Voice Note yang Salah Kirim

1087 Words
Pagi berikutnya – Kampus, Ruang Dosen Nayla berdiri ragu di depan pintu. Tangannya sudah dua kali hampir mengetuk, tapi jiwanya belum siap. Lalu pintu terbuka sendiri. Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang digulung rapi di lengan, rambut sedikit acak seperti belum sempat dirapikan. "Masuk saja. Saya tidak gigit," ujarnya tenang. "Saya ... saya nggak sengaja, Pak. Voice note itu—" "Tidak perlu dijelaskan. Saya juga manusia. Bisa dibilang, itu salah satu pengakuan paling jujur minggu ini." Nayla duduk, wajahnya merah. Adrian menyerahkan beberapa berkas. "Hari ini kita mulai turun lapangan. Mahasiswa harus observasi interaksi komunikasi antar individu di ruang publik. Kamu ikut saya ke stasiun kereta." "Saya? Berdua, Pak?" Adrian menatapnya datar. "Apa kamu lebih suka observasi di tempat ramai sendirian?" "Enggak sih ... cuma takut salah kirim voice note lagi." Untuk pertama kalinya, Nayla melihat Adrian tertawa keras. Bukan senyum, bukan tawa tipis. Tapi tawa lepas. "Saya akan pastikan kamu fokus kerja, bukan merekam puisi tentang kopi hitam dan lesung pipit." *** Stasiun Kota – Siang Hari Suasana ramai. Orang berlalu-lalang. Anak-anak sekolah, pekerja kantoran, ibu-ibu yang memborong sayur. Adrian berdiri dengan clipboard, Nayla membawa recorder. Ia mencatat gaya komunikasi non-verbal, gesture, dan ekspresi wajah dari penumpang. "Pak, yang ibu-ibu itu lagi high-context atau low-context ya?" "Lihat posisi tubuhnya. Ia mencondongkan badan, menunjuk ke arah yang sama tiga kali, tapi tidak bicara banyak. Artinya: high-context." Nayla mengangguk. "Bapak jago banget ya." "Sudah pengalaman mengamati orang. Dulu saya pernah jadi pengamat percintaan teman. Tapi gagal jadi mak comblang." "Kenapa?" "Karena saya justru jadi suka salah satu dari mereka." Nayla melongo. Adrian tersenyum tipis. "Bercanda." Sore mendung – Masih di area stasiun Langit mulai gelap. Angin dingin menerpa. Mereka hendak kembali saat hujan deras turun tanpa aba-aba. Mereka berlari kecil ke bawah jembatan penyebrangan. "Hujannya niat banget ya, Pak," Nayla mengusap lengan bajunya yang basah. "Kamu kedinginan?" Nayla mengangguk pelan. Adrian membuka tasnya dan mengeluarkan ... jaket abu-abu. Tanpa berkata banyak, ia menyampirkannya ke bahu Nayla. Bukan dengan niat sok romantis. Tapi ... tetap saja, terasa seperti adegan di drama. "Kalau kamu sakit, laporan kita nggak selesai." "Jaketnya bau kopi, Pak." "Wajar. Itu sudah jadi bagian dari saya." Hening sejenak. Nayla menatap langit. "Pak, boleh tanya jujur?" "Silakan." "Bapak pernah suka sama mahasiswi nggak?" Adrian menoleh pelan. "Itu ... pertanyaan jebakan." "Ya, anggap saja ... observasi." Adrian menatap matanya lama. Di balik suara rintik hujan dan sorot lampu jalan, sorot itu terasa sangat ... personal. "Pernah," jawabnya lirih. "Lalu?" "Saya menjaga jarak. Karena dunia akademik penuh kaca pembesar. Dan karena kadang, logika harus mendahului perasaan." Nayla diam. "Tapi ... apa logika selalu menang?" tanyanya pelan. Adrian tidak menjawab. Tapi ia menatap Nayla lebih lama dari seharusnya. Lalu berkata, "Ayo pulang. Sebelum saya menjawab sesuatu yang belum waktunya." Dan mereka berjalan di bawah hujan. Diam. Tapi hati mereka sudah ribut di dalam. *** Suasana ruang dosen di lantai tiga fakultas Psikologi itu biasanya sepi. Apalagi sore hari seperti sekarang. Suara pendingin ruangan dan ketikan laptop menjadi satu-satunya latar, diselingi aroma kopi dan buku-buku tua. Nayla berdiri ragu di depan pintu