3

1070 Words
Semalaman, HP-ku terus berdering. Saat kuperiksa, ternyata semua dari Mas Adi Jaya. Tentu dia sangat cemas. Aku memijit dahi yang sedikit pening, biasanya kalau hujan-hujanan selalu begini. Pasti bentar lagi flu. Namun karena suasana hatiku lagi senang karena semalaman Mas Adi Jaya terus menelepon, maka aku tersenyum ceria dan merentangkan kedua tangan lebar-lebar, segera beranjak bangkit menuju kamar mandi dan merendam diri di bathub. Busa-busa sabun bergelembung menutupi tubuh dan aku memejamkan mata mencoba rileks. Yaaa, aku ini agak sedikit gugup juga deg-degan karena hari ini mau bertemu dengan lelaki yang akan membuatku memiliki anak dalam satu bulan ke depan. Seperti apa, ya, orangnya kira-kira? Semoga gak jelek-jelek amat. Aku akan langsung mengajaknya ke hotel untuk memroduksi bibit cinta. Aku bersolek di depan cermin, tiada henti mengagumi diri sendiri yang cantik mempesona. Aku tinggi semampai dengan gestur tubuh yang melekuk indah menggoda, pipi tirus dengan hidung mancung, dan bibir seksi merah muda alami. Rambut sebahu bergelombang aku kepang lalu menyanggulnya ke atas, membuat leher jenjangku terespos jelas. Aku meraih jepit kecil lantas menyematkannya ke sisi telinga. Anting-anting panjang berbandul senada dengan liontin melengkapi penampilanku. Aku tersenyum miris di depan cermin, kembali tersenyum dan berpura-pura riang. Aku ini perempuan riang, tak suka ditindas, penuh harga diri dan optimis. Apa yang jadi milikku, tidak boleh dimiliki orang lain, termasuk Mas Adi Jaya tersayang, yang akan jadi milikku seorang. Aku melenggang elegant menuju mobil dan supir pribadi langsung melajukan benda keluaran terbaru ini membelah jalanan yang padat dengan kendaraan roda dua dan empat. Saat mobil akhirnya berhenti di kafe, aku lekas turun. Orang kepercayaan orang tuaku, Arman, sudah menunggu, mengangguk dan tersenyum sopan padaku. Ia adalah lelaki tinggi tegap kesayangan ayah. "Mana?" Aku menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari. Arman menuding ke sebuah kursi di mana tiga lelaki tampak perkasa tengah duduk membelakangi. Aku berhenti melangkah, menatap ke arah lelaki-lelaki itu dengan heran. "Kenapa ada tiga? Aku hanya minta satu lelaki. Kamu kira aku perempuan gampangan apa yang mau digilir?!" Nadaku sedikit ketus. Arman, orang kepercayaan ayah yang selalu ramah pada siapapun, mengangguk. "Biar mbak punya pilihan." Arman menuding ke satu lelaki yang duduk di sebelah kanan. Aku tersenyum kecil. Memilih, seolah aku akan beli baju saja. Tapi usulnya boleh juga. "Yang di sana itu namanya Yanto, duda ditinggal mati, anak satu." Aku memperhatikan dan mengangguk. Kalau sudah punya anak, bisa dipastikan dia bisa memberiku bibit mumpuni. "Yang tengah itu si Deni, anak dua." Aku kembali mengangguk. Yang itu boleh juga. Dua lho, anaknya. Pastinya lebih jantan. Hahaa Arman menunjuk orang terakhir. "Yang terakhir itu namanya Reno, anak dua belas." Mulutku membulat dan berkata, wow. Kalau pilih si Reno, pasti keberhasilan punya anak lebih tinggi. Aku manggut-manggut. Boleh juga pilih si Reno. Dari belakang terlihat kekar, pasti tak memgecewakan. Aku yakin tidur dengannya, bibit cinta dengan cepat terbentuk menjadi bayi. Aku tersenyum sendiri, dadaku sedikit bergemuruh. Demi kamu, Mas, aku rela lakukan apa pun, termasuk terjun ke dunia haram. Aku dan Arman melangkah bersisian. Begitu jarak kami tinggal beberapa inchi saja, Arman berkata, "Ini mbak Melani sudah datang." Ketiganya kompak menoleh. Mataku melebar kaget dan aku mendelik sebal pada Arman. Arman mengerutkan kening heran. Ya ampun ini orang lola, deh. Ya masa aku yang cantik jelita dicarikan lelaki kaleng-kaleng? Yang benar saja aku tidur dengan salah satu di antara mereka? Hiiiiii. Aku bergidik. Kuperkirakan umur mereka di atas 4 puluhan, dengan gigi tonggos. A-duuh, benar-benar bukan seleraku. Tanpa mengatakan apa-apa, aku membalikkan badan, melangkah setengah berlari menuju mobil. Arman mengejarku. Aku mendelik padanya begitu ia di dekatku. "Kamu gila, ya, carikan aku orang boneng-boneng begitu?" Aku menatap ke arah mereka yang melongo menatap ke sini dengan ekspresi heran. "Maksudnya mboneng itu apa, mbak?" tanyanya dengan wajah polos. Aku mendesah kuat dan sedikit melebarkan mata. "Tua dan jelek. Carikan yang ganteng, dong! Malas amat tidur dengan lelaki jelek! Nanti anakku bakal jadi jelek juga, dong!!" kataku berapi-api. "Tapi, mbaknya kan bilangnya minta dicarikan yang bisa buat mbak, hamil. Mereka anaknya banyak pasti cepat hamil, Mbak." Tanganku mengibas kasar di depan wajahnya. "Huuh, kamu ini, yaa?! Kamu gak lihat, apa, aku secantik ini masa sama yang kayak begitu? Yang ganteng dong, yang keren, yang terawat yang bersiiih!" Huh. Huh. Huuuh! Aku mebuang-buang napas. Arman lola banget jadi orang. Ingin aku remas deh, tubuhnya. Arman mematung memandangiku. Kok kasihan juga, ya, wajahnya, habis kumarahi? Maka aku pun terpaksa senyum padanya. Setelah aku perhatikan lama-lama kok, ia ganteng juga, ya? Aku natap dia dari atas ke bawah, tubuhnya tinggi atletis dengan perut kotak-kotak, wajah hitam manis dengan kumis tipis di atas bibirnya yang seksi membuatnya terlihat jantan. Pasti dia bisa membuatku hamil. "Kenapa mbak terus natap saya begitu? Membuat saya merinding saja, mbak." Ia mengangkat bahu terlihat bergidik. Aku natap dia tak percaya. Dipandangi perempuan cantik kok merinding. "Ar, bagaimana kalau kamu saja?" Aku natap dia antusias, yakin dia bakal mau. Uang yang kutawarkan bukan main-main banyaknya. Ia melebarkan mata tak percaya. Tangannya menunjuk daaanya sendiri. "Saya, mbak? Saya?" Aku mengangguk semringah. "Maaf, mbak, terima kasih." Maksudnya terima kasih, dia menolak aku? Astagaa, aku benar-benar dibuat tak percaya di ditolak oleh Arman anteknya ayah. Arman menggaruk kepalanya yang cepak, ia nyengir kecil terlihat tak enak hati. Aku menyentak napas keras. "Kenapa? Apa bagi kamu, aku kurang cantik?" Dia mengamatiku. Lalu manggut-manggut. "Mbak cantik sekali seperti biadadari." "Lalu kenapa kamu gak mau tidur denganku? Aku akan bayar kamu 10 M kalau aku bisa hamil. Gimana? Kapan lagi kamu bisa tidur dengan perempuan cantik seperti aku secara gratis dan dibayar, pula." Aku mengedip menggoda padanya. Arman memegangi dadanya dengan wajah tampak syok. "Astaghfirullah, saya kaget karena tidak pernah melihat mbak bersikap seperti ini sebelumnya. Mbak selalu elegant dan bermartabat. Mbak, saya beri tahu, ya, kecantikan itu, hanya pulasan lahiriah yang bersifat semu saja. Ini misal, ya, mbak kecelakaan mengalami banyak luka di wajah, maka mbak tidak cantik lagi. Harta yang mbak punya juga hanya titipan, Allah bisa ambil kemewahan yang mbak punya sewaktu-waktu. Maaf, Mbak, saya tidak tertarik zina, besar dosanya dan saya takut masuk neraka dibakar api. Saya permisi dulu karena ada yang harus dikerjakan." Lalu tanpa rasa bersalah sedikitpun, ia membalikkan badan meninggalkanku. Aku melongo tak percaya menatap kepergiannya. Berani sekali, dia. Aku harus bilang pada ayah agar pecat antek kurangajar itu yang dengan seenak hati menghinaku. Aku mendesah kuat lalu masuk ke dalam mobil. Awas kamu, Armaaaan. Aku benar-benar geram. *Yang mengikuti cerbung, Hot Duda Lebih Menggoda udah UP tadi, yaa. Hanya untuk 21 ke atas
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD