelum ia sempat kabur, suara laki-laki rendah, tenang, dan amat ... amat familiar terdengar di belakangnya.
“Maaf, ini ruang D-308?”
Nayla menoleh. Lalu hatinya menciut.
Cowok itu ... dosen itu ... lebih ganteng daripada foto-foto yang beredar di grup kampus. Dengan kemeja abu muda, jam tangan klasik, rambut rapi seperti pria Jepang, dan tatapan setenang laut dalam. Dingin. Berwibawa.
Dan sangat—sangat—mengintimidasi.
“Iya, Pak. Silakan ...,” gumam Nayla, berusaha terdengar normal.
Adrian mengangguk pelan. “Terima kasih, Saudari ... Nayla Anindya, ya?”
Langkahnya langsung berhenti.
Oh tidak.
Dia. Tahu. Namaku.
“Kamu masuk kelas saya semester ini. Sudah semester akhir, bukan?”
“I-Iya, Pak,” jawab Nayla, nyaris tak bisa berdiri tegak. Suaranya seperti kaleng penyok.
Adrian menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. Tapi bukan senyum hangat. Lebih seperti ... senyum yang paham terlalu banyak.
“Kita mulai kuliah perdana hari ini. Harap jangan curhat patah hati lagi jam dua pagi ke nomor saya. Saya kurang ahli menanggapi drama percintaan mahasiswa,” ujarnya, santai sekali.
“OH MY GODDD!!!” teriak Nayla dalam hatinya.
Bibirnya tersenyum getir, segetir hatinya.
***
Di dalam kelas ...
“Selamat pagi,” suara Adrian terdengar berat dan dalam saat ia berdiri di depan whiteboard. Mahasiswa langsung diam. Semua langsung mematung. Aura dosen baru ini tidak main-main.
“Nama saya Adrian Reinaldi. Kalian bisa panggil saya Pak Adrian. Atau Prof Adrian. Bebas. Tapi kalau ada yang panggil saya baby, papa, atau hubby, saya akan coret langsung dari daftar presensi.”
Tawa meletup dari seisi kelas. Bahkan Nayla pun ikut tertawa—walau masih setengah trauma.
“Semester ini, saya akan mengajar Psikologi Komunikasi. Tidak hanya teori, kita akan bahas juga dinamika sosial, konteks percakapan, dan bagaimana cara menyampaikan emosi ... termasuk yang terpendam, atau terlalu meledak-ledak.”
Tatapan Adrian mengarah lurus ke Nayla. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat wajahnya terbakar seperti diguyur sambal.
"Saya. Akan. Mati," batin Nayla.
Setiap kalimat yang Adrian lontarkan seperti anak panah yang tepat sasaran. Ditambah tatapan matanya yang mengintimidasi.
---
Satu jam kemudian ...
“Sekarang, saya ingin satu mahasiswa yang bersedia menjelaskan: kenapa komunikasi gagal terjadi dalam hubungan yang seharusnya saling mencintai?”
Hening. Semua saling pandang. Tak ada yang berani.
Lalu Adrian menatap langsung ke arah Nayla.
“Kamu, Nayla. Kamu pasti punya jawaban. Mungkin ... berdasarkan pengalaman pribadi?”
Semua mata langsung menoleh ke Nayla.
Bahkan teman-temannya yang duduk di belakang langsung menahan tawa.
Nayla ingin lenyap. Tapi otaknya jalan. Nayla mengangkat tangan, pura-pura santai.
“Ehem, menurut saya ... komunikasi gagal karena salah satu pihak lebih banyak berharap daripada bicara. Dan satu pihak lainnya ... lebih banyak diam karena punya backup plan yang lebih cantik, lebih mulus, dan mungkin ... lebih mudah dibodohi.”
Meletus tawa sekelas. Adrian menatapnya, agak terkejut. Tapi kemudian ... ia mengangguk pelan.
“Jawaban yang sangat ... emosional. Tapi menarik. Kamu bisa jadi contoh bagus soal apa yang tidak boleh dilakukan dalam komunikasi dewasa.”
"Dih, dosen satu ini sengak juga," gumam Nayla dalam hati.
***
Jam kuliah berakhir.
“Saudari Nayla, tolong tunggu sebentar,” kata Adrian, sebelum mahasiswa lain keluar ruangan.
Wajah Nayla langsung pucat. Ia berdiri gugup.
Adrian menyandarkan tubuh ke meja, menatapnya serius.
“Saya tahu kamu salah kirim chat. Saya juga tahu kamu sedang marah dan kecewa. Tapi sebagai dosen, saya punya tanggung jawab untuk menjaga profesionalitas.”
Nayla mengangguk panik. “I-Iya, Pak ... saya minta maaf. Sungguh.”
“Tapi ....” Adrian menatapnya dalam. “Tulisan kamu ... sangat jujur. Dan sangat ekspresif. Kamu pernah berpikir jadi penulis?”
Nayla mengerjap. “Eh?”
Adrian tersenyum, samar. “Saya sedang mencari asisten riset untuk semester ini. Proyeknya tentang dinamika emosi dalam komunikasi. Saya ingin kamu ikut.”
Nayla membeku. “Saya?”
“Ya. Kamu. Bakat kamu dalam mengekspresikan emosi ... sangat berpotensi. Asal kamu bisa menjaga batas profesional.”
Nayla menatapnya bingung. Otaknya belum mencerna semua dengan sempurna.
“Tapi, Pak ... saya curhat kasar. Saya spam. Saya hina cowok kayak psikopat. Kenapa saya?”
Adrian menatapnya, senyum tipis muncul.
“Karena saya penasaran ... seperti apa isi kepala kamu, kalau tidak sedang marah.”
***
Begitu Nayla keluar dari ruangan, wajahnya masih penuh kebingungan. Ia berjalan sambil memegang d**a.
“Gila. Dosen itu ... senyum pakai lesung pipit.”
Dan di balik pintu, Adrian masih berdiri. Tatapannya mengarah pada layar ponsel.
Chat terakhir dari Nayla malam itu masih tersimpan.
Dan di bawahnya ... sebuah draft puisi muncul di catatan pribadi Adrian:
[Perempuan yang menulis dengan amarah,
Tapi hatinya retak pelan-pelan tanpa suara.
Aku ingin tahu,
Bagaimana caranya kamu tersenyum tanpa luka.]