kaca berlabel “Dosen Psikologi Komunikasi – Adrian Reinaldi, M.Psi.” Tangannya sempat terangkat untuk mengetuk … lalu turun lagi. “Masuk aja.” Suara itu datang dari dalam—lembut tapi jelas mengenali langkahnya. Nayla menggigit bibir bawah, lalu membuka pintu perlahan. Di balik meja kayu berantakan dengan tumpukan buku, duduk Adrian dalam kemeja putih yang lengannya digulung santai. Rambutnya sedikit berantakan, seperti baru menyesap banyak deadline. “Kamu datang juga,” katanya sambil menatap layar laptop. “Konsultasi soal observasi?” “Iya, Pak.” “Pakai ‘kamu’ aja, kan sudah pernah di taman bareng,” selorohnya tanpa menatap. Nayla tersentak, lalu memilih duduk. Di hadapannya, ada dua kursi tamu. Dia memilih kursi yang agak ke samping, bukan yang tepat di depan meja. Jaga jarak aman. Lagi-lagi. “Saya udah kumpulin laporan observasi kemarin,” ucap Nayla cepat, berusaha menguasai situasi. “Tapi ada bagian yang saya masih ragu. Boleh saya tanya?” Adrian menatapnya sekarang. Lama. Terlalu lama. “Tentu. Tapi sebelum itu … kamu minum dulu.” Ia meraih termos kecil di samping meja, menuangkan kopi ke dua gelas kertas. “Saya suka mahasiswa yang kritis. Tapi lebih suka lagi yang tahu caranya rileks.” Nayla menerima gelas itu dengan hati-hati. Tangannya menyentuh jarinya sejenak—hangat, terlalu hangat. Ia buru-buru menarik tangan. “Ini … soal interaksi pasangan yang duduk di bangku taman. Yang ceweknya diam, tapi cowoknya terus ngomel. Saya tulis kesimpulan bahwa si cewek merasa bersalah. Tapi saya jadi ragu .…” “Kenapa?” “Soalnya, gesturnya tenang. Tapi matanya … kosong.” Adrian bersandar ke kursi, tersenyum. “Good catch. Kamu mulai belajar membaca dua hal berbeda dari satu individu.” “Jadi saya salah?” “Enggak. Kamu melihat dua lapisan emosi. Gestur bisa menyesatkan, tapi matamu tajam. Seperti matamu sekarang.” “Sekarang?” Nayla berkedip. “Kamu duduk dengan postur siap debat, tapi matamu penuh tanda tanya. Artinya kamu pengin tahu lebih, tapi nahan.” Nayla menghindari tatapannya. “Mungkin saya cuma … nggak enak nanya terlalu banyak.” “Kamu takut saya bakal nilai kamu aneh?” “… sedikit.” Adrian tertawa pelan. “Kamu tahu, Nayla. Psikologi komunikasi itu bukan soal jadi pintar ngomong. Tapi pintar membaca, lalu memutuskan mau percaya atau nggak. Itu yang berat.” Nayla diam sejenak, lalu memberanikan diri. “Kenapa Bapak—eh, kamu—sering banget memperhatikan ekspresi saya?” Adrian mengangkat alis. “Karena kamu ekspresif tanpa sadar. Dan kamu lucu waktu berusaha menyembunyikan rasa gugup.” “Jadi saya … menarik buat diamati?” “Kamu lebih dari itu,” katanya sambil menatap dalam. “Kamu bikin saya pengin lihat terus.” Jantung Nayla berdetak keras. Ia memalingkan wajah, menyesap kopinya, meski suhu minuman itu jelas terlalu panas untuk bibirnya yang sekarang mendadak kering. Adrian tak mengalihkan pandangan. Ia berdiri perlahan, lalu berjalan ke rak buku di belakangnya. Mengambil satu buku tebal berjudul Emotion and Communication: Microexpressions in Human Interaction dan menyodorkannya. “Kalau kamu tertarik, ini bisa kamu pinjam. Ada bab khusus soal membaca mata.” Nayla menerimanya pelan. “Terima kasih.” “Dan kalau kamu masih ragu, kamu boleh datang ke sini kapan saja. Bahkan kalau cuma buat ngobrol.” Nayla menatapnya, setengah percaya, setengah was-was. “Maksudnya konsultasi?” “Maksudnya … apa pun. Asal kamu mau cerita.” Mereka saling menatap untuk beberapa detik yang terlalu panjang. Lalu ponsel Nayla bergetar—pesan masuk. Ia langsung berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